Tuesday, February 3, 2009

Magdalena( 57)

Let It Be Me
I bless the day I found you /I want to stay around you /And so I beg you, let it be me /Don’t take this heaven from one /If you must cling to someone /Now and forever, let it be me ...
===================
Orang yang diboncengnya—akhirnya meninggal tidak berapa lama. Kakiku yang masih dalam perawatan itu retak, siku tangan membengkak, “ dada, kepala dan rongga mulut bagus semua,” kata dokter.
==================
DIDALAM ruangan itu aku merasa kesepian. Aku tidak melihat seorangpun dalam ruangan, “mereka diruang tunggu, sebentar lagi mereka boleh masuk,” ujar perawat penjaga. Aku dipindahkan dari ruang gawat darurat keruangan lain. Aku tidak melihat Magda, kecuali Mawar, Sinta dan Sihol. Mata Mawar dan Sinta masih sembab memerah. Setelah beberapa lama, Sinta dan tunangannya Sihol permisi pulang setelah berjam-jam mereka menunggu diruang tunggu rumah sakit, “ Sihol maaf aku telah merepotkan.!”

Mawar memegang tanganku erat setelah Sihol dan Sinta pulang, bibirnya gemetar menahan tangis. “Abang, kenapa tadi bersikeras pulang. Abang juga tak mau Mawar antar, kenapa bang,?” ujarnya sesugukan sembari membelai keningku.

“ Mawar, aku tidak mampu menahan terjangan ombak yang datangnya begitu tiba-tiba kemudian menggulungku ke samudera luas nan ganas.!”
“Seandainya abang mau menahan diri sejenak saja, tentu abang tidak seperti ini.”
“ Mawar ! menahan diri katamu? aku tak kuasa. Karena aku masih memiliki harga diri; dan hanya itu milikku yang tersisa. Tidak seorangpunku biarkan menginjak harga diriku, juga Magdalena, sekalipun itu akan menghantarkanku keperaduan abadi!”

“Iya...iya..sudahlah, mulut abang masih mengeluarkan darah, aku panggil dokter bang?”
“ Mawar, tidakkah kau juga melihat hatiku berdarah-darah.?”
Abannggg.....Mawar mengerti.”
“ Mengerti.! tapi sesungguhnya kau tak dapat memahaminya.”
Iyaya..aku sangat memahaminya, bagaimana hasil pemeriksaan dokter.?
“ Semuanya bagus, kecuali pergelangan kaki retak dan hatiku pun remuk.
“ Ah.....abang, pikirkan kesehatan dulu, nanti hati abang sembuh sendiri.”

“ Semoga! Setelah dari sini, aku mau kerumah pak Ginting lagi. Mawar masih mau merawat abang.?” Mawar tidak menjawab kecuali dia menatapku, lama.
“ Iya mau bang, aku dan Magdalena.”
“Aku tak tahu dimana dia. Mawar, biarkanlah dia dengan pilihan orangtuanya , Albert.”

“ Bang, jangan putus asa seperti itu. Bicaralah baik-baik dengan Magda,”
“Mawar, tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, memang aku tidak menyalahkan dia sepenuhnya. Tetapi aku muak melihat kekerasan hati orangtuanya memilih calon mantunya.”
“ Sebenarnya, keputusannya tergantung sama abang dan Magda. Bukankah kalian sudah berencana mau ke Bandung?"
Iya tapi kejadian beruntun seperti ini, membuatku berpikir ulang. Aku terlalu lelah mengikuti alur sungai mengalir entah bermuara sampai dimana. “
***
“ Mawar, aku haus,!”
“ Tunggu, aku tanya dulu perawat, kalau abang sudah boleh minum.”
“ Iya, sudah boleh tetapi makan belum!”
“ Sebentar aku belikan keluar iya bang.”
Manson juga bolehlah,”ujarku ( aku ceplos, aku pikir teman bicara ku Magda)
“ Abang mau bunuh diri? “
“ Nggak bunuh diri juga, abang sudah mati pelan-pelan. Aku ini seperti mayat berjalan, jiwaku terguncang, ragaku seperti dicincang.”

Mawar memperbaiki posisiku sebelum dia pergi , “abang angkat kepalanya sedikit,” katanya sambil memperbaiki bantalku. Wajah kami berbenturan tak sengaja. Mawar menghentikan tangannya memperbaiki kepalaku. Mawar menatapku kemudian wajahnya melekat diwajahku. Aku berbisik ketelinganya yang masih menempel diwajah, “ terimakasih Mawar, engkau menyejukkan ketika hatiku kering kerontang. Mawar membalut lukaku ketika aku terhempas diatas batu cadas!”

Mawar menatap, dia menggelengkan kepalanya perlahan, “ Abang, sepertinya aku tak mampu berjalan didalam gugus yang abang dan Magda telah bangun.
“Mawar, gugus yang kami bangun didalamnya tumbuh ilalang dan rumput berduri. Bukan hanya kaki dan tangan kami berdarah, jiwa terbelengu berhenti mengejar fajar.
“ Abang, tidak perlu mengejar fajar, dia akan datang dan bersinar manakala waktunya tiba.”
“ Tahukan Mawar kapan waktu itu akan tiba,?”
Mawar kembali menatapku, “aku tak tahu bang,” ujarnya sembari menghapus sisa airmatanya.
“ Tapi sorot matamu, berkata, tahu.!”

“ Abang...Mawar tak tahu, aku tak mengerti, sungguh aku tak mengerti bang,” ujarnya, kembali wajahnya “menyapu” seputar wajahku. ( dalam hatiku, itulah jawabanmu sesungguhnya)
“ Abang bagaimana dengan Magda, dia sahabatku, ? Mawar tak sanggup. Aku mau pulang dulu iya bang!”

“ Bukankah aku juga sahabatmu? dan kini sahabat itu membiarkanku sendirian dalam ruangan pengap, setelah aku terkapar diterjang badai. Itukah arti persahabatan.?
“ Abang cukup..,! aku tak mengerti. Sudah bang, nggak usah dilanjutkan lagi, aku tak mengerti.!”
“ Tetapi hati Mawar dapat memahaminya, bukan.?”
“ Aku mau pulang dulu!”
“ Pulanglah.! Maafkankan aku, ternyata abang hanya berlayar dalam rangkaian mimpi; ditempat ini aku akan menghitung hitung hari kematianku.!”
“ Tidak, Mawar tidak suka mendengar kata-kata itu.” (BERSAMBUNG)

Los Angeles, February 2009

Tan Zung

http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment