I can read your mind and I know your story /I see what you’re going through /It’s an uphill climb, and I’m feeling sorry /But I know it will come to you /Don’t surrender ‘cause you can win /In this thing called love
When you want it the most there’s no easy way out /When you’re ready to go and your heart’s left in doubt /Don’t give up on your faith /Love comes to those who believe it /And that’s the way it is
When you question me for a simple answer /I don’t know what to say, no /But it’s plain to see, if you stick together /You’re gonna find a way, yeah /So don’t surrender ‘cause you can win /In this thing called love
When you want it the most there’s no easy way out /When you’re ready to go and your heart’s left in doubt /Don’t give up on your faith /Love comes to those who believe it /And that’s the way it is ............
Dari sejumlah permainan, hanya satu jenis permaian yang cepat dapat dimengerti, rolet; berbeda dengan jenis permainan black jack yang membutuhkan keterampilan. Beberapa saat aku melihat dan mempelajari bagaimana cara bermain. Selain membunuh rasa jemu, aku mulai tertarik dengan jenis permainan bacarat, agak mudah, tak membutuhkan keterampilan seperti permainan black jack.
Tadinya bermain iseng, akhirnya menjadi serius. Uang titipan Susan hampir ludes, cucuran keringat membasahi tubuh meski ruangan ber ac. Aku mengumpat pada diriku sendiri seraya bergegas meninggalkan casino, rumah jahanam itu.
Sebelum meninggalkan ruangan casino, seorang pelayan menyerahkan satu lembar voucher; lunch dan satu kamar untuk satu malam di hotel yang bersebelahan dengan casino.
Sejumlah John Toel ( sebutan untuk orang yang mengharapkan pemberian dikala penjudi menang, pen) dan seorang perempuan mengingatkan: ” Bang mainnya jangan emosi. Meski membawa uang satu kapal akan ludes kalau tidak kontrol diri.”
“ Heh...dari mana kamu tahu aku orang batak,?” tanyaku penasaran .
“ Dari gaya bicara abang. Kalau kartu abang jelek selalu mengoceh kimbek; itu khas batak Medan,”ujarnya renyah. “ Ikutin caraku main, selain kontrol diri, harus punya feeling,” lanjutnya.
“ Tunggu dulu, aku panggil kakak atau ibu.”
“ Panggil saja Ria,” jawabnya
“ Margamu apa, jangan-jangan kamu ito atau paribanku.”
Ria balik bertanya, “ kamu marga apa,?”
Setelah menyebut margaku, Ria tertawa, berujar: ” Marga kita tak sama dan tidak kena mengena,panggil saja nama,” balasnya tersenyum.
“Ria mau pulang?”
“ Iya, kenapa? Tadi aku sudah katakan, kalau mau main harus punya target menang atau kalah; cukup sudah tagetku hari ini.”
Ria mengangguk tanda setuju. Sebelum kami menuju coffe shop, Ria mengajakku menukarkan chip ( pengganti uang taruhan, pen) ke kasir.
“ Tukarkan uangnya dengan cheque cash, jangan dengan lembaran uang,” usulnya.
Aku dan Ria cepat akrab, karena setiap pembicaraan kami tentang Medan saling nyambung, mulai dari cerita sekolah dan tempat rendezvous anak-anak muda.
“ Bagaiamana aku tahu kalau mereka perempuan nakal.?
“ Mereka akan merasa dekat dengan abang kalau menang, tetapi kalau abang kehabisan duit mereka semua akan menjauh.”
“ Heh..! Bagaimana abang tahu aku punya suami? Ah...abang sok tahu.!” ujarnya sambil beranjak dari kursi.
“ Maaf, tunggu jangan pulang dulu, aku nggak tahu jalan pulang.?
Ria menatapku keheranan. “ Segede ini nggak tahu pulang? Abang mau pulang, iya ke airport! mau diantar,?” tanyanya ngenyek.
“ Ria, aku nggak tahu pulang kerumah, sungguh. Kali pertama aku berkunjung kesini. Alamat rumah ketinggalan di dalam tasku. Sejak pagi aku kehilangan jejak adik dan temanku Rina. Itu sebabnya aku main judi.”
“Iyalah aku tahu, tapi aku takut diperdaya sopir taksi dengan argo kuda.”
“ Kalau nggak keberatan, tetapi aku mau main sebentar.!”
“ Sampai pukul berapa.?”
“ Sialan.! Darimana sih kamu tahu aku punya suami.?”
“ Dari cara pakaianmu.!”
“Ah, rahasiakulah itu.”
“ Aku menduga, abang pernah pacaran dengan ibu-ibu.”
“ Ah, rahasiakulah itu,” ujarnya meniru ucapanku . (Berambung)
Los Angeles. April 2009