Tuesday, February 3, 2009

Magdalena ( 55)


Endless Love

My love/There’s only you in my life/The only thing that’s right Oh yeah/My first love (yeah)/You’re every breath that I take You’re every step I make/ (Oh)....And I/(And I).......I want to share

====================
" Apakah Magda akan menghadirinya.?"
" Iya, Sorta itu masih saudara dekatnya. Aku telephon nanti Jonathan, biar dia sampaikan kalau abang datang ke pesta itu." ujarnya.
===================

MALAM hari, Mawar mempersiapkan pakaianku untuk persiapan esok hari kepesta. “ Bang dicukur berewoknya, kelihatan kayak tukang sorong ( buruh pasar, pen) tapi kumisnya dibiarin saja,” ujarnya tersenyum. ( Hanya ini yang nggak pernah Magda lakukan.) Mawar kini sedikit menyita perhatianku.

Sepeninggalnya, dalam bayangku, wajah Mawar bersanding dengan Magda, wajah keduanya elok dalam angan. Kemurnian dan ketulusan hati telah teruji lewat perbuatan. Bayang-bayang sempurna kepribadian Mawar dan Magda menghantarku dalam tidur.

Sabtu pagi sebelum menghadiri pesta, aku bangun lebih awal. Aku mencoba melayani diriku sendiri, harus bisa. Meski kaki masih belum pulih benar, aku berusaha melatihnya tanpa bantuan Mawar. Badanku masih gemetar menjaga keseimbangan tumpuan kaki. Keberhasilan mengenakan celanaku dengan susah payah, menambah rasa percaya diri. Namun, rasa percaya diri hanya berlangsung sekejap.

Kaki pesakitan yang belum sembuh sempurna membentur siku ranjang ketika menjangkau kemeja yang telah Mawar persiapkan malam harinya. Aku berteriak kesakitan, tersungkur tak dapat menahan sakit. Aku menyeret tubuhku ingin meraih obat cairan dari dalam lemari, namun selalu gagal, tangan tak dapat menjangkaunya. Kembali aku menyeret tubuhku ketempat tidur, aku bersusah payah menaikinya. Derita ini membuat aku menjadi manusia yang putus asa karena penderitaan beruntun.

Dalam siksa derita, wajah kedua orangtua tampak dalam bayang, jiwaku semakin merana. Kerinduan dan derita menyatu dalam ratap. Silih berganti aku memanggil ayah dan ibu. Bayang-bayang wajahnya belum cukup memupus kerinduan, tangis semakin menjadi-jadi, durhaka aku.?. Jiwaku bersimpuh dalam keheningan sepi.

Suara memanggil namaku diiringi ketukan pintu kala jiwa menyusuri rindu kedua orangtua. Ketukan kamar semakin keras dan berulang-ulang memanggil namaku. Aku hanya dapat menggeser tubuh penat . Tampak tangan - lewat jendela-membuka engsel pintu. Magda dan Mawar berhambur menemuiku diranjang yang terbujur menahan siksa pergelangan kaki berdenyut perih.
Ku sembunyikan derita dibalik wajah meregang, bibir kupaksa senyum menyambut mereka dalam pembaringan. Magda dan Mawar menangkap tanda, dalam sorot mataku kehabisan sinar akibat derita merajam.

Magda bersimpuh disisi ranjang, menangisi dirinya dililit malang berkalang derita. ” Maafkan aku tak dapat menemuimu beberapa hari ini pap,” ujarnya menahan isaknya. Aku mengusap manik-manik bening tercucur diwajahnya. Dalam binar mataku bersenandung...lihatlah jiwaku membungbung tinggi juwitaku.

Magda menambah “nafas kehidupan” ku lewat nafasnya yang mengalir lewat bibir merekah. Yeakhhh..You are my strength when I was weak. Magda meletakkan wajahnya diatas dadaku menyatu dengan detak jantung, seakan ingin mendengar suara kepastian akankah aku pergi bersamanya mengalahkan kegelapan. Dalam keharuan, Mawar sahabat kami menatap dua insan memadu jiwa ketika cinta berjalan tertatih-tatih menelusuri jalan terjal.

Aku sadar bahwa aku masih bertelanjang dada, saat Mawar menyodorksn kemejaku, “Mau pakai sekarang kemejanya bang,” tanyanya. Magda dan Mawar mengangkat punggungku yang masih terbaring keduanya mengenakan kemejaku. Aku berusaha sekuatku menahan sakitnya pergelangan kaki, tetapi mataku tak dapat berbohong, dia mengeluarkan cairan bening diluar kontrol ku.

Aku minta tolong mengambil obat oles kakiku, “ Mawar, tolong ambilkan obat dari dari lemari,” ujarku. Magda segera mengambil obat dari tangannya Mawar, mengoleskan dengan kedua tangannya.

“Abang masih bisa pakai sepatu ? atau pakai sendal saja,“ tanya Magda
“ Aku masih lemah, kalian saja lah yang pergi, sampaikan salamku kepada kedua pengantin,” ujarku mengiba.

Wajah Magda memelas menempel diwajahku, “ Pap..ayolah, aku dan Mawar membantu memapahmu,” bujuknya. Aku luluh ajakan kedua “malaikat”ku. Sementara Mawar menelephon kerumahnya, aku tanyakan Magda, “ Apa kamu tak malu aku jalan pakai tongkat.!”
“ Aku menerimamu sebagaimana papa ada,” ujarnya sambil mencium pipiku.
Tanganku ditaruh diatas pundaknya, “ pegang kuat pap, jalannya pelan saja.” uapnya menuntunku. (BERSAMBUNG)

Los Angeles, February 2009

Tan Zung
http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment