Thursday, January 22, 2009

Magdalena (9)


=============
Malam ini diruang sempit dan pengap karena cinta,dua anak manusia duduk gelisah sekaligus mencekam.
=============

"Ayolah bang kita pulang,” katanya memecahkan kesunyian kami beberapa saat sambil dia beranjak dari tempat duduknya. Tampaknya dia tak bergairah, lesu.
Nggak jadi kita beli buku’”? kataku menggoda. Ehhhh malah dia menatapku dan duduk lagi.
“Apalagi nih bang lanjutnya...belum puas kau memfitnah. Belum puas abang menghinaku,” suaranya bergetar. Rupanya dia kuatir nama-nama lelaki yang ku sebutkan sebelumnya muncul lagi....

Ah geli rasanya padahal aku cuma ngomong seadanya, dasar anak belum pernah bercinta. Nggak sepertiku yang pernah jungkir balik dalam arena cinta, walau hanya cinta monyet.

Magda tertunduk sambil mempermainkan jari jemarinya, sesekali dia menggeleng kepalanya perlahan. Bah, putus aku urusan airmata lagi pikirku. Sebelum airmatanya terurai aku segera bergegas meraih kunci motor dari tangannya, " Ayo Magda, aku antar kamu pulang" ajakku serius.

Sungguh aku tak ingin lagi runtuh karena tetesan airmata. Cukup sudah dadaku menampung cucuran airmatanya tadi malam. Apakah cinta harus selalu dibarengi air mata, nggaklah. Urusan yang satu ini memang aku rapuh. Sama rapuhnya ketika aku membalas surat Bunga empat tahun lalu.

Ketika itu Bunga mendatangiku ke rumah Magda, tatkala aku dan Magda sedang belajar. Bunga menumpahkan seluruh isi hatinya diiringi tangisan dan airmata. Magda ikut terbawa perasaan mendengar tuturan Bunga, mata Magda memerah. Setelah bunga pulang Magda berkata : “Tan Zung..kasihan dia, kan bukan dia yang salah.

”Apa maksud mu," tanyaku.

“Ya, lanjut lagilah kalian. Kan kau berhubungan dengan Bunga bukan dengan mamanya ” ujarnya serius.
"Lanjut katamu. Rabu, duapuluh enam bulan Agustus depan, dia mau menikah sama anak Akademi Ilmu Pelayaran dari Jakarta itu."

“Bah, pestanya pas ulang tahun abang.” katanya dengan wajah serius.
" Ehh..kenapa pula kau sangkut pautkan pestanya dengan ulang tahunku ? Tahukah kau Magda, mamanya tergiur karena baju seragam calon mantunya itu. Aku kira mamanya salah duga, dia kira calon Bunga itu Angkatan Laut,” kataku.
"Sudah...sudah kau ngelantur, masak serendah itu pikiran mamanya” ujarnya mengakhiri pembiraan mengenai Bunga ketika itu.
***
Meski aku sudah mengajak Magda pulang, dia tak mau beranjak dari tempat duduknya. Dia malah menepiskan tanganku ketika ku meraih tangannya mengajak pulang, dia merajuk habis. Aku kehabisan akal, strategi apalagi yang harus aku lakukan.
Oalah...menghadapi wanita selugu Magda ini teramat susah. Beruntunglah pria yang menyunting dia ini nanti, pikirku. Aku sudah trainning dia habis-habisan.
Aku mulai belajar dan memahaminya sejak peristiwa tadi malam. Jangan di usili, elus hatinya. Perlahan aku merangkul pundaknya, dia diam tanpa reaksi. Ku permankan rambutnya, kugerai dan kugulung berulang. Tampaknya dia menikmati permainan itu. Diusapnya matanya, ahhhh...dia bernafas lepas, aku juga.
***
“Bang, Sabtu besok aku dan Mawar mau menghadiri pesta pernikahan Bistok teman kita dulu, ikut iya,”bujuknya sambil menaruh tangannya kepangkuanku.
Tak kubiarkan tangannya nganggur terlalu lama dipangkuanku. Aku raih tanganya kugenggam erat, kedua telapak tangan kami menyatu, hangat . Dia tak berontak lagi seperti direstaurant Kp. Keling beberapa hari lalu.

Dia menggeser posisi duduknya dan,"hmmmmm ... Zung," ujarnya sambil tangan kanannya menutup bibirku. Aku biarkan tanganya berlabuh menutup bibirku dan perlahan dia mendekatkan wajahnya kemudian menciumku. Akupun diam tak berontak tapi perasaanku panas dingin jugalah. Otakku yang dijejali persoalan na ma rito karena hubungan kekerabatan dari marga ibu, sedikit luntur lagi. Ciumannya beda dengan tadi malam. Otakku pun sukar menguraikannya, kecuali hatik u.

Puas dia menciumiku, tetapi aku antara ya dan tidak. Selama persoalan adat jahanam itu tetap nyangkut dikepala, hatiku setengah-setengah pula. Kami akhiri babakan itu dengan mulus. Rasanya aku mau berlama-lamaan lagi dengan Magda dikamarku. Tak peduli hingga pukul berapa. Tadinya aku yang mendesak pulang kini malah berusaha supaya dia tetap bertahan.

Agar Magda lebih lagi bersamaku, aku melanjutkan lagi tentang si Bistok yang mau nikah itu. " Si Bistok sijerawat batu teman kita di es-em-a itu mau nikah?. Adanya rupanya cewek mau sama dia.? Jadi ditinggalkannya kau,” kataku usil. “Bangngng.....aaahhh “ katanya manja sambil memukul-mukul dada ku.( Bersambung)

Los Angeles - January, 2009

Tan Zung

http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/

Magdalena (8)

http://www.youtube.com/watch?v=NaMuBX4aMmw

==============
Lagi-lagi dia marah mukanya merah padam. Aku siap-siap mengelak kalau-kalau dia menampar aku lagi.
=============

Sepertinya Magda kehabisan kata tak tahu apa yang harus di ucapkan selain menatap dan menatapku. Lagi-lagi Magda mengeluarkan senjata ampuhnya untuk meluluhkan ku, airmata. Dia sadar itu sejak peristiwa tadi malam.

"Bang, bolehlah abang bergurau tapi tidak harus memfitnah. Abang sendiri tahu selama kita di es-em-a hingga sekarang hanya abang yang selalu berkunjung ke rumah," katanya dengan bibir bergetar dan wajah memelas.

Kupikir cepat kali ito ku ini "dewasa" tak lagi gasa-gasa on seperti beberapa hari terakhir ini. Aku dari tadi sudah siap-siap menerima tamparannya meski itu hanya penyampaian kasihnya, tapi tak kunjung jadi.

Ah...sepertinya lukaku dipulihkan oleh wajahnya yang selalu teduh itu dan memang sukarku lupakan. Keteduhan wajahnya mirip ibuku di kampung. Rambut panjang, ketebalan serta warna hitam pekatnya nyaris sama dengan rambut ibuku. Ohhhh cinta.

***
Skenario mulai tersusun dibenakku, bertingkah sejadinya angekin dia habis-habisan sampai dia benar-benar muak melihatku. Kalau nilai memuakkan di sekolah antara tujuh hingga tujuh koma lima, kali ini harus ku ciptakan nilai sempurna, sepuluh.

Tapi skenario ini hilang seketika, iya itu tadi karena tak tega. Kayaknya aku mencoba membohongi hati kecilku. Mestikah aku harus melukainya? pikiranku berkecamuk sementara kami masih beradu tatap dengan sejuta rasa.

Masih dalam tatapannya aku mencoba mengurai dalam hati apa sih sebenarnya cintai itu. Konon, cinta adalah anugerah yang paling sempurna yang dimiliki insan sempurna, manusia. Tapi aku....? Mestikah harus menodai kesempurnaan itu. Mestikah cinta harus selalu berakhir dengan pernikahan?. Magda yang polos dan tulus telah menitipkan cinta kasihnya kedalam relung hatiku yang tertanam sempurna.

Aku tertunduk lesu leherku tak kuasa lagi menanggung beban berat dikepala ku, mumet. Dalam keheningan malam itu kubiarkan dia menatap sepuasnya. Tatapan matanya meluluhkan hatiku lagi, uhhhh.

Lagi...lagi tak kuasa menahan getaran sukma. Aku ingin segera melupakan persoalanku dengan Magda karena faktor tabu itu, adat. Tetapi sukar teramat sangat. Mengapa adat menjadi penghalang bahkan menjadi racun atas aku dan Magda yang terlahir kedunia atas nama cinta?!.
Adat dan agama hanya sebagai institusi sekedar pemberi legitimasi, simpulku.

Banyak bahkan berjuta anak manusia didunia beranak pinak tanpa legitimasi adat dan agama. Aku coba meng excuse kisahkasih ku dengan Magda. Tapi persoalan tidak sesederhana itu. Saya dan dia hidup ditengah adat dan agama pikirku lagi, ah...rumit kalilah hidup ehhh cinta ini.

Menurutku cinta itu suci tidak seharusnya dinodai oleh rasa ego, danl agi kata buku, cinta harus ada pengorbanan. Tapi siapa yang ego dan harus berkorban?. Siapa ego siapa.?. Hematku mestinya adat dan agama harus mau berkorban juga. Ah...kesimpulanku malah ego pula.

Kedua orangtuaku dan Magda keluarga adalah pelakon adat dan religius nyaris sempurna. Ayahku dikampung raja parhata dan sintua, sementara amanguda, orangtua Magda, pemuka masyarakat karena jabatannya dan juga keluarga religius.

Malam ini diruang sempit dan pengap karena cinta,dua anak manusia duduk gelisah sekaligus mencekam.(Bersambung)

Los Angels, January 2009

Tan Zung



http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/

Angek : kesal
Gasa-gasaon: sangat marah
Raja parhata: juru bicara adat

Magdalena (7)

http://www.youtube.com/watch?v=JMkFjYRWM4M"

================
Aku letih, pikiran kusut, aku tertidur membawa sejuta kenangan. Tak tahu apa yang akan terjadi esok dengan Magda, inaguda dan amangudaku, orang tuanya Magda.
================
Esok sore harinya menjelang malam, dengan berat hati kupenuhi ajakan Magda kerumahnya. Menurut dia mami-papinya yang mengajak aku kerumah entah untuk apa, Magdapun tak tahu. Tak ada jalan lain untuk mengelak undangan papi-maminya yang sempat kutolak itu. Bijak pula Magda, dia suruh aku mengantarnya pulang. Kakiku kini terikat oleh motornya, mau tak mau aku harus ke rumahnya sekaligus mengembalikan motor itu.

Inanguda menyongsongku keteras rumah tempatku dan Magda empat tahun menyelesaikan pekerjaan rumah masa es-em-a dan perkuliahan. Dalam kurun waktu empat tahun itu pula benih kasih berakar dan bertumbuh meski pada akhirnya menghasilkan buah yang sangat pahit, simalakama. Dilanjutkan, aku melawan nasehat ibuku. Dihentikan, Magda dan aku hangus terbakar dalam lautan api neraka. Tapi aku harus mengambil keputusan satu diantara dua, harus.!

***

"Darimana saja kau amang, kata itomu Magda kau sedang sakit, sakit apa ?" tanya tante ehhh... inang uda. Panggilan "amang" ini jugalah yang membulatkan tekad ku harus jauh dari itoku Magda. Magda menyusul maminya keteras. Sore itu Magdalena tampak segar meski matanya sedikit memerah. Rambutnya dikepang dua. Tubuhnya dibalut dengan blues warna pilihanku biru muda dipadu dengan celana blue jean, tampaknya dia all out.

Ketika itu sepulang dari kuliah --tahun ketiga kisah kasih kami terjalin-- Magda mengajakku ketoko langganan keluarganya di Kesawan, Jl. Surabaya. Disuruhnya aku memilih warna blues yang akan dikenakannya minggu depannya saat ulangtahunku yang keduapuluh tiga.

"Sudah tua kau," katanya ngenyek sambil mengukir senyum kala itu. Semerbak baunya sore itu mengingatkanku "tragedi' malam kemarin. Aku pikir itulah yang pertama dan yang terakhir.
***
Ketika aku tiba dirumah Magda, maminya memberitahukanku, bahwa Magda belajar terus sepanjang malam, "tuh lihat matanya merah," ucap maminya.
Ah.....enggaklah, kurang tidur tidak sesembab itu, jawabku dalam hati. Inanguda tak tahu kalau tadi malam kami hancur-hancuran dengan ito ku Magda. Aku jamin sejuta persen, Magda terus menangisi hatiku yang mulai dingin hampir membeku juga menyesali sikapku yang kembali kekehidupan lama, mabuk.

***
Amanguda ku , papinya Magda menyapaku dan bertanya persis sama dengan pertanyaan inanguda sebelumnya, dari mana saja tak pernah lagi kelihatan.

Ayohlah mami aku lapar ajak Magda menjeng sembari melirikku. Aku dan Magda menyusul papinya keruang makan. Lagi-lagi arsik kesukaanku terhidang disana. Ah.... arsik tak lagilah...hatiku kini telah marsik(kering, pen). Tetapi, aku tak mau mengecewakan inangudaku yang baik, kutunjukkan bahwa aku masih menyukai ikan arsik masakannya itu. "Ayo amang...ambil lagi," ajaknya sembari mendekatkan piringnya kedepanku.

Sembari menikmati makan yang terasa pahit dan nyangkut ditenggorokan, papi Magda menyelah pembicaraan aku dan Magda tentang dosen akuntasi kami yang super galak. Para mahasiswa menjulukinya babi nias, padahal dia orang batak. Akupun tak mengerti kenapa nggak disebut babi toba atau babi karo.

" Apa rencanamu amang. Nggak ada rencana cari kerja sambil kuliah. Tahun depan sudah tinggal menyusun skripsi. Aku pikir itu sangat membantu angkang dikampung," katanya serius.

Aku diam. Tak sedikitpun dalam benakku utk menyelesaikan kuliahku setidaknya satu semester ini. Aku ingin istrahat melepaskan kepenatan dan ketersiksaan jiwa yang kini kering kerontang.

Amanguda melanjutkan pembicaraanya, sekaligus menginformasikan bahwa bulan depan kantor gubernuran membuka lowongan untuk tingkat es-em-a dan sarjana muda jurusan akuntansi. Dia memang birokrat dikantor Gubsu menjabat salah satu kepala biro. Sesungguhnya inilah kesempatan terbaikku untuk meniti karier sekaligus membantu orangtua membiaya kuliahku. Aku masih diam.

"Bagaimana amang....,"tanyanya lagi. Hati dan pikranku sumpek tapi harus ku jawab.
"Tanggunglah amanguda, tahun depan skripsiku sudah selesai. Nantilah kalau tammat aku cari kerja," dalihku. Magda, inanguda dan amanguda memaklumi alasanku. Tapi mereka tidak dapat menilik hatiku yang terdalam, ada luka.

Selera makanku hilang bukan karena sakit, tetapi makanan terasa pahit ditelah. Kejadian malam sebelumnya dengan Magda masih menyisakan keperihan. Usai makan, Magda bergerak mengumpulkan piring bekas makanan kami. Keluarga ini tak mempunyai pembantu, meski menurutku sesuai dengan keberadaan dan jabatannya, membayar gaji dua pembantu pun mampu.

***
"Kedokterlah amang, kelihatan wajah mu pucat "kata inanguda.
Iya.. pucatlah sejak tadi pagi nggak ada yang masuk kedalam perutku kecuali air putih tok, bisikku dalam hati. Magda diam saja, dari wajahnya aku menangkap pesan, kecewa. Memang semangat hidupku telah terhilang.

"Bang minta tolong antar aku kepasar aku mau beli buku tulis,' kata Magda. Aku tahu itu hanya sandiwara. Dua hari lalu kami baru dari toko buku membeli lusinan buku tulis. Inanguda senang mendengar Magda memanggil aku abang.

Dikiranya Magda memangilku abang bermakna ito. Nggaklah inanguda bisik ku dalam hati. Inanguda tak tahu sejak tadi malam Magda memanggiku abang bukan bermakna ito, tetapi abang sayang.
Dalam perjalanan menuju toko buku, Magda bermohon mampir kekamarku. Alasannya, malam sebelumnya malam dia ketinggalan pengikat rambutnya. Ito ku ini ketagihan rupanya pikirku. Belum puaskah tadi malam dia menyiksaku tanyaku dalam hati.

"Bang, kita sudah kelewatan, balik lagi," ujarnya.
Memang hal itu aku sengaja, aku tak mau lagi tersiksa kali kedua, tidak ada lagi relung hati yang tersisa. Tiba di tempat kostku, tak sediktpun dia merasa canggung masuk kekamarku. Dia menemukan foto-foto yang kuacak-acak tadi malam masih berantakan diatas meja belajarku. Aku lupa menyimpannya lagi tadi malam.

"Kok berantakan begini bang," tanyanya.
"Mawar tadi pagi mampir minta foto kita waktu es-em-a," ujar ku berkelit.
"Mawar....?! Dia kan baru kemarin dulu ke Pekanbaru. Kau bohong iya," katanya seraya mencubit pinggangku. Olala... apalagi ini pikirku. Tapi cubitannya kok nggak ngaruh, tak seperti dulu.

Sepertinya seluruh tubuhku sudah kebal, mati rasa. Aku segera mengajaknya pergi.
"Ayolah sudah ketemu pengikat rambut mu,?".
"Abang ngusir ya " balasnya
Iyaaa... salah lagi...salah lagi.
"Nanti tokonya tutup," jawabku

"Bang, aku baru ingat buku tulis ku masih punya," katanya tersenyum.
" Makanya aku heran, dua hari lalu kita beli buku selusin kok sudah habis? Padahal tak selembar pun surat terlayang padaku atau mungkin kau pakai untuk pacar yang lain, ?" godaku lagi.

Magda kaget....sembari tertawa renyah
" Kirim surat untuk pacar lain...pacar yang lain siapa ? Jangan mengada -ada bang. Sejak kapan aku berteman dengan pria lain," ujarnya geram.

" Banyaklah, Salomo, Jaudut dan Bistok dan entah siapa lagi, manalah ku tahu," balas ku. Lagi-lagi dia marah mukanya merah padam. Aku siap-siap mengelak kalau-kalau dia menampar aku lagi. (Bersambung)

Los Angeles, January 2009

Tan Zung

http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/

Magdalena (6)

Christine Panjaitan - Tangan Tak Sampai

http://www.youtube.com/watch?v=GP1fGb53l5Q

===========
Tamparan keras terasa diwajahku. Dia beranjak hendak pulang. Kutahan dia dengan tenaga yang masih tersisa. Aku tak kuat, aku jatuh sempoyongan tepat kepangkuannya tapi tak muntah. Dibiarkannya aku sesaat dipangkuannya.
===========

Perlahan diangkatnya punggungku, aku kembali pada posisiku semula. Aku utarakan lagi apa maksud aku telah lulus memuakkan."Magda ....yah..hidup ini memuakkan, sangat memuakkan". Kuraih tangan dan menciumnya kemudian ku lanjutkan, "menurut adat kau adalah saudara sepupuku, itoku".
"Maksudmu apa," sergahnya.

"Iya... kita tak dapat melanjutkan hubungan kita," jawabku
"Persetan dengan adat kamu itu, aku tak peduli. Tidak bang.. tidakk ....kita....," kalimatnya terputus. Kubiarkan dia terisak meski hatiku bagaikan tertikam sembilu.
" Kita adalah korban adat Magda. Sudahlah pulanglah, sekarang pukul sebelas, nanti inanguda kecarian, " bujuk ku.
Magda menggelengkan kepala bahkan mendekapku semakin erat seakan tak mau melepaskannya.

Pengaruh minumanku pun terasa hilang. Lagi-lagi ku bujuk supaya dia pulang. Dia masih didalam dekapanku terisak. Air matanya membasahi dadaku yang semakin sesak itu.

Setelah cukup lama menangis, isakannya berkurang, sepertinya dia kelelahan. Ku merebahkan dia ditempat tidur ukuran twin itu. Dia raihnya t-shirtku dari pangkuanku, ditutupkan ke wajahnya, kembali dia merintih sedih. Akhirnya aku runtuh juga, tak kuasa menahan kesedihannya. Aku memeluknya, membuat dia semakin terisak tapi tak berucap kata.

Dia membalas pelukanku, detak-detak jantung menyatu dalam keheningan malam. Aku men cium kening dan kubelai rambutnya. Ketelinganya, aku bisikkan, Magdalena I love you so much. Ucapan cinta itu berhasil menghentikan tangisannya. Sementara aku tersiksa dengan kalimat yang baru saja aku ucapkan yang sekedar pelipur lara. Kami bangkit dan melepaskan pelukan, dia mencium bibirku untuk kali pertama.

Akupun lupa kalau dia itoku sejak dua minggu lalu. Malam itu aku dan Magda mengarungi samudera kenangan ditengah riak dan gelombang. Sungguh kami tidak berbuat melebihi pelukan dan ciuman kasih sayang.

Aku selalu ingat pesan ibuku, "Amang...unang sega i jala parmeam-meam boru ni halak, adong do ibotom" nasehatnya.( Jangan kau rusak dan kau main-mainkan anak orang, kau juga punya adik perempuan)

Bang besok datang kerumah iya," bisiknya ketelingaku. Aku iyakan ajakannya. Ku tuntun dia menuju pintu kamarku.
"Sisir rambutnya bang," pintanya sambil menyerahkan kunci motor. Tangan Magda melingkar di pinggangku erat dan merapatkan tubuhnya dalam boncenganku. Batin semakin tersiksa karena aku harus menjauhinya sebab dia adalah saudara sepupu atau ito setelah teroreh asmara.

" Aku telah mendengar cerita dari pamanmu. Mami Magda itu adik ku, jadi kau panggil ito sama dia," ujar ibuku belum lama setelah kunjungan paman ku ke rumah Magdalena. Kalimat ibuku yang membuat hatiku semakin hancur. Aku tak berani melawan nasihat ibuku sejak kecil. Aku sangat sayang padanya.

Aku kembali kekamar yang baru saja mengukir kenangan manis berujung pahit itu. Ku cari foto-foto kami ketika lulusan es- em -a dan sarjana muda. Aku memejamkan mata, sesugukan. Aku cium foto-fotonya sekedar pelepas dera.

" Magda, bukan aku tak sudi tetapi aku tak kuasa melawan adat jahanam itu, tak kuasa melawan ibuku inang tuamu itu. Biarlah cintaku yang putih bagai salju itu melekat dalam pualam hatimu Magdalena," suaraku lirih.
Aku letih, pikiran kusut, aku tertidur membawa sejuta kenangan. Tak tahu apa yang akan terjadi esok dengan Magda, inaguda dan amangudaku, orang tuanya Magda.

( Bersambung)

Los Angeles, January 2009
Tan Zung

http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/

Magdalena (5)

http://www.youtube.com/watch?v=HZBUb0ElnNY

Love me tender, /love me sweet, /never let me go. You have made my life complete,/and I love you so. Love me tender, /love me true, all my dreams fulfilled./For my darlin' I love you,and I always will....
=================
Aku menyesali kenapa aku terlahir sebagai orang batak toba. Seandainya aku orang batak Karo hal ini tak akan terjadi. Dalam adat batak karo, saat awal berkenalan selain menyebut marga ayah selalu menyebut marga ibunya. Misalnya, Tarigan bere-bere Siahaan. Artinya dia marga Tarigan dilahirkan oleh br Siahaan. Jelas bukan?.
===================

Magda masuk kekamarku tanpa canggung. Aku duduk disudut kamar dekat tempat tidurku yang pernah menghantarkanku dalam mimpi berpelukan mesra dengan Magdalena. Dia kibaskan abu dari taplak meja kecilku. “Sepertinya tak pernah kau dicuci ya,” tanyanya mengawali percakapan kami. “ Mami dan papi menyuruh kamu ke rumah,” lanjutnya nya.
“Ada apa,” tanyaku ketus.
"Tak tahulah aku, tanya saja sendiri. Ayo cepatan,” desaknya.
“Malas, bilang saja aku kurang sehat,” dalihku.

Dia berusaha membujukku tapi tak berhasil. Dia pulang meninggalkanku sendirian duduk disudut kamar itu dengan sejuta dera rasa. Aku mengejar keluar, ketika melihat dompetnya tertinggal diatas meja, diatas taplak sulamannya berukir M&H kependekan" Magdalena & Holong." Dia berlalu begitu cepat, bahkan tidak mendengar panggilanku. Kecewakah dia? Ditengah kecamuk pikiran akibat terror adat itu, aku benar-benar seperti orang gila.

Bunga lewat...kini Magda bakal lewat pula karena adat, bedebah!. Bayang-bayang liar mulai merasuk dalam diriku. Segera aku bergegas membeli minuman keras di sebuah toko pasar Peringgan, tak jauh dari tempat kostku. Aku gila, benar-benar gila. Mulutku selalu berceloteh adat sialan, bangsat.

Daun jahanam itu pun menjadi santapan harianku selama seminggu terakhir . Aku menyesal mengapa aku membawa paman kerumah Magda, huhh....

Menjelang malam, Magda kembali menjemput dompetnya yang tertinggal. Magda kaget dan berteriak ketika menemuiku setengah teler dengan menikmati daun jahanam di sudut kamarku. Kali pertama dia panggil aku, bang..! ”Kenapa kamu bang, kamu gila. hentikan itu” teriaknya sambil merampas daun jahanam itu dari selah kedua bibirku.

Magda menyiramkan sisa minuman "manson cola " yang masih tersisa kewajah ku. Bibirnya bergetar menahan rasa marah, kemudian dia tertelungkup menahan tangisnya. Aku tatap dia dengan mata kosong.

Ito Magda pulanglah nanti inang uda kecarian,” bujukku tanpa menyentuhnya. “ Tidaaaaak, jangan panggil aku ito...tolong bang jangan panggil aku ito, panggil aku Magda,” suaranya bergetar.
“Ya ito...ehh... Magda pulanglah akau mau tidur. Biarkan aku melalui malam ini tanpa bintang dan rembulan,” celoteh ku.

Tangisnya semakin menjadi-jadi, sesugukan. Ah...rambutnya menyadarkan aku dari pengaruh minuman dan daun gila itu. Berulang rambutnya kugulung dan ku geraikan. Dia masih terisak sambil menyebut namaku. Perlahan diangkat wajahnya menatapku sendu.

Tak tahan Magda memandangku kedinginan, dia berdiri dan melangkah menuju lemari pakaianku. Kubiarkan Magda menelisik pakaianku satu persatu. Dia mengambil t-shirt dan menyerahkan pengganti t-shirtku yang basah karena minuman yang ditumpahkannya. Aku tak menyentuh t-shirt yang dilettakkannya di pangkuanku. “Bang kau kedinginan, gantikan t-shirtnya,” bujuknya sendu. “Magda biarkan aku menikmati dinginnya malam ini sedingin cinta dibalut duka,” ucapku lemah.

Magda berpindah tempat duduk tepat didepanku, diujung tempat tidur. Dia berulangkali membujuk untuk menjelaskan mengapa aku kembali kehidupan lama, mabuk-mabukan.
“ Kau tak kasihan sama mama dan papa dikampung, uangmu kau habiskan hanya utuk minuman. Ingat sebentar lagi kita ujian,”ujarnya mengingatkanku.

“Aku sudah lulus. nilaiku memuakkan ”jawabku.
Tamparan keras terasa diwajahku. Dia beranjak hendak pulang. Kutahan dia dengan tenaga yang masih tersisa. Aku tak kuat, aku jatuh sempoyongan tepat kepangkuannya tapi tak muntah. Dibiarkannya aku sesaat dipangkuannya. (Bersambung)

Los Angeles, January 2009
Tan Zung

http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/

Magdalena (4)


Angin Malam - Panbers
http://www.youtube.com/watch?v=bUA0fB-Ty8Q
===============
“Magdalena lulus memuaskan om, aku lulus memuakkan’” ujarku ketawa. Magda tanpa merasa canggung mencubit pinggangku, karena kalimat memuakkan itu.
================
Papi maminya mengajak “gerombolan” kami kerumah. Rupanya keluarga ini telah mempersiapkan sejumlah makanan, mulai dari arsik kesukaan ku, saksang, rendang, gulai ayam dan sayur-sayuran.
“ Aku minta mami masak arsik. Aku tahu dari Mawar kamu suka ikan arsik,” ujarnya.
“ Terimakasih,” jawab ku singkat. Sebenarnya aku merasa malu, soalnya jarang ada anak seusiaku suka makan arsik, kampungan.
***
Tugas semakin berat menjelang semester delapan, kala itu kami sebut tingkat empat, butuh kosentrasi ekstra. Magda melaju terus tanpa halangan berarti, nilai setiap mata kuliah tetap memuaskan. Aku masih nilai memuakkan , tujuh koma sekian. Semester delapan kami lewati sukses. Perjalanan kasih berjalan seperti biasa meski kadang kala diiringi letupan-letupan kecil, yah.. selalu aku penyebabnya.

Meski kedua orangtuanya membiarkan kami lepas, tapi kami terkendali. Belakangan Magda sudah mau menanyakan kabar orangtuaku di kampung. “Bagaimana khabar papa dan mama’” tanyanya suatu waktu ketika kami berdua duduk ditaman pinggir kampus.

Usai pengumuman semester delapan, aku dikunjungi paman dari kampung. Dia mengajakku kekampus tempat putrinya kuliah, namanya Sintauli, kuliah di fakultas sastra. Sinta mau maju ke meja hijau sarjana muda.
Satu ketika, setelah cukup lama tidak bertemu dengan paribanku Sinta, secara kebetulan kami bertemu di satu bioskop di Kp. Keling. Dia bersama pacarnya, aku bersama Magda. Inilah awal perkenalan Magda dan Sintauli. Sinta dan teman prianya aku perkenalkan kepada Magdalena, " Ini pariban kandungku," ujarku sembari menyebutkan kuliahnya dimana. Magda menyapa Sintauli dan teman prianya dengan santun sambil menyodorkan tangannya.
***
Sebelum kekampus paribanku, aku sengaja mampir ke rumah Magda. Sekaligus memberitahukan secara tidak langsung kepada tulang kalau aku sudah punya pacar. Dalam hatiku tak usalah paman berharap aku jadi mantunya.
Selama ini memang tulang mengharap satu dari kami 5 bersaudara lelaki menjadi mantunya. Abangku lewat, tak mau dia. Kini giliranku. Kemanalah kutaruh si Magda ini pikirku. Nggaklah, dan lagi, pariban sepertinya adik sendiri, nggak tegaan. Ompung ku juga mengharap Sintauli menjadi isteriku.

Aku perkenalkan tulang kepada Magdalena dan maminya. Aku dan Magda meninggalkan mereka bercakap-cakap diruang tamu, sementara aku dan Magda dipekarangan belakang. Sedang asyiknya bercengkrama dengan Magdalena, maminya keluar memanggil kami berdua dengan wajah ceria. Aku dan Magda saling berpandangan melihat keceriaan maminya.

“Ini tulang mu, anak ompung Parsoltul adik bapauda ompungmu par Balige, kita masih dekat... dekat sekali,” terang maminya ceria. Sebagai anak yang baik Magda tertunduk hormat menyalami tulangku. Ah...kecilkalilah dunia ini. Kemana mereka selama ini, kenapa baru sekarang tarik silsilah/tarombo pikirku. Bagiku semuanya tak lebih sebuah terror.

Kembali aku dan Magda meninggalkan mereka bercakap ria diruang tamu. Magda mengaku tak mengerti penuturan kekrabatan yang baru saja dijelaskan maminya, syukurlah pikirku. Aku mulai gelisah setelah pamanku menuturkan kalau saya dan Magda mar ito ( saudara sepupu, pen) dan tak boleh kawin mengawin.
“ Ibu ku, marpariban( kakak adik/sepupu) dengan maminya Magda, jadi kita keluarga dekat,” terang tulangku.

Bah, kejam kalilah dunia ini, kepalaku pusing. Dalam perjalanan menuju kampus Sinta, ku biarkan paman berceloteh mengurai sisilahnya. Sikap mami Magda berubah drastis setelah bertemu dengan tulangku. “Panggil aku inang uda jangan tante lagi, juga panggil uda yang selama ini kau panggil om,” katanya serius.

Sejak saat itu aku dianggapnya seperti anak, bukan lagi sebagai pacar anaknya, Magda. Mami dan papi Magda tak segan lagi menyuruh aku membeli sesuatu kepasar Peringgan. Bahkan tak jarang memberi aku sejumlah uang.

Ketika itu masa liburan, aku sengaja tidak kerumah Magdalena selama dua kali malam minggu, ke gereja pun tidak. Magda, mami dan papinya yang sekarang berubah menjadi inang uda dan amang udaku tertanya-tanya.

Aku mendengar ketukan pintu berulangkali dan memanggil namaku.” Zung, tan zung... aku Magdalena,” suaranya pelan. Ku singkapkan gorden jendela hasil sulamannya yang segaja di buatkan untukku. Tidak seperti biasanya Magda selalu ke ruang tamu bila menemuiku. Dia tidak mau dituduh macam-macam oleh anak kost lainnya bila bertamu dikamarku. Padahal hampir semua anak kost temanku membawa wanita gonta-ganti masuk kekamar mereka.

Aku bukakan pintu, tapi sikapku pun kini berubah. Gairahku hilang dihancurkan oleh aturan-aturan adat yang menurutku kala itu tak beradab.

Siapakah yang tak beradab, aku kah atau adat tak beradab terhadap aku dan Magda?..Uhh... ternyata Magda juga merasakan perubahan diriku. Tetapi pemahamnya tidak seperti aku memahami arti kekerabatan.

Aku menyesali kenapa aku terlahir sebagai orang batak toba. Seandainya aku orang batak Karo hal ini tak akan terjadi. Dalam adat batak karo, saat awal berkenalan selain menyebut marga ayah selalu menyebut marga ibunya. Misalnya, Tarigan bere-bere Siahaan. Artinya dia marga Tarigan dilahirkan oleh br Siahaan. Jelas bukan?. (Bersambung)

Los Angeles, January 2009

Tan Zung

arsik = masakan (ikan) khas batak

Magdalena ( 3)

http://www.youtube.com/watch?v=ZaRSMWlqUgk

==============
Rambutnya terurai lepas hingga kepinggang. Memang ini semacam perjanjian tak tertulis antara aku dan dia. Beda kalau kami kepesta pernikahan, sesuai dengan permintaanku rambutmya selalu digulung menyentuh pundak
==============

Perkuliahan kami berjalan lancar. Pertemuan semakin intens menjelang ujian sarjana muda. Saat itu sebelum menjadi sarjana penuh harus melalui ujian sarjana muda. Aku, Magdalena dan Mawar sahabat akrab kami saling berpacu meraih nilai terbaik. Nilai Magda selalu memperoleh angka memuaskan rata-rata nilai delapan kecuali satu mata pelajaran bhs Inggeris, dia selalu menyuruhku melihat angkanya. “ Nilai tujuh,” sebutku.

“Memuakkan,” balasnya.Tanpa disadarinya sering aku merasa terpukul dengan kalimat memuakkan itu. Soalnya nilaiku rata-rata paling tinggi tujuh koma lima. Mawar teman dekat kami selalu melihat perubahan rona wajahku bila Magda menyebut "memuakkan".

Aku mengartikan sendiri bahwa, baginya semua nilaiku “memuakkan”. Segera kami meninggalkan kampus dan meninggalkan Mawar dan Salomo setelah melihat hasil ujian. Magda mengajakku ke restaurant kesukaan kami di Kp.Keling, aku lupa nama restorannya. Kali ini kami tidak direcoki Mawar dan Salomo. Akupun tak peduli kemana mereka pergi. Magda pesan dua gelas minuman kesukaan kami, es campur. “ Satu saja aku cuma temani Magda saja, aku tidak haus,” ujarku pelan.

Magda terhenyak, diam. “ Kenapa? Iya sudah, kita pulang sajalah. Aku tak suka pakai angek-angekan seperti ini,” ujarnya sembari beranjak dari tempat duduknya.

“Tunggu ! aku benar-benar tidak haus, aku lapar,“ jelasku mengobati rasa kecewanya. Magda menatapku kemudian mencubit tanganku. " Sakiiiit benar, " teriakku . Kuraih tangannya yang nakal itu dan kini kedua telapak tangannya ku gemgam erat sementara mata kami beradu pandang, hanya itu.

Usai "pertengkaran" singkat itu Magda mengawali pembicaraan, “ Zung, aku minta maaf. Aku tak sadar kalau aku sering melukai hatimu,” ujarnya serius. Aku kelimpungan, aku tak tahu apa yang perlu kumaafkan, bingung. Pada hal akulah yang banyak cengkunek.

“Selama ini aku selalu kecewa bila ada nilaiku angka tujuh dan aku selalu berkata “memuakkan”. Itu hanya spontanitas saja, tak ada niat menyinggung perasaanmu,” lanjutnya.

Wah, ini kerjaan Mawar lagi simpulku. Memang hal itu pernah aku utarakan sama Mawar bahwa aku tak suka celutukan Magda itu. Perlahan Magda menarik kedua tangannya dari gemgamanku setelah pramuria restoran menghantarkan minuman pesanan kami. Setelah pramuria meninggalkan kami, dia mengganti judul pembicaraan kami yang terputus.

“Jangan marah iya, cuma ingin tahu saja. Apa benar kamu memanggilmangil Bunga ketika teler di Tampomas itu,?” tanyanya dengan nada selidik.

“Apa perlu harus kujawab,” tanyaku balik .
“Terserah kau kalau nggak juga ndak apa-apa,” ujarnya dengan nada kecewa.
“Baiklah, aku mengakui menyebut nama Bunga. Tetapi seingatku namamu juga aku panggil, Mawar dan Salomo juga. Bahkan guru kita olah raga si botak itupun kupanggil,” terangku.

Magda ketawa cekikikan mendengar nama guru olahraga pak botak genit itu. Kena dia pikirku, kesempatan takkan ku sia-siakan, kini kendali ditanganku. Sementara dia masih cekikian sambil memegang perutnya karena kecapekan menahan geli, aku ganti posisi pindah kesisi kirinya, merapat.
“Ah....kau brengsek, kau ngarang, nggak benar itu. Kenapa otakmu sampai ke bapak itu lagi,?” tanyanya masih menahan rasa geli sambil memukul pahaku. Akupun heran kenapa otakku teringat bapak itu, padahal kami sudah tamat tiga tahun. Kucoba mengulang lagi meremas tangannya yang "lancang".

Bah, segera pulak dia menarik tangannya sambil pelototin aku meski dalam wajah kegelian. Ahhhh...ternyata aku salah tanggap. Segera dia klarifikasi sikapnya itu.
" Banyak orang,” ujarnya berbisik.
“ Berdua, iya dikamar lah, “ candaku.
Plaaak.. tangannya menampar wajahku .
“Minum es campur saja omonganmu sudah ngaco. Pulang ah, malas ngomong dengan orang ngaco. Ayo sudah sore, sebentar papi pulang dari kantor,” ajaknya.

Mulutku kecolongan lagi padahal maksud aku hanya bercanda. Aku panggilkan beca bermesin, aku tahu dia paling benci berpergian dengan jenis beca ini. Aku tahu hatinya kesal, memang aku sengaja. Soalnya kalau naik beca dayung percakapan, abang beca dapat nguping. Beda dengan beca mesin, teriak-teriak kecilpun tak akan didengar. Didalam beca, kutampar wajahnya sepelan ketika dia menampar wajahku direstoran itu. Dia tersentak.
“Sakit nggak,” tanyaku. Dia memandangku tanpa jawab.

Ku ulang lagi ...dan lagi...lagi. Ah...sikapnya sama, diam membisu sambil menatap wajahku. Menjelang rumahnya, dengan tangan kananku membelai rambutnya yang digerai lapas itu, dia masih diam. Magda membiarkan tanganku ketika meraih tangan dan menaruhnya dipangkuanku.

Oh....sore yang nikmat tak salah aku memilih beca mesin pikirku. Sejenak direbahkan pulak kepalanya diatas bahuku. Sempurnalah sudah jalinan kasih yang selama ini mengambang diatas angan.

***
Menjelang persiapan meja hijau sarjana muda, aku dan Magdalena sepakat selama dua minggu tak ada kunjungan, tak ada malam mingguan. Tiba saatnya pengumuman hasil meja hijau kecil, Mawar, Salomo lulus. Magdalena lulus sangat memuaskan, nilai rata-rata 8,5. Aku lulus memuakkan dengan nilai rata2 7,5.
Kami saling memberi ucapan selamat. Aku ucapkan selamat pada Magda didepan papi dan miminya. “Magdalena lulus memuaskan om, aku lulus memuakkan’” ujarku ketawa. Magda tanpa merasa canggung mencubit pinggangku, karena kalimat memuakkan itu. (Bersambung)

Los Angeles, January 2009

Tan Zung

Magdalena (1)

http://wBoldww.youtube.com/watch?v=BGJx_PxK1WU

==============
Malam itu yang kuingat hanya kecupan si Bunga, ternyata si "bodat" satu itu" ujarku hampir mau muntah. Sejak peristiwa itu, lama aku digelari pemain anggar :))
============

Beberapa hari si bodat itu datang berkunjung ke stand tempat kami pameran. Kalau bukan karena Mawar dan rekan rombongan lainnya, aku mau beri "pelajaran" Usai pameran di gedung Proklamasi, Jakarta, rombongan kembali ke Medan dengan kapal Tampomas kecuali aku dan Mawar. Mawar sahabat Magdalena mengajakku naik pesawat, "aku trauma kejadian malam itu bang, lebih baik kita naik pesawat, aku masih ada sisa uang jalan kita,"ujarnya.

***

Bayang-bayang biduan Tampomas masih berkecamuk dalam ingatan. Beban mata kuliah yang tertinggal selama 10 hari tidak mampu mengusir tragedi itu. Aku segera menuju rumah Magda teman belajar ku sejak kelas tiga es-em-a.

Dia menyodorkan catatan penting mata kuliah yang tertinggal. Aku tekun mencatat dan bertanya hal-hal yang kurang dapat ku mengerti. Dia menjabarkan secara tepat. Memang sejak kami di kelas satu hingga kelas tiga es-em-a Magdalena selalu bintang kelas, hampir semua mata pelajaran dikuasai dan di senangi kecuali olahraga. Mungkin karena guru olahraga sibotak matanya sering jelalatan memandang binar dari ujung kaki hingga kedadanya. Tak jarang pula sibotak ini berpurapura mengajar bagaimana memegang bola volley hanya sekedar ingin menyentuh tangan dan memepetkan pahanya kepaha Magda.

Sabtu siang hingga menjelang larut malam kami habiskan waktu hanya berduaan, belajar. Kedua orangtua dan Jonathan, adik satu-satunya pergi menghadiri pesta pernikahan. Magda sendiri tak pernah mau ikut menghadiri acara pernikahan, menurutnya acara bertele-tele dan sangat menjemukan.

"Aku tadi diajak tapi aku tolak, bosan" ketusnya. Esok hari sepulang dari gereja, aku mampir lagi dirumah menyelesaikan catatan yang masih tertinggal sekaligus menanyakan beberapa tugas akuntansi yang masih tersisa.

Kedua orangtuanya heran setelah melihat hanya aku dan Magda ditataman belakang, tidak seperti biasanya, hari minggu kami lewatkan bersendagurau dengan sejumlah teman naposo di taman kecil dibelakang rumahnya yang asri itu.

"Dimana Mawar, Salomo dan teman lainnya?" tanya mami-papinya serempak.

"Mereka pergi ke warung bu Munah om, " jawabku.
Warung ini sangat disenangi pasangan sejoli, selain racikan bumbunya yang khas, tempatnya agak jauh dari keramaian.
Mami dan Papi Magda yang selalu kupanggil om-tante segera meninggalkan kami. Aku lanjutkan diskusi pelajaran akuntansi dengan Magda.

Mawar satu diantara kelompok belajar kami. Dia adalah sahabat karib Magdalena sejak kecil. Mereka mempunyai hubungan kekerabatan dari pihak ibunya. Mawar jugalah yang sering mengomporiku untuk menjalin hubungan dengan Magdalena.

"Zung ...dia selalu gelisah bila malam minggu kamu tidak datang kerumahnya. Apalagi kalau kamu tidak dilihat di gereja," ujar Mawar.
Jujur, aku akui hubunganku dengan Magda selama dua tahun hanya sebatas teman kuliah.

Kisah kasihku dengan Bunga masih tersimpan dalam kalbu meski menyakitkan. Rasanya belum ada yang tersisa dalam ruang hati sekecil apapun menggantikan Bunga. Tapi entah kenapa medio bulan Desember tahun kedua persahabatan kami, naluriku ditingkahi rasa sayang dan sedikit tumbuh rasa cemburu manakala Magda tertawa lepas dengan temanku Salomo.

Malam minggu kedua bulan itu kami pulang dari gedung olahraga(GOR)Medan menghadiri ibadah natal oikumene. Aku dan Mawar satu beca sementara Magda bersama Salomo. Hatiku diliputi rasa cemburu melihat Magda dan Salomo begitu ceria dan tertawa terkekeh sepanjang perjalanan. Sesekali Magda menoleh kebelakang dan akupun berpura-pura ceria dengan Mawar. Aku dan Salomo kembali kerumah masing-masing setelah menghantarkan Mawar dan Magda kerumahnya.

Disudut ruangan kos ku duduk termenung dan gelisah. Sebentar-bentar aku keluar ruangan, kemudian masuk lagi. Ah, tanda-tanda apa ini pikirku sekaligus berusaha mengusir kegalauan hati. Kopi yang ku seduh beberapa jam lalu tak tersentuh. Jiwa berkelana liar terlunta-lunta bagai tak punya raga. Wajah Bunga dan Magda datang silih berganti.

Aku letih sendiri kemudian merebah dalam pembaringan sepi. Angin semilir malam itu berembus melalui celah jendela menghantar tidurku sekaligus mengukir mimpi. Magda meletakkan kepalanya dengan rambut terurai dipangkuanku sembari memegang sekuntum bunga mawar merah yang dipetik dari depan rumahnya.

Disudut kamar, kami duduk berduaan, mesra iya...sangat mesra. Kubelai rambutnya yang terurai lepas. Kucium keningnya dan menelusuri hidung hingga bibirnya, berbalas. Meski itu hanya dalam mimpi tapi aku menikmatinya. (Bersambung)

Los Angeles, January 19, 2009

Tan Zung
Cerber III: " Telaga Senja: " http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/

Magdalena (PENGANTAR)


Sebuah kisah perjalanan cinta anak manusia yang sukar dilupakan, dulu. Kini mengurai kenangan itu seakan baru saja terjadi. Kenangan itu aku akan mulai dari pengalaman unik didalam kapal laut Tampomas route Medan -Jakarta.

Saat bersamaan hatiku sedang berbunga-bunga dengan seorang perempuan teman sekelasku sejak di salah satu es-em-a negeri Medan, namanya Magdalena. Berikut pengalaman itu dan kemudian berlanjut dengan kisah kasihku dengan Magdalena.

Pemabaca yang budiman, perlu penulis garis bawahi; bahwa cerber ini dituturkan dengan bahasa sederhana dan barangkali tidak seturut rambu-rambu kewajaran dalam teknik menulis. Cerber ini disajikan oleh penulis otodidak. Penulis dengan senang hati menunggu masukan, tentu saja agar cerber ini tampak lebih baik dan enak dibaca. Salam.

Catatan: Sedikit kesalahan teknis; Cerber nomor 2 loncat setelah nomor 10, maaf. TZ

***

Pengalaman pertama bertemu dengan seorang gay ketika naik Tampomas dari Medan menuju Jakarta dalam rangka menghadiri pameran tingkat nasional yang diselenggarakan Dep. P& K, Dirjen PLSOR ketika itu.

Malam pertama bersama dengan rombonganku memasuki bar kapal itu. Menjelang larut malam seorang penyanyi pria melemparkan senyuman seraya menyapaku dengan genit, akupun merasa "hebat" mendapat sambutan seseorang, penyanyi lagi. Usianya kurang lebih sama denganku. Aku dan rekan-rekan heran ketika seorang pramugari bar menghantarkan dua botol bir dan sejumlah botol fanta untuk teman perempuan.

Aku dan rombongan saling melirik, masalahnya adalah, siapa yang akan membayar nanti.? Sementara kami masih kebingungan, siapa yang bertangung jawab menegenai pembayaran, sang biduan itu bergabung deengan rombongan.

Dia duduk persis bersebelahan dengan ku seraya menimpuk paha ku dengan lembut seraya menanyakan nama. "Silahkan habiskan minumannya aku sdh bayar," katanya mengakhiri rasa selidik kami. Aman sudah masalah pembayaran.

Awalnya pertemuan biasa-biasa saja, tak sedikit pun merasa ada hal yg aneh. Banyak hal kami perbincangkan mulai dari siapa penyanyi pujaan hingga pacar. Ketika rekan-rekan turun melantai tinggallah kami berdua bersendagurau hingga kembali ke pembicaraan tentang pacar. Aku begitu semangat menceritakan hubungan yang terputus dengan mantan pacar ku Bunga, putus gara-gara maminya.
Sanking semangatnya tak terasa bir dua botol ukuran besar ludes menelusuri kerongkonganku. Dia memanggil pramuria bar," bir dua botol lagi" pintanya. Bagiku pertemuan malam itu sangat mengesankan.

Sebelum menuju tempat peraduan--kami tinggal di kelas kambing alias deck - dia berpesan," kalau mau mandi silahkan datang kekamarku," ajaknya. Dia tahu mandi di deck selain antrian panjang airpun sering terputus.

Sepulang dari bar seorang rekan mengingatkan saya, "hati-hati dari lagaknya melihat kau, aku curiga dia itu pemain anggar," ingatnya. Karena kepala mulai pusing aku tidak perhatikan apa maksudnya pemain anggar. Dalam hatiku berkata, yang minum siapa yang mabuk siapa, apa pula hubungannya penyanyi dengan pemain anggar.
***
Karena keterbatasan dana, aku dan rombongan putuskan, malam kedua kami tidak pergi ke bar. Rupanya sang biduan kecarian. Dia mendatangiku dan mengajak ke bar. Mengingat kebaikan hatinya malam sebelumnya, akupun bersedia mengikuti ajakannya. Disinlah awal malam jahanam itu. Dia menyuguhkan bir berbotol-botol hingga aku teler berat. Semua lagu permintaanku dipenuhinya seperti lagu-lagu Panbers, The Mercys dan Eddy Silitonga, satu diantaranya tembang "Biarlah Sedih".

Lagu-lagu sendu menyentuh hinga keubun-ubun sementara alkohol mulai merasuki seluruh tubuh, kepala terasa berat dijunjung. Usai bar show, antara sadar dan tidak sang biduan memapahku menuju kamarnya. Yang kurasakan hanya sebuah kecupan dan sebuah bisikan entah apa dikupingku.
Namanya sedang on aku pikir itu kecupannya si Bunga, akupun merasa syuur sambil menyebutnyebut nama Bunga...Bunga....sayang. Dua rekan wanita mulai curiga, bar sdh tutup kenapa aku belum kembali. Mereka ini tahu, setelah putus dari Bunga aku sering melamun dan pelariannya minum sampai tuntas alias teler.

Mereka takut kalau aku terjun kelaut. Kedua perempuan sahabat inilah yang menyelamatkan aku dari penistaan sang biduan. Menurut pengakuan rekan perempuan itu, mereka sudah berulang mengetuk kamar sang biduan tetapi dia tidak mau membuka. Akhirnya, mereka melapor ke petugas ( Angkatan Laut ) bhw seorang teman, maksud mereka aku, mau diperkosa. Segera petugas melabrak pintu sang biduan dan menemukan aku hampir telanjang.

Petugas kebingungan, laporan pemerkosaan koq yang ditemukan dua orang pria?. Segera aku dibawa pulang dan masih belum sadar betul. Esok paginya, rekan-rekan terkekeh mendengar cerita kedua sahabat perempuan itu.

" Sejak kapan kamu ganti hobby menjadi pemain anggar" sindir temanku."
Intaklaikulah kau, manalah ku tahu jika dia memopong ku" jawabku sengit.
Malam itu yang kuingat hanya kecupan si Bunga, ternyata si "bodat" satu itu" ujarku hampir mau muntah. Sejak peristiwa itu, lama aku digelar-gelari pemain anggar :))

Los Angeles, January 2009

Tan Zung
catatan:(*) Intaklaikulah= sialan
bodat=monyet
http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/