Wednesday, February 11, 2009

Magdalena (73) Habis

http://www.youtube.com/watch?v=VMf1VcilBGQ

==================
Esok harinya, Mawar menjemputku untuk menghadiri hari pemakaman papinya Magda. Tetapi aku menolak, “ Aku tak kuasa melihat penderitaan keluarga itu, khususnya Magda, pergilah sendiri, sampaikan salam dukaku kepada Magda.
=================
SEBULAN setelah perpisahan, aku mendapatkan surat melalui pos, hati berdegup membaca pengirimnya, Magdalena Elisabeth. Selama lima tahun berhubungan, aku dan Magda tak pernah surat-suratan, kecuali, celutuk-celutukan beraroma cinta pada selembar kertas buku catatan kuliah, hampir setiap hari.

Tanganku gemetar membuka envelope, segera ingin tahu isinya bertinta merah. Aku telusuri kalimat demi kalimat dengan seksama. Magda bertutur kata sendu: Zung, ijinkanlah untuk terakhir memanggilmu papa, yang pernah aku cintai. Akhirnya simponi malam itu telah bersenandung sendu, pilu. Papa menghantarkanku ketelaga tua, sendiri, diujung malam. Disana air mataku telah menyatu dengan sisa air telaga yang hampir kering. Entahlah kalau airmata papa juga ada disana. Tiada lagi kertas tersisa yang akan mama goreskan, kecuali diatas kertas lembaran terakhir dari buku catatan awal kuliah papa dan mama ketika belajar bersama.

Pada bagian embaran lainnya, papa menuliskan,
I love You So Much, ketika mama marah. Pada lembaran lain kertas catatanku, papa menorehkan kata ,” papa mencintaiku tulus ketika mama meragukan cinta mu.”
Papa , aku telah memberikan yang terbaik hanya kepada papa seorang, melebihi kepada orangtuaku. Papa, kesedihanku akibat ketegaan papa membiarkanku sendiri menelusuri padang belantara nan luas, melebihi kepergian papiku keperaduan sementaranya.

Papiku telah pergi untuk selamanya. Aku, Jonathan adikku dan mamiku menanggung duka. Papa yang pernah, lama, singgah dalam hatiku, juga pergi meninggalkanku. Kini hanya mama sendiri menanggung luka dan duka.

Mama tak lagi mendengar candamu. Mama ingin melihat wajahmu yang terakhir, tetapi itu hanyalah mimpi. Mama tak lagi bersandar diatas dadamu. Mama tak lagi mendengar cumbu rayumu kala aku menangis. Juga tak lagi mendengar suara amarahmu menggelegar kala mama mencurigaimu.

Kini, aku menggantung harap hanya kepada papa. Atas nama cinta, papa mengenyahkan mama untuk selamanya. Demi cinta suciku, mama telah berkurban hanya kepada papa. Atas nama cinta, kurbanku papa campakkan kedalam kubangan.

Demi cinta tulus, aku mengukir permata dalam hati dan jiwamu, menyatu.
Atas nama cinta, permata hatiku papa lempar kesamudra luas yang tak mungkin mama sendirian mengarunginya.

Atas nama cinta, membiarkan mama menapak dijalan terjal dan berliku, papa membiarkan mama berjalan tanpa pegangan.

Atas nama cinta, mama tertawa, cemburu dan menangis. Atas nama cinta, papa membuatku menangisi cintaku untuk selamanya.

Atas nama cinta, cinta yang tulus mama torehkan curahan hatiku lewat buku catatanku yang terkhir ini. Untuk dan a
tas nama cinta, terimalah ucapan selamat jalan, semoga papa dan mama menemukan kebahagian abadi.

Aku, Madalena Elisabeth.
Korban cintamu, yang terbuang.

12 Februari 197_
(HABIS)

Magalena ( 72)

http://www.youtube.com/watch?v=JtsNdbyPER4

===================
“ Iyalah, nanti Sinta bujuk, tapi jangan temui Magda dulu, dia masih terpukul.” “ Iya,percayalah sama abang, tidak akan menemuinya bahkan mungkin untuk selamanya.?”
==================

MINGGU kedua setelah putus hubunganku dengan Magda, Mawar menemuiku diiringi isak, pilu. “ Bang, papi Magda telah pergi, pergi untuk selamanya.” ujarnya menatapku sedih. Aku terhenyak mendengarnya, tubuhku bergetar, terduduk lunglai diatas tempat tidurku. Pikiranku tetuju kepada derita beruntun yang dialami Magda, setelah “ajal” memisahkanku dengan dia. Kini, ajal menjemput ayahnya tercinta.

“ Bang, aku medampingi Magda hampir setiap malam dirumah sakit,”ujar Mawar sendu.
“ Kenapa Mawar tidak memberitahuku, kalau orangtuanya sakit keras. “
“ Sengaja tak kuberitahu, karena Magda sangat sakit hati kepada abang.”
“ Dan itu pula sebabnya, Mawar tidak mau lagi datang menemuiku,?”

“ Bukan, aku setiap malam menemani Magda dirumah sakit. Bang, sebelum papinya menghembuskan nafas yang terakhir, papinya merestui hubungan Magda dengan abang, “ujarnya seraya menatapku lama.

“ Mawar, tak akan mungkin lagi nasi menjadi beras. Bagaimana dengan Albert.?”
“ Sejak dari awal, Magda selalu menolak, abang saja yang tak sabar,” ujarnya masih dengan wajah murung.
“ Sudah lah Mawar, kita lupakan sajalah masalah itu, aku telah tutup buku. Kapan kepemakaman ? Abang mau melayat sehari sebelum kepemakaman, Mawar maukah menemaniku?”

Mawar menggelengkan kepalanya, “ Bukan aku tak mau, hanya tak tega melihat Magda. Ajaklah Sinta teman abang.”
“Iya sudahlah, aku pergi sendiri tanpa bantuan siapapun, kecuali tongkatku yang selalu menopang”penderitaan”ku,” ujarku agak kesal.

***
Aku sengaja memilih malam hari melayat papinya Magda. Aku tak mau menjadi tontonan orang banyak, sebab kecelakaan yang kualami pada pesta pernikahan itu bertebaran kemana-mana. Aku juga mengharap, dapat berbicara sekaligus menghibur Magda.

Tiba di rumah, aku melihat Magda, adiknya Jonathan dan maminya serta saudara dekat mereka duduk mengitari jenazah. Hatiku bergetar melihat jenazah terbaring diperaduan sementaranya. Hati berdegup keras melihat rambut Magda tergerai hanya sampai kebahu, ah..mahkotaku dulu, telah dia “habisi”.

Satu-satu mereka kusalami, dan terakhir Magda. Magda memberi tangannya sambil menunduk, aku mendengar ratapannya dari suaranya parau. Magda menahan tanganku sembari dia meratap jenazah papinya, “ Papi...abang Tan Zung telah datang, bangun papi, abang datang, papi...bangun ,” ratapnya mengundang rasa haru keluarga dan pelayat. Maminya memeluk erat-erat dan mengelus kepala Magdalena diiringi tangisan tanpa kata.

Magda melepaskan tanganku, bangkit menuju kamarnya, meninggalkanku dan pelayat lainnya. Aku tak kuasa menahan kesedihan Magda yang sangat luar biasa. Aku keluar dari ruangan menuju taman rumah belakang. Aku duduk menyendiri menahan rasa dingin dan menangis sesugukan. Tempatku kini duduk meratap, dulu, tempatku dan Magda memadu kasih, ketika orangtuanya liburan keluar kota.

Tubuhku menggigil menahan rasa dinginnya udara malam, tetapi aku masih enggan beranjak dari tempat itu. Wajahku kututupi dengan ke dua tanganku menahan kesedihan teramat dalam.

Seseorang menaruhkan jaket menutupi tubuhku, kemudian berlalu tanpa sepatah kata. Aku mencoba mengejarnya dalam kegelapan malam, tetapi aku terjatuh. Aku tak menyadari bahwa kakiku masih belum pulih. Aku merintih kesakitan, bayangan sosok dalam gelap menghampiriku, dia mengangkat tubuhku dengan kedua tangannya, “ Bangun bang, masuk lah kerumah, udara terlalu dingin nanti abang jatuh sakit” ucapnya lirih.

“ Magda, terimakasih, biarkanlah abang disini duduk menangisi diriku sendiri,” ujarku menahan rasa sedih. Magda membelai wajahku lembut yang tertunduk lesu sebelum meninggalkanku di taman belakang.

Tak lama kemudian, Mawar menemuiku kebelakang membawa secangkir air hangat. " Zung! kita masuk kedalam, nanti abang sakit; mami Magda menyuruh abang ke dalam,” ujarnya sambil meraih tanganku.

“Mawar, tolong aku diantar pulang, kakiku perih menahan rasa dingin. Mawar memapahku dari taman belakang melalui teras tempat kami belajar selama bertahun-tahun, kenangan itu menyayat hati. Magda menyusulku keujung halaman rumahnya sebelum aku pergi, “ terimakasih bang kunjungannya, selamat malam, “ ujarnya.
Aku tak kuasa menjawab, lidahku terasa kelu, aku hanya memberi lambaian tanganku tanpa menolehnya.

Esok harinya, Mawar menjemputku untuk menghadiri hari pemakaman papinya Magda. Tetapi aku menolak, “ Aku tak kuasa melihat penderitaan keluarga itu, khususnya Magda, pergilah sendiri, sampaikan salam dukaku kepada Magda. (Bersambung)

Los Angeles. February 2009

Tan Zung
http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/

Magdalena ( 71)

"Akhir Cinta"
http://www.youtube.com/watch?v=Iar05qWsFtc

====================
Magdalena bangkit dan meninggalkan ku sendirian, kini tidak ada lagi tangan mengusap airmataku, aku terduduk sendirian dalam kamar, hatiku sesak. Selamat tinggal kenangan, kini buaian mimpi telah meninggalkan aku dan Magda untuk selamanya.
=====================

RAJUTAN kasih Magdalena dan aku akhirnya sirna ditelan waktu. Semuanya berlalu bagaikan mimipi, kini tinggal bayang-bayang semu. Aku harus mengakhiri semuanya demi cintaku yang tulus. Namun setelah semua telah terjadi, aku menggugat diriku sendiri. Benarkah aku melakukannya karena cinta tulus atau hanya sekedar belas kasihan; Berbelas kasihan terhadap diriku dan terhadap dirinya. Kenapa, aku sukar menerima kelemahannya yang merupakan bahagian dari kehidupan setiap insan ataukah karena aku terlalu egois.

Magda telah menunjukkkan kasih setianya, menolak keinginan orangtua atas jodohnya, tetapi aku tidak sabaran menunggu keberaniannya mengatakan, bahwa hanya akulah satu-satunya belahan jiwanya. Aku telah menanggung siksa derita, benarkah dia melukai ku, atau hanya karena ketakutan luarbiasa yang menghantui diriku.

Aku dan Magda telah memberikan semua apa yang terbaik dalam kisah cinta, lima tahun lamanya. Akhirnya malam ini cinta kami dibawa angin malam entah kemana. Magdalena dan aku membawa sejuta duka, tiada lagi kata yang terucap kecuali, “ selamat jalan kasih, doaku bersama mu hingga keujung waktu.”
***
Orangtua Magda, menungu dan menunggu hingga hari kelima setelah sore itu “ajal” memisahkan aku dan dia, Magda tak kunjung ada. Seluruh keluarga gelisah, gerangan apa yang menimpanya. Jonathan menemuiku, dengan santun dia menanyakan kakaknya Magda. " Bang, sudah lima hari kakak tak pulang kerumah. Tolong disampaikan, papi dirumah sakit, jantungnya kambuh. Papi menunggu dan sering memanggil nama kakak Magda setiap papi sadar.” ucapnya dengan suara terbata.

