Thursday, April 2, 2009

Telaga Senja(2)


That’s The Way It Is lyrics
I can read your mind and I know your story /I see what you’re going through /It’s an uphill climb, and I’m feeling sorry /But I know it will come to you /Don’t surrender ‘cause you can win /In this thing called love

When you want it the most there’s no easy way out /When you’re ready to go and your heart’s left in doubt /Don’t give up on your faith /Love comes to those who believe it /And that’s the way it is

When you question me for a simple answer /I don’t know what to say, no /But it’s plain to see, if you stick together /You’re gonna find a way, yeah /So don’t surrender ‘cause you can win /In this thing called love

When you want it the most there’s no easy way out /When you’re ready to go and your heart’s left in doubt /Don’t give up on your faith /Love comes to those who believe it /And that’s the way it is ............

DALAM keputusasaan setelah tidak menemukan Rina, Lam Hot dan Rima, mataku tertarik dengan satu gedung bersebelahan dengan Hotel berbintang. Seorang satpam menghentikan langkahku ketika mau massuk ke dalam gedung yang ternyata tempat perjudian, casino. Satpam mengijinkan aku masuk setelah menunjukkan jumlah uang yang aku bawa. Jumlah uang yang dititipkan Susan sebelum berangkat aku bawa dan masih utuh.

Dari sejumlah permainan, hanya satu jenis permaian yang cepat dapat dimengerti, rolet; berbeda dengan jenis permainan black jack yang membutuhkan keterampilan. Beberapa saat aku melihat dan mempelajari bagaimana cara bermain. Selain membunuh rasa jemu, aku mulai tertarik dengan jenis permainan bacarat, agak mudah, tak membutuhkan keterampilan seperti permainan black jack.

Tadinya bermain iseng, akhirnya menjadi serius. Uang titipan Susan hampir ludes, cucuran keringat membasahi tubuh meski ruangan ber ac. Aku mengumpat pada diriku sendiri seraya bergegas meninggalkan casino, rumah jahanam itu.

Sebelum meninggalkan ruangan casino, seorang pelayan menyerahkan satu lembar voucher; lunch dan satu kamar untuk satu malam di hotel yang bersebelahan dengan casino.

***

AKU bingung bagaimana menemukan Rina dan adikku di tempat baru pertama aku kenal. Aku putuskan masuk kamar dengan perasaan kesal karena kekalahan di meja judi. Pikiran terus berkecamuk atas kekalahan . Aku semakin penasaran.

Sejumlah John Toel ( sebutan untuk orang yang mengharapkan pemberian dikala penjudi menang, pen) dan seorang perempuan mengingatkan: ” Bang mainnya jangan emosi. Meski membawa uang satu kapal akan ludes kalau tidak kontrol diri.”

“ Ito, ( mas, pen) buat target menang atau kalah,”ujar seorang perempuan muda menimpali.
“ Heh...dari mana kamu tahu aku orang batak,?” tanyaku penasaran .
“ Dari gaya bicara abang. Kalau kartu abang jelek selalu mengoceh kimbek; itu khas batak Medan,”ujarnya renyah. “ Ikutin caraku main, selain kontrol diri, harus punya feeling,” lanjutnya.

Aku mengikuti pola permainannya dan menahan diri, dalam satu jam uang kekalahanku telah kembali .

“ Bang aku mau pulang, mainnya hati-hati jangan emosian,” ujarnya mengingatkan, dia beranjak dari kursinya.
“ Tunggu dulu, aku panggil kakak atau ibu.”
“ Panggil saja Ria,” jawabnya
“ Margamu apa, jangan-jangan kamu ito atau paribanku.”
Ria balik bertanya, “ kamu marga apa,?”
Setelah menyebut margaku, Ria tertawa, berujar: ” Marga kita tak sama dan tidak kena mengena,panggil saja nama,” balasnya tersenyum.

“Ria mau pulang?”
“ Iya, kenapa? Tadi aku sudah katakan, kalau mau main harus punya target menang atau kalah; cukup sudah tagetku hari ini.”

“ Sebelum pulang, bagamana kalau kita minum di coffe shop? Aku punya voucher, mau.?”
Ria mengangguk tanda setuju. Sebelum kami menuju coffe shop, Ria mengajakku menukarkan chip ( pengganti uang taruhan, pen) ke kasir.

“ Tukarkan uangnya dengan cheque cash, jangan dengan lembaran uang,” usulnya.
Aku dan Ria cepat akrab, karena setiap pembicaraan kami tentang Medan saling nyambung, mulai dari cerita sekolah dan tempat rendezvous anak-anak muda.
Diselah pembicaraan, Ria mengingatkan agar menghentikan judi sebelum ketagihan: “Jangan seperti aku, tiada hari tanpa judi. Hati-hati dengan dengan perempuan-perempuan cantik disekitar casino dan hotel ini; jangan percaya dengan mereka.”

“ Bagaiamana aku tahu kalau mereka perempuan nakal.?
“ Mereka akan merasa dekat dengan abang kalau menang, tetapi kalau abang kehabisan duit mereka semua akan menjauh.”

“ Kalau boleh tahu, kenapa Ria terjebak di meja judi? Apa suamimu yang marah?”
“ Heh..! Bagaimana abang tahu aku punya suami? Ah...abang sok tahu.!” ujarnya sambil beranjak dari kursi.
“ Maaf, tunggu jangan pulang dulu, aku nggak tahu jalan pulang.?

Ria menatapku keheranan. “ Segede ini nggak tahu pulang? Abang mau pulang, iya ke airport! mau diantar,?” tanyanya ngenyek.
“ Ria, aku nggak tahu pulang kerumah, sungguh. Kali pertama aku berkunjung kesini. Alamat rumah ketinggalan di dalam tasku. Sejak pagi aku kehilangan jejak adik dan temanku Rina. Itu sebabnya aku main judi.”

“ Kamu naik taksi saja.”
“Iyalah aku tahu, tapi aku takut diperdaya sopir taksi dengan argo kuda.”

“ Mau mu aku antarin.!”
“ Kalau nggak keberatan, tetapi aku mau main sebentar.!”
“ Sampai pukul berapa.?”

“ Takut kepada suami.?”
“ Sialan.! Darimana sih kamu tahu aku punya suami.?”
“ Dari cara pakaianmu.!”

“ Apa bedanya pakaian yang punya suami dengan yang belum.?”
“Ah, rahasiakulah itu.”
“ Aku menduga, abang pernah pacaran dengan ibu-ibu.”
Ah, kamu sok tahu. Bagaimana kamu punya kesimpulan seperti itu.?”
“ Ah, rahasiakulah itu,” ujarnya meniru ucapanku . (Berambung)

Los Angeles. April 2009

Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

TELAGA SENJA ( 1)


http://www.youtube.com/watch?v=5VMdiX5tq5A

Dalam kelam malam
duduk terpaku terpasung rindu
rindu berlari engah dibelantara luas
bagai kijang rindu telaga

Bayang-bayang sepi menghantui kalbu
hening, membelengu rindu
angan menata tapak bayang
pada rentang waktu

Sahabat menahan rindu
sendu
tak tahu jarak waktu
memuas rindu


SEHARIAN langkahku berat menapak waktu menembus sunyi, galau, meski aku ditengah crowdednya kehidupan megapolitan. Terik sinar mentari tak mampu mencairkan rindu dendamku. Angin semilir malam itupun tak pernah menjawab ketika aku bertanya, berapa lama rindu mendera sukmaku. Bayang wajah senyum, airmata dan amarah Magdalena tak pernah beringsut dari sudut hati; disudut itu kenangan bertumbuh subur seiring perjalanan waktu.

Dalam mimipi, aku berjalan tertatih lesu di hamparan pasir putih panas menyengat selepas terhempas oleh gulungan ombak samudra luas. Dalam mata rabun berkunang, pucuk kelopak bunga luruh diatas tangkai hampir menyentuh pasir. Dahaga yang membuat kerongkongan kering kerontang diriku tak mampu menggapai kelopak yang luruh sebelum waktunya.

***

“ Hei...bang...bangun. Abang ngingau sepanjang malam,” entak adikku Lam Hot. “ Daripada abang terus tersiksa rindu, lebih baik kembali ke Medan saja. Atau kenapa nggak menhikah saja?” tambahnya.

“ Halah kamu juga cengeng ketika kau pulang kampung. Kurencong pula kau nanti. “
“ Kutikam kau” balasnya.
Halahhh...... kamu berjam-jam dikantor wedana ( kecamatan) telefon Rima, padahal baru berpisah dua hari,” balasku. Kami terbahak dipagi mengenaskan itu. Sementara aku dan adikku saling mengejek, ketukan pintu kamar bertalu-talu, “ Hei mas-mas buruan sudah pukul delapan; kok ketawanya seperti dapat pacar baru,” teriak Rina kakak Rima pacar adikku dari balik pintu kamar.
“ Mas, siap-siap kita mau berangkat. Mau mandi dulu atau aku buatkan kopi,” tanya Rina ketika aku membuka pintu.

“ Ya, biarkan Lam Hot yang duluan mandi,” ujarku sambil melangkah keruangan tamu. Pikiran masih terganggu akan makna mimpi malam. Aku melorotkan tubuhku diatas sofa.
“ Mas, jangan bengong seperti itu,” suara Rina mengagetkan, ketika melihat wajahku menatap kedepan, hampa.
“ Oh...nggak. Aku nggak bengong.”

Rina menangkap gagap mulutku, “ mas rindu dengan seseorang.?”
“ Oh..iya..oh..bukan. Aku ingat orangtuaku,” jawabku .
“Bukan pacar mas.?”
“ Ya juga.”
“Baru seminggu terasa sewindu iya kak,” selah Rima pacar adikku. Hm..bening matanya mengingatkan temanku Ira, pramuria diskotik yang pernah mampir sejenak dalam pikiranku.
***
AKU, Lamhot, Rina dan Rima adiknya duduk melingkar disi meja menikmati serapan pagi sebelum berangkat menuju taman hiburan Ancol.
“ Mas, duduk disini,” ajaknya seraya menarik tanganku duduk disisinya, sementara Rima duduk dipangkuan adikku Lam Hot.

“ Rina mau aku pangku, gantian, adikku pangku adikmu,” kelakarku.
Hush! mas berani-beraninya, ntar pacarmu marah.”
Hih...kakak Tan Zung berani malu,” sambut Rima adiknya.

“ Siapa nama pacarnya mas?”
“ Banyak ! Mau yang mana, pacar sekarang, dua minggu, lima bulan, setahun atau yang lima tahun.?”
“ Busyet! Kakak punya pacar berapa?” sergah Rima.

“ Banyak, dari usia remaja hingga ibu-ibu.”
“ Mas! Aku tanya serius,” seru Rina.
“Aku juga jawab serius.”
Huh! payah orang Medan.”
“ Aku bukan orang Medan. Aku orang Batak-Aceh.”
" Aku baru tahu ada suku Batak Aceh,"balasnya seraya menyedok nasi dan lauk kepiringku.
***
“ Mas, mau dicariin kerja ? Kalau mau, Senin depan aku temani mas melamar pekerjaan ke tempat pakle; kebetulan mereka butuh jurusan akuntansi,” ujar Rina dalam perjalanan menuju taman Ancol.

‘Terimakasih Rin. Aku akan mencoba mencari sendiri.” Dalam hatiku tidak begitu tertarik bekerja dalam perusahaan yang ada kaitannya dengan keluarga. Tiba di Ancol, Rina mencegahku ketika mau membayar uang taksi.
“ Biar aku yang bayar, mas kan belum bekerja.”
“ Rina juga belum."
“ Sudah, aku kerja habisin uang papaku,” jawabnya centil disambut ketawa adikku Lam Hot dan Rima.

Adiku Lam Hot dan Rima segera memisahkan diri meninggalkan aku dan Rina disebuah art galery. Masuk ke ruangan ini bagiku seperti memasuki dunia fantasi. Aku terlalu asyik menikmati sentuhan warna pada kanvas hingga terlupa kalau aku bersama dengan Rina; aku merasa berpergian dengan Magdalena.

“Mas, belum puas ? Disana masih banyak lukisan,” ujarnya mengganggu kenimkmatanku mengurai makna lukisan abstrak yang digelar didinding.
“ Ya...iya sebentar, “ ujarku tanpa menoleh.

Aku bergerak dari satu lukisan kelukisan lain tanpa menyadari, aku mengabaikan Rina yang terus mengikutiku. Agaknya dia kurang tertarik dengan jenis lukisan abstrak. Berulangkali aku berceloteh tentang makna garis lurus dan lekuk diatas kanvas, namun tanpa respons. Hampir saja dia kuhardik, ughh....dia Rina bukan Magdalena sahabat lamaku.

Rina meninggalkanku sendirian, aku memang terlalu egois hanya ingin memuaskan diri sendiri. Bebeberapa saat aku mencarinya tapi tak ketemu, juga adikku. (Bersambung)

Los Angeles. April 2009

Tan Zung
http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/