Tuesday, February 3, 2009

Magdalena ( 60)

Take My Breath Away

http://www.youtube.com/watch?v=uGoAOD6mzXM

Take My Breath Away Watching every motion/In my foolish lover’s game/On this endless ocean/Finally lovers know no shame/Turning and returning/To some secret place inside Watching in slow motion/As you turn around and say/My love ....

===================
Biarkan airmatanya menambah air telaga tua. Hanya itu yang dimiliki dan dapat dipersembahkan. Magda, hanya telaga tua itu yang dapat menampung airmataku, menyatu kedalam air bening yang tersisa.”
===================
“ Tidak pap, aku tidak membiarkanmu duduk sendiri diatas batu telaga. Biarlah juga airmataku dan airmatamu menyatu ke dalam air telaga bening.”

“ Magda, biarkanlah aku berdiam disana bersama batu berlumut yang ditinggalkan surut air mengalir. Segala jiwa ragaku telah kuberikan kepadamu, tiada tersisa. Magda mendekatlah kepada papa untuk yang terakhir kali. Aku ingin mengecup bibirmu, aku ingin memelukmu untuk yang terakhir.

Menangislah untukku yang terakhir, aku ingin mengecup kelopak matamu; aku ingin menampung butiran airmatamu sebelum itu dimliki orang lain. Mendekatlah mama, ijinkan aku untuk yang terakhir menggerai rambutmu. Sedengkan telingamu diatas dadaku seperti sediakala, aku ingin bersenandung cinta, kali terakhir dipembaringanku, ditengah heningnya malam yang telah siap menghujam gelora kasihku.

Papaaa, tidak...tidak untuk yang terakhir, papa masih memiliki hatiku, airmata milikku milik papa jua. Aku juga telah memberikan jiwa ragaku pada papa, juga tiada yang tersisa.”
“ Iya, masih ada yang tersisa, dan itu Magda berikan kepada orang lain.”

Magda mengguncang kedua sisi bahuku dengan uraian airmata, “ papa egois, papa tidak mau mengerti perasaanku, papa terlalu tega membiarkan mama sendirian menanggung derita.”
Aku merasakan Magda tak kuasa menahan beban hatinya, dia tindihkan setengah tubuhnya diatas tubuhku yang terbaring lemah.

“ Papa, bebanku terlalu berat, mama tak mampu memikul sendiri, maukah papa bersamaku menangung beban berat itu? mau kan papa,? ujarnya dalam tangis sambil menciumi bibirku.
“ Magda, tubuhku terlalu lemah menahan siksa. Aku tak mampu lagi menanggung derita sekecil apapun. Aku ingin pulih dari siksa yang telah menderaku, tetapi akupun tak tahu pasti, siapa yang dapat memulihkannya.”

Magda bangkit, kedua tangannya memegang wajahku dan membelai rambutku. Manik-manik bening dibiarkannya tercucur diwajahku, mulutnya bergetar menahan siksa. Sepertinya jiwanya akan meninggalkan raga, suaranya melemah berujar; “ Jadi, papa ingin pergi meninggalkanku, ketika orangtuaku merajamku hampir mati? Papa, mau pergi meninggalkanku ketika jiwa ragaku telah ku serahkan sepenuhnya kepada papa ?. "

Aku diam, hatiku terenyuh mendengar gaung derita jiwanya tercurah dari mulut yang dibungkam oleh ego (?) Magda kembali meletakkan kepalanya diatas dadaku. Magda sangat lemah, kakinya tak sanggup lagi menjadi tumpuan beban tubuhnya yang terbalut dengan beban derita.

“ Papa, jawablah mama, mengapa papa diam.? Papa.., aku, telah mendengar hatimu yang terdera. Tetapi papa tidak mau mendengarkan jeritan hatiku yang tersiksa, papa egois.! Papa lihatlah aku, telusurilah hati mama yang kini sedang menderita siksa karena cintaku tulus kepada papa. Kini, papa ikut menyiksaku. Sudah puaskah papa,? bolehkah aku pergi sekarang? Papa, aku sudah kehabisan air mata, tak ada lagi yang tersisa bahkan untuk menangisi diriku sendiri.( BERSAMBUNG)

Los Angeles, February 2009

Tan Zung
http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/

Magdalena (59)

http://www.youtube.com/watch?v=aQPKzOmDEaE

===================
“ Baiklah, kalau papa tidak mau memafkanku, biarkan aku menjalani hidupku sendiri, selamat tidur papa, selamat tinggal,” katanya dengan suara hampir tak kedengaran. Magda membalikkan tubuhnya, segera meninggalkan aku.
===================

SECEPAT inikah akhir hubungan yang terajut hampir lima tahun. Inikah ujung derita?. Akhh...ternyata aku tak dapat membohongi diriku. Sepeninggalnya, kerongkonganku terasa berat. Aku coba tegar, tetapi kenangan selama lima tahun berjalan melumpuhkan keakuanku.

Salahkan aku mengharap setetes air entah dari siapa, ketika aku dahaga dalam terik penderitaan mengikuti jalan tandus dan berliku.? Adakah sahabat lain dapat menolong,? Adakah waktu menjadi ukurannya,? jika iya, mentari telah memberiku sinar yang sama selama seribu delapan ratus hari tanpa henti, tetapi kenapa ia membiarkanku menanggung derita.

Dalam keheningan mengingatkanku; Magda berdoa ketika ibuku “sakit”; merajuk ketika aku menolak ikut mendampingiku ke kampung. Magda “ menyelamatkan” aku dari gemerlap malam dan menuntunku kembali masuk kampus. Beningnya airmata Magda manakala dia “tersandung”cemburu.

Aku tak dapat melupakan isak tangisnya, ketika aku marah dan sangat tersinggung tatkala Magda meragukan kejujuranku; Bagaimana aku dapat melupakan, ketika jari tangannya menyuap makan kemulutku saat aku sakit “ berpura-pura”, hanya karena aku takut dicubit dan diomelin setiap jumpa.?

Didalam benakku belum pupus ketika maminya memasak “arsik” khusus untukku. Di meja makan yang sama, papinya menawarkan pekerjaan, betapa mulia hatinya, dulu. Tetapi kini, ketika aku terhempas dan tercabik-cabik, aku tak melihat wajah mereka, ah...pemilik wajah itu telah menorehkan luka sangat dalam diperjalanan hidupku dan Magda buah cintanya.

Meskipun cinta tidak harus memiliki, tetapi cinta tidak harus dicederai nafsu kekuasaan dan keakuan. Hatiku semakin bergetar mengingat, ketika cinta menyatu dalam kepasrahan hati tulus, yang kami lakoni dalam kesunyian malam.

Terimakasihku kepada pencipta insan, aku dan Magdalena tidak pernah saling menodai mahkota kesucian ciptaanNya. Dia selalu mengingatkan, makna ketulusan dan kesucian itu. Ya, hanya cinta kami yang ternoda oleh buasnya ego.

Aku dan Magda tidak pernah menduga kalau akhirnya biduk akan diterjang ganasnya badai, terhempas hancur berkeping diatas karang tajam, setidaknya hingga kemarin pagi, sebelum aku terlempar diruangan ini. Dalam kesendirian, renung relung kasih terajut, aku mendengar isak tangis yang kukenal dan ku nikmati bertahun-tahun, isak tangisnya menyayat kalbu.

Perawat menuntun Magda kembali keruang rawat, aku “tertangkap basah” sedang meratap. Magda mengahapus air mataku tanpa kata. Aku berusaha memulihkan perasaanku. Dalam hati mengakui, memang Magda tidak sepenuhya bersalah. Magda duduk disamping tempat tidurku dan memegang tanganku, erat.

“ Tadi mama meninggalkan papa bukan karena marah. Mama tak kuasa melihat dinginnya hatimu, maukah memaafkanku untuk kali terakhir ,?”
Aku hanya menatap kesenduan wajahnya, memelas, “ Magda, tak ada yang perlu dimaafkan, kita hanya mengikuti irama simponi yang terus berubah seiring perjalanan waktu. Hanya saja, kita kurang bijak melangkah menyusuri waktu bahkan menoreh luka dalam diantara sesama. Ego mengelabui dan menutupi kearifan. Pulanglah, hari hampir pagi, papi-mamimu dan Albert pasti mencarimu.”

“ Papa, aku tidak akan pergi dengan siapapun, juga tidak dengan mami- papi dan Albert, tolonglah jangan menyebut-nyebut nama itu, maukah papa mengerti.”
“ Aku cukup mengerti, itulah sebabnya aku ada disini, karena aku menumpahkan rasa cintaku meski berbuah luka dan duka. Magda, biarkanlah burung yang sayapnya telah patah oleh ganasnya badai, terkulai diatas batu dalam telaga sunyi. Biarkan dia bersendandung, mengurai airmata ditengah heningnya malam. Biarkan airmatanya menambah air telaga tua. Hanya itu yang dimiliki dan dapat dipersembahkan. Magda, hanya telaga tua itu yang dapat menampung airmataku, menyatu kedalam air bening yang tersisa.” (BERSAMBUNG)

Los Angeles 2009

Tan Zung
http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/

Magdalena ( 58)

KUCARI JALAN TERBAIK

==================
Pulanglah.! Maafkankan aku, ternyata abang hanya berlayar dalam rangkaian mimpi; ditempat ini aku akan menghitung hitung hari kematianku.!”
“ Tidak, Mawar tidak suka mendengar kata-kata itu.”
==================
“ Mawar, kata-kata apalagi yang kau harap dari manusia terbuang sepertiku, kecuali kata kematian.!?”
“ Tetapi tidak dengan kata-kata kematian bang, perjalanan kita masih panjang.”
“ Kita? Mawar katakan sejujurnya, kita itu siapa? turutkah aku disana menelusuri perjalanan itu ?”

“ Bagaimana dengan Magda bang.?”
“ Magda ? dia telah mengahantarkanku keruangan ini ? Bukankah Mawar juga menyaksikan sendiri fajar itu redup berselimut awan gelap. Mawar menyuruhku menunggu hujan membasahi tubuhku, menggigil dan menghantarku keujung kehidupan? Mawar ingin melihat aku mati tenggelam dalam kebekuan? Pulanglah, aku mau tidur, berlayar dengan mimpi-mimpi kematianku!” ulangku lagi.

“ Maafkan Mawar, aku mengerti perasaan abang, tetapi ijinkan aku bertanya pada kejujuran hati. Tidak baik, aku ikut bernyanyi dalam senandung ratap sahabatku.!”
“ Terimakasih, Mawar telah menujukkan jatidirimu seutuhnya. Bolehkan Mawar mencium dan memelukku sebelum meninggalkan ruangan ini.?”

***
Buru-buru Mawar melap air matanya, ketika kedua orangtua Mawar datang “bezoek”. Papi dan maminya memegang tanganku erat, sambil menanyakan hasil akhir pemeriksaanku.
“Jangan terlalu banyak dipikirin, ikuti nasihat dokter,” ujar mami Mawar. Papinya memukul pelan punggung Mawar,” kita pulang dulu, besok kesini lagi,” ajak papinya.

“Bang, ditinggal dulu, aku coba hubungi lagi Magdalena, besok pulang dari kampus aku mampir, ada pesan abang yang akan kubawa.”
“Ada, tolong aku bawakan pembasuh luka.!”
Mawar menatapku dalam dan menggelengkan kepalanya. Mawar bergerak ketika maminya memanggil, “ Mawar, biarkan abangmu istrahat dulu.”

Dalam kesendirian, aku merenung ketika ombak terus menggulungku. Tiga kali berturut-turut mendapat ganjaran meski jiwaku masih selamat. Aku mencoba membaca tanda yang telah terjadi. Perawat penjaga mengakhiri renunganku, ketika menghitung hari-hari sial itu.
“Seorang wanita sepantaran abang berada diruang tunggu, mengaku calon isteri abang. Dia sejak dari tadi mau ketemu,” ujarnya.
“Aku mengelengkan kepala.”
“ Jadi tidak benar dia calon isteri abang.?”
Aku diam, tak menjawab. Aku masih terbayang ketika melihatnya duduk dengan kedua orangtua dan pria lain dalam pesta pernikahan tadi pagi, sebuah “tragedi”.

“Tragedi” itulah yang menghantarkan aku dalam pembaringan ini. Jiwa dan ragaku menderita sempurna. Aku ingin mengakhiri semua penderiataan ini, tapi aku tak tahu bagaimana.
Untuk keduakalinya perawat itu mendatangiku, “ dia tak mau pulang, katanya dia ingin bertemu hanya sebentar saja, kasihan bang dia menangis terus, “ujarnya

Aku luluh, “suruh dia masuk, tetapi tolong sampaikan hanya sebentar, aku mau istirahat,” pintaku. Tak lama kemudian, Magda datang bersama perawat. Magda tak dapat membendung tangis,”maafkan aku pap, tadi aku ingin menyenangkan hati papi-mami, hanya sebentar. Magda tak mau mempermalukannya didepan umum, maafkan aku kali ini,” tangisnya iba.
Tak sedikitpun hatiku terenyuh mendengar tangis dan ibaannya. Perasaanku, Magda yang berada didepanku tidak lagi Magda yang kukenal bertahun-tahun.

Magda terus menangisi sikap dinginku. “ Papa, kenapa jadi begini, aku hanya......”dia tak sanggup meneruskan tangisannya.Magda tertelungkup diatas dadaku, sesugukan. Perawat ikut larut menyaksikan “derita” Magda dalam tangis. Perawat tidak tega”mengusir” Magda, meski aku beri isyarat supaya dia menyuruh keluar dari ruangan. Tangisan Magda semakin menjadi-jadi ketika aku tak memberi reaksi. Magda menciumi pipi, mata dan bibirku; airmatanya memenuhi wajahku.

Perawat meninggalkan kami berdua dalam ruangan. “ Baiklah, kalau papa tidak mau memafkanku, biarkan aku menjalani hidupku sendiri, selamat tidur papa, selamat tinggal,” katanya dengan suara hampir tak kedengaran. Magda membalikkan tubuhnya, segera meninggalkan aku. (BERSAMBUNG)

Los Angeles, February 2009

Tan Zung

http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/

Magdalena( 57)

Let It Be Me
I bless the day I found you /I want to stay around you /And so I beg you, let it be me /Don’t take this heaven from one /If you must cling to someone /Now and forever, let it be me ...
===================
Orang yang diboncengnya—akhirnya meninggal tidak berapa lama. Kakiku yang masih dalam perawatan itu retak, siku tangan membengkak, “ dada, kepala dan rongga mulut bagus semua,” kata dokter.
==================
DIDALAM ruangan itu aku merasa kesepian. Aku tidak melihat seorangpun dalam ruangan, “mereka diruang tunggu, sebentar lagi mereka boleh masuk,” ujar perawat penjaga. Aku dipindahkan dari ruang gawat darurat keruangan lain. Aku tidak melihat Magda, kecuali Mawar, Sinta dan Sihol. Mata Mawar dan Sinta masih sembab memerah. Setelah beberapa lama, Sinta dan tunangannya Sihol permisi pulang setelah berjam-jam mereka menunggu diruang tunggu rumah sakit, “ Sihol maaf aku telah merepotkan.!”

Mawar memegang tanganku erat setelah Sihol dan Sinta pulang, bibirnya gemetar menahan tangis. “Abang, kenapa tadi bersikeras pulang. Abang juga tak mau Mawar antar, kenapa bang,?” ujarnya sesugukan sembari membelai keningku.

“ Mawar, aku tidak mampu menahan terjangan ombak yang datangnya begitu tiba-tiba kemudian menggulungku ke samudera luas nan ganas.!”
“Seandainya abang mau menahan diri sejenak saja, tentu abang tidak seperti ini.”
“ Mawar ! menahan diri katamu? aku tak kuasa. Karena aku masih memiliki harga diri; dan hanya itu milikku yang tersisa. Tidak seorangpunku biarkan menginjak harga diriku, juga Magdalena, sekalipun itu akan menghantarkanku keperaduan abadi!”

“Iya...iya..sudahlah, mulut abang masih mengeluarkan darah, aku panggil dokter bang?”
“ Mawar, tidakkah kau juga melihat hatiku berdarah-darah.?”
Abannggg.....Mawar mengerti.”
“ Mengerti.! tapi sesungguhnya kau tak dapat memahaminya.”
Iyaya..aku sangat memahaminya, bagaimana hasil pemeriksaan dokter.?
“ Semuanya bagus, kecuali pergelangan kaki retak dan hatiku pun remuk.
“ Ah.....abang, pikirkan kesehatan dulu, nanti hati abang sembuh sendiri.”

“ Semoga! Setelah dari sini, aku mau kerumah pak Ginting lagi. Mawar masih mau merawat abang.?” Mawar tidak menjawab kecuali dia menatapku, lama.
“ Iya mau bang, aku dan Magdalena.”
“Aku tak tahu dimana dia. Mawar, biarkanlah dia dengan pilihan orangtuanya , Albert.”

“ Bang, jangan putus asa seperti itu. Bicaralah baik-baik dengan Magda,”
“Mawar, tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, memang aku tidak menyalahkan dia sepenuhnya. Tetapi aku muak melihat kekerasan hati orangtuanya memilih calon mantunya.”
“ Sebenarnya, keputusannya tergantung sama abang dan Magda. Bukankah kalian sudah berencana mau ke Bandung?"
Iya tapi kejadian beruntun seperti ini, membuatku berpikir ulang. Aku terlalu lelah mengikuti alur sungai mengalir entah bermuara sampai dimana. “
***
“ Mawar, aku haus,!”
“ Tunggu, aku tanya dulu perawat, kalau abang sudah boleh minum.”
“ Iya, sudah boleh tetapi makan belum!”
“ Sebentar aku belikan keluar iya bang.”
Manson juga bolehlah,”ujarku ( aku ceplos, aku pikir teman bicara ku Magda)
“ Abang mau bunuh diri? “
“ Nggak bunuh diri juga, abang sudah mati pelan-pelan. Aku ini seperti mayat berjalan, jiwaku terguncang, ragaku seperti dicincang.”

Mawar memperbaiki posisiku sebelum dia pergi , “abang angkat kepalanya sedikit,” katanya sambil memperbaiki bantalku. Wajah kami berbenturan tak sengaja. Mawar menghentikan tangannya memperbaiki kepalaku. Mawar menatapku kemudian wajahnya melekat diwajahku. Aku berbisik ketelinganya yang masih menempel diwajah, “ terimakasih Mawar, engkau menyejukkan ketika hatiku kering kerontang. Mawar membalut lukaku ketika aku terhempas diatas batu cadas!”

Mawar menatap, dia menggelengkan kepalanya perlahan, “ Abang, sepertinya aku tak mampu berjalan didalam gugus yang abang dan Magda telah bangun.
“Mawar, gugus yang kami bangun didalamnya tumbuh ilalang dan rumput berduri. Bukan hanya kaki dan tangan kami berdarah, jiwa terbelengu berhenti mengejar fajar.
“ Abang, tidak perlu mengejar fajar, dia akan datang dan bersinar manakala waktunya tiba.”
“ Tahukan Mawar kapan waktu itu akan tiba,?”
Mawar kembali menatapku, “aku tak tahu bang,” ujarnya sembari menghapus sisa airmatanya.
“ Tapi sorot matamu, berkata, tahu.!”

“ Abang...Mawar tak tahu, aku tak mengerti, sungguh aku tak mengerti bang,” ujarnya, kembali wajahnya “menyapu” seputar wajahku. ( dalam hatiku, itulah jawabanmu sesungguhnya)
“ Abang bagaimana dengan Magda, dia sahabatku, ? Mawar tak sanggup. Aku mau pulang dulu iya bang!”

“ Bukankah aku juga sahabatmu? dan kini sahabat itu membiarkanku sendirian dalam ruangan pengap, setelah aku terkapar diterjang badai. Itukah arti persahabatan.?
“ Abang cukup..,! aku tak mengerti. Sudah bang, nggak usah dilanjutkan lagi, aku tak mengerti.!”
“ Tetapi hati Mawar dapat memahaminya, bukan.?”
“ Aku mau pulang dulu!”
“ Pulanglah.! Maafkankan aku, ternyata abang hanya berlayar dalam rangkaian mimpi; ditempat ini aku akan menghitung hitung hari kematianku.!”
“ Tidak, Mawar tidak suka mendengar kata-kata itu.” (BERSAMBUNG)

Los Angeles, February 2009

Tan Zung

http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/

Magdalena ( 56)


Heart - Alone

http://www.youtube.com/watch?v=jxfdDrKO8uM

I hear the ticking of the clock/I’m lying here the room’s pitch dark/I wonder where you are tonight/No answer on the telephone/And the night goes by so very slow/Oh I hope that it won’t end though/Alone....

=================
“ Aku menerimamu sebagaimana papa ada,” ujarnya sambil mencium pipiku. Tanganku ditaruh diatas pundaknya, “ pegang kuat pap, jalannya pelan saja.” uapnya menuntunku.
==================
DIDEPAN pintu kamar, aku melihat kopral Surahman dan ibu Mawar turut menjemputku. “ Kenapa kamu Zung,“ tanya ibu Mawar. Magda dan Mawar “berebutan” memberi penjelasan. Sepanjang perjalanan, di mobil, Mawar menanyakan kesehatan dan perkuliahanku. Tiba di gereja, Mawar dan Magda memapahku turun dari mobil hingga ke tempat duduk.

Selesai ibadah pernikahan, Magda dan Mawar masih menuntunku ke gedung resepsi di sisi bangunan gereja. Mami-papi Magda menjumpaiku dengan wajah heran ketika aku berjalan dipapah oleh putrinya, Magda. Aku jelaskan singkat, kenapa aku pakai tongkat. Di gedung itu aku melihat paribanku si centil, Sinta. Dia juga menyongsongku ingin memapah, sayang, tak ada ruang untuknya untuk menuntunku. Dia mencium pipiku dan berbisik, “ bang aman,?” tanyanya tersenyum. Oalahh, entah burung apa pula yang bersenandung berita “huru-hara “itu padanya.

Di dalam gedung resepsi, aku duduk diantara Magda, Mawar dan Sihol; kami menikmati acara khusus anak muda itu penuh gempita. Magda membantu ku berdiri ketika pasangan pengantin memasuki ruangan. Tepuk tangan membahana menyambut mereka, sementara Magda memandangi ku penuh makna.
“ Mam, kita tidak lama lagi seperti mereka.” ucapku pelan ditengah riuhnya tepuk tangan. Raut wajahnya semakin sumringah mendengar ucapanku serta menghadiakan ciuman di pipiku.