Hatiku menjerit mendengar berita orangtuanya yang menderita dalam pembaringannya. Aku tak tahu kemana harus pergi mencari Magda, sementara Mawar belum pernah mengunjungiku, setelah berakhirnya kisahkasihku dengan Magda. Mungkinkah Mawar ikut merasakan “kekejian” yang baru saja aku lepaskan mengatasnamakan cinta.?

Banyak rekan satu kuliah ingin menawarkan bantuan mencari Magda, tetapi pilihanku hanya kepada Sinta. Aku tahu kepribadiannya sejak masa kanak-kanak, karena dia paribanku sekaligus sahabat baik, meskipun sewaktu-waktu omongannya menyakitkan, tetapi dia juga sadar kalau aku adalah paribannya. Dia boleh “sesuka-suka” sepanjang masih belum berkeluarga , dia tahu itu.

Aku menghubunginya ketempat dia mengajar. Tetapi bagaikan petir disiang bolong, Sinta berteriak-teriak diujung telephon sana, “ Abang biadab, tak punya perasaan, aku dengar getaran suaranya menahan geram. Bang, aku sibuk, ada apa menelephonku hah..?.

Aku merasa syok dengan makiannya, seumurku tak pernah mendengar kata makian dari mulutnya. Aku terdiam tak tahu apa yang akan ku katakan. Sinta tak sabar menunggu jawabanku, akudengar dia telah meletakkan gagang telephonnya.

Aku tak mengerti, kesalahan apa yang ku perbuat kepadanya, semua uang yang aku pinjam telah aku kembalikan, meski dia tak mau menerimanya. Lalu, kesalahan apa yang ku perbuat, begitu kasarnya dia menyebutku, “biadab”, ini diluar kebiasaannya.

Aku berusaha menghubunginya untuk kali kedua, mengharap Sinta akan berbicara lebih santun. Aku membujuk tatausaha sekolahnya untuk memanggilnya, “ tolong pak, ada yang emergensi,” ujarku.

Sinta mengangkat telephon, sebelum aku memulai pembicaraan, dia mohon maaf, “ maaf bang, Sinta terbawa perasaan, Magda sudah empat hari ini dirumah, sepanjang malam menangisimu, dia juga makan hanya sekedarnya. Abang siap-siaplah menanggung “karma”nya.

Kini aku mengerti kenapa Sinta langsung memakiku, aku tak tahu kalau Magda ada bersamanya. Akh..Magda luar biasa, dia dapat membedakan kepada siapa dia patut marah. Padahal Magda tahu kalau Sinta adalah paribanku. Dan sebelumnya aku dan Magda ribut besar ketika aku dan Sinta pulang bareng dari kampung.

“ Sinta, aku siap, kalau memang itu ada. Abang berbuat yang terbaik untuk Magda dan untuk diriku sendiri. Tolong mengerti keberadaanku, jangan mengutuki seperti itu, abang tak suka,” ucapku mengingatkannya.

“ Iya, bang sekali lgi mohon maaf. Magda menceritakan, kalau abang memaksa putus hubungan dengan dia, dengan alasan yang dibuat-buat, abang juga nggak jujur. “ Aku menunggu Sinta selesai “ menghujat”, tak sediktpun kutanggapi sampai akhirnya menghentikan celotehannya.

“Sinta, hanya aku dan Magda lebih tahu masalah kami. Sinta, untuk kali terakhir, aku mohon bantuanmu, tolong dulu antarkan Magda kerumahnya, atau aku menjemputnya, papinya sakit keras. Jangan beritahu kalau papinya sakit keras, bujuklah dia dengan caramu, supaya dia mau pulang,” ujarku.

“ Zung, suruh saja Mawar menjemputnya, jangan abang yang datang, dia masih sakit hati pada abang.”
“ Sinta, aku juga tak tahu Mawar dimana, sudah lima hari ini, aku tak bertemu dengan Mawar.”
“ Iyalah, nanti Sinta bujuk, tapi jangan temui Magda dulu, dia masih terpukul.”
“ Iya,percayalah sama abang, tidak akan menemuinya bahkan mungkin untuk selamanya.?”

( BERSAMBUNG)

Los Angeles. February 2009

Tan Zung
http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/