Thursday, January 29, 2009

Magdalena ( 29)

jeritan hati
http://www.youtube.com/watch?v=bwN6qTbCrUw

================
Kamu berjaya dengan motormu hanya dengan modal te-ka-we tiga seloki. Sementara aku bermodal dua botol manson--satu disita polisi toba, berantakan bahkan digamparin lagi." Oh..iya nasib.
================

Dikamarku aku berteriak bagai orang sinting; " Hoiii...... dewa - dewi atau siapa lah namamu nenek moyang cinta, dimana pun kamu-kamu berada, aku ingin bertanya, kenapa cinta harus ada rasa cemburu, ego dan amarah. Dalam amanahmu berucap, cinta itu suci.....luhur dan tidak menyakiti. Nyatanya, perjalanan kasihku yang sudah berusia empat tahun terbang dibawa angin dan jatuh kejurang terjal nan cadas. Padahal aku sudah menjaga dan merawatnya dengan hati-hati , aku dan dia bukan sekedar menitip cinta tapi telah menyerahkan seutuhnya kedalam jiwa dan raga, menyatu, engkau tahu itu bukan!? Semesta tahu, jangankan burung, padidit pun ( tupai, pen) tahu.

Dewa-dewi cinta, aku protes. Sejak peristiwa tadi malam tidak sedikitpun kamu-kamu turun dari kayangan kecuali hanya menonton. Tak sedikitpun hatimu tersentuh dengan derita yang menderaku.? Kemana saja kalian dewa-dewi, apanya kerja kalian!?

Ketika cintaku diciderai mamanya Bunga, juga kamu-kamu diam, membisu. Sekarang Magda pergi entah kemana membawa cintaku, kamu tak berkata apa. Maukah kamu-kamu mengembalikan seutuhnya, cintaku yang kini dibawa belahan jiwaku Magda? Kamu tahu dan kenal Magdalena, bukan? Dia lah paling cantik dan paling baik di dunia mirip-mirip kamu-kamu.

Tolonglah bisikkan kepadanya, cintaku tulus dan murni. Dewa-Dewi juga tahu bukan, aku tak pernah berbagi cinta dengan siapapun, juga tidak kepada Sinta paribanku. Hanya dia seorang, titik. Tolonglah aku kali ini saja. Kalau tidak, aku akan berteriak biar semesta tahu dan ku panggil kau dewa- dewi jahanam, lanteung.!"

Sel-sel dalam otakku tulalit, error. Perlahan, dalam kelelahan aku sadar. Aku mengunci kamar, duduk sendirian. Aku coba “rewind” kejadian yang baru saja terjadi. Mengurut dari awal sekaligus mencoba mengkoreksi diriku. Aku tak mau lagi terbenam dalam penyesalan, semua sudah terjadi, tetapi harus ada yang diperbaiki itupun kalau pemilik waktu memberi kesempatan, entah siapapun pemilik waktu itu.

Aku merasa tidak ada yang salah, “misunderstood” iya. Ku mencoba menenangkan diri lewat semedi, hening.......jiwa berjalan menembus lorong-lorong gelap tanpa rembulan dan mentari. Kusibak tabir dalam keheningan, disana masih ada sukma bercumbu duka tanpa senandung, gersang.

Aku coba bangkit dari kerancuan suasana dan bermohon kepada pemilik waktu. Malam itu aku ingin menuju rumah Magdalena, aku mencoba berusaha berdamai dengan diriku. Tetapi entahlah, apakah sang pemilik waktu memberi restu. Namun aku tetap berupaya.

Dari rumah kos, aku mengghubungi Mawar lewat telefon, kini aku benar-benar butuh bantuannya. Gayung bersambut. Mawar mengangkat telefon diujung sana. Dia menjawab singkat dan ketus, ketika kutanyakan apakah Magda ada disana.
“Ya, ada ! “ jawabnya ketus, telefon terputus. Aku terhenyak. Kenapa Mawar ikut membenciku, bias. Dalam halusinasiku bertanya ( lagi) kepada pemilik waktu, masih dapatkan aku berbicara kepada makhluk-makhluk mulia itu? “Masih”! jawab halusinasiku.

Segera kuputar lagi telefon, "hallo..." Mawar menyahut diujung sana. "Bolehkan aku bicara dengan Magda hanya sebentar," pintaku mengharap. Mawar, tolonglah, lanjut ku, aku mau bicara sebentar saja. Tidak apalah kalau ini yang terakhir, tapi tolonglah aku kali terakhir."

Aku dengar Mawar memanggil, " Magda....Magda....abang Tan Zung mau bicara sebentar."
“ Bang, Magda tidak mau," balas Mawar.
“ Tolong lah Mawar,” aku mengiba. Mawar meletakkan gagang telefon, dan ...

“ Hallo,..abang mau apalagi,?” tanya Magda seperti kehabisan suara, serak.
“ Maaf, aku benar-benar minta maaf. Abang tidak ada niat untuk melukai hatimu. Tadi aku pusing dan tak tahu berbuat apa. Aku juga tak minum, sumpah. Tapi sudahlah, semuanya sudah berlalu, tidak ada lagi yang perlu disesali. Terimakasih engkau telah meninggalkan kenangan mendalam selama ini, terakhir tamparan tangamu masih berbekas sampai ke lubuk hatiku.

Terimakasih kau telah mengingatkanku, ternyata ketulusan hati dan kebenaran yang dimiliki seseorang seperti aku, bagimu tidak lebih dari onggokan sampah busuk. Selamat malam Magda, terimakasih juga kebaikanmu selama empat tahun ini,” suaraku bergetar mengkahiri kalimat akhir dan menutup telefon. Malam itu aku benar-benar pasrah, aku harus beranjak dari kebuntuan ini atau aku semakin sinting. (Bersambung)

Los Angeles, January 2009

Tan Zung
http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/