“ Magda, nggak malu dilihatin orang,?” tanyaku ketika berulang mencium pipiku.
“ Kenapa harus malu atau papa yang merasa malu,?” tanyanya.
“ Nggak, aku juga nggak kok, cuma malu karena tongkat ini,” dalihku.
“ Ya sudah. Magda, cium lagi, nggak usah pakai cubit,” kataku menahan cubitan dipinggangku.
Aku merasakan, Magda melayaniku”berlebihan” selama acara tapi aku menikmatinya. Sesekali Mawar kuajak berbicara ditimpali Magda.
***
Seorang remaja putri mendatangi magda dan berbisik. Magda diam bergeming. Tidak lama kemudian remaja pembisik itu menemui Magda, wajahnya sedikit berubah. Aku penasaran, menanyakan siapa remaja itu dan apa yang dia bisikkan. Magda belum menjawab, mami Magda datang menemuinya, juga membisikkan sesuatu, lalu pergi.

“Sebentar Zung, Magda mau turun kebawah ( lantai dasar, pen),” ujar ibunya.
Magda berkata lirih, “ Papi memanggilku, nggak tahu mengapa. Sebentar iya pap, aku segera kembali.” ujarnya.

Aku merasakan ada sesuatu yang tak beres, setelah belasan menit Magda belum muncul. Mawar menghalangiku ketika aku turun hanya dengan tongkat tanpa bantuannya. “Aku mau ke toilet,” ujarku. Mawar dan Sinta tak mengijinkan aku sendirian, mereka memegang kedua lenganku menuruni tangga.

Aku sengaja menghindar dari Mawar dan Sinta setelah dari toilet . Dengan tongkatku aku melangkah menuju ruangan lantai dasar mencari Magda yang baru saja” diculik”. Aku terhenyak melihat seorang pria — aku duga dialah Albert—duduk diapait papi Magda dan seorang pria lain usianya sepantarannya. Magda duduk diapit maminya dan seorang wanita usianya kurang lebih sama dengan maminya Magda. Akh..tak salah lagi, mereka sedang “mengeroyok” Magda.

Jantung berdetak kencang, sukar aku mengontrolnya. Aku buru-buru meninggalkan ruangan lewat pintu belakang dengan kaki terseok-seok. Mawar dan Sinta menyusulku, aku mendengar suara Mawar dan Sinta memanggilku. Mereka berjalan cepat mendahului langkahku, “ Abang mau kemana,?” tanya Mawar persis di depanku.

Dadaku terasa sesak, “Aku mau pulang,” jawabku. Mereka bersikeras menahanku, “ Tunggu bang, biar aku yang antar, “ ujar Mawar.
“ Tidak usah, aku bisa jalan sendiri,” ujarku, sambil memanggil beca yang kebetulan melintas dibelakang gedung pernikahan itu.

Mawar dan Sinta terus membujukku untuk tinggal sebentar, aku terus melangkah tak perdulikan bujukan mereka. Aku memaksakan kakiku masuk kedalam beca. Mawar dan Sinta akhirnya mengalah, membiarkanku pulang sendirian, meninggalkan “mama”ku dalam cengkraman orangtuanya.

Aku memalingkan wajah menoleh kebelakang, Mawar dan Sinta masih berdiri memandangiku dengan wajah prihatin. Ketika wajahku mengarah kedepan jalan, dari arah berlawanan, seorang anak muda mengendarai motor dengan kecepatan tinggi. Dia kehilangan kontrol dan menghantam beca yang kutumpangi, keras sekali.

Aku terpelanting keluar membentur aspal jalanan. Aku merintih kesakitan; dari mulutku keluar darah, kakiku tertimpa beca yang kutumpangi. Aku mendengar teriakan histeris Mawar dan Sinta dari kejauhan.

Sejumlah orang mengerumuni kami, mereka menolong pengemudi becak dan kedua orang yang menghajar beca. Diiringi ratap, Mawar dan Sinta mengangkat tubuhku kepinggir jalan, mulutku masih mengeluarkan darah. Aku sempat melihat wajah Magda sebelum kesadaranku hilang.

Aku baru sadar menjelang tengah malam, diruang gawat darurat; tulang - tulang terasa remuk. Menurut dokter, nasