Wednesday, February 11, 2009

Magalena ( 72)

http://www.youtube.com/watch?v=JtsNdbyPER4

===================
“ Iyalah, nanti Sinta bujuk, tapi jangan temui Magda dulu, dia masih terpukul.” “ Iya,percayalah sama abang, tidak akan menemuinya bahkan mungkin untuk selamanya.?”
==================

MINGGU kedua setelah putus hubunganku dengan Magda, Mawar menemuiku diiringi isak, pilu. “ Bang, papi Magda telah pergi, pergi untuk selamanya.” ujarnya menatapku sedih. Aku terhenyak mendengarnya, tubuhku bergetar, terduduk lunglai diatas tempat tidurku. Pikiranku tetuju kepada derita beruntun yang dialami Magda, setelah “ajal” memisahkanku dengan dia. Kini, ajal menjemput ayahnya tercinta.

“ Bang, aku medampingi Magda hampir setiap malam dirumah sakit,”ujar Mawar sendu.
“ Kenapa Mawar tidak memberitahuku, kalau orangtuanya sakit keras. “
“ Sengaja tak kuberitahu, karena Magda sangat sakit hati kepada abang.”
“ Dan itu pula sebabnya, Mawar tidak mau lagi datang menemuiku,?”

“ Bukan, aku setiap malam menemani Magda dirumah sakit. Bang, sebelum papinya menghembuskan nafas yang terakhir, papinya merestui hubungan Magda dengan abang, “ujarnya seraya menatapku lama.

“ Mawar, tak akan mungkin lagi nasi menjadi beras. Bagaimana dengan Albert.?”
“ Sejak dari awal, Magda selalu menolak, abang saja yang tak sabar,” ujarnya masih dengan wajah murung.
“ Sudah lah Mawar, kita lupakan sajalah masalah itu, aku telah tutup buku. Kapan kepemakaman ? Abang mau melayat sehari sebelum kepemakaman, Mawar maukah menemaniku?”

Mawar menggelengkan kepalanya, “ Bukan aku tak mau, hanya tak tega melihat Magda. Ajaklah Sinta teman abang.”
“Iya sudahlah, aku pergi sendiri tanpa bantuan siapapun, kecuali tongkatku yang selalu menopang”penderitaan”ku,” ujarku agak kesal.

***
Aku sengaja memilih malam hari melayat papinya Magda. Aku tak mau menjadi tontonan orang banyak, sebab kecelakaan yang kualami pada pesta pernikahan itu bertebaran kemana-mana. Aku juga mengharap, dapat berbicara sekaligus menghibur Magda.

Tiba di rumah, aku melihat Magda, adiknya Jonathan dan maminya serta saudara dekat mereka duduk mengitari jenazah. Hatiku bergetar melihat jenazah terbaring diperaduan sementaranya. Hati berdegup keras melihat rambut Magda tergerai hanya sampai kebahu, ah..mahkotaku dulu, telah dia “habisi”.

Satu-satu mereka kusalami, dan terakhir Magda. Magda memberi tangannya sambil menunduk, aku mendengar ratapannya dari suaranya parau. Magda menahan tanganku sembari dia meratap jenazah papinya, “ Papi...abang Tan Zung telah datang, bangun papi, abang datang, papi...bangun ,” ratapnya mengundang rasa haru keluarga dan pelayat. Maminya memeluk erat-erat dan mengelus kepala Magdalena diiringi tangisan tanpa kata.

Magda melepaskan tanganku, bangkit menuju kamarnya, meninggalkanku dan pelayat lainnya. Aku tak kuasa menahan kesedihan Magda yang sangat luar biasa. Aku keluar dari ruangan menuju taman rumah belakang. Aku duduk menyendiri menahan rasa dingin dan menangis sesugukan. Tempatku kini duduk meratap, dulu, tempatku dan Magda memadu kasih, ketika orangtuanya liburan keluar kota.

Tubuhku menggigil menahan rasa dinginnya udara malam, tetapi aku masih enggan beranjak dari tempat itu. Wajahku kututupi dengan ke dua tanganku menahan kesedihan teramat dalam.

Seseorang menaruhkan jaket menutupi tubuhku, kemudian berlalu tanpa sepatah kata. Aku mencoba mengejarnya dalam kegelapan malam, tetapi aku terjatuh. Aku tak menyadari bahwa kakiku masih belum pulih. Aku merintih kesakitan, bayangan sosok dalam gelap menghampiriku, dia mengangkat tubuhku dengan kedua tangannya, “ Bangun bang, masuk lah kerumah, udara terlalu dingin nanti abang jatuh sakit” ucapnya lirih.

“ Magda, terimakasih, biarkanlah abang disini duduk menangisi diriku sendiri,” ujarku menahan rasa sedih. Magda membelai wajahku lembut yang tertunduk lesu sebelum meninggalkanku di taman belakang.

Tak lama kemudian, Mawar menemuiku kebelakang membawa secangkir air hangat. " Zung! kita masuk kedalam, nanti abang sakit; mami Magda menyuruh abang ke dalam,” ujarnya sambil meraih tanganku.

“Mawar, tolong aku diantar pulang, kakiku perih menahan rasa dingin. Mawar memapahku dari taman belakang melalui teras tempat kami belajar selama bertahun-tahun, kenangan itu menyayat hati. Magda menyusulku keujung halaman rumahnya sebelum aku pergi, “ terimakasih bang kunjungannya, selamat malam, “ ujarnya.
Aku tak kuasa menjawab, lidahku terasa kelu, aku hanya memberi lambaian tanganku tanpa menolehnya.

Esok harinya, Mawar menjemputku untuk menghadiri hari pemakaman papinya Magda. Tetapi aku menolak, “ Aku tak kuasa melihat penderitaan keluarga itu, khususnya Magda, pergilah sendiri, sampaikan salam dukaku kepada Magda. (Bersambung)

Los Angeles. February 2009

Tan Zung
http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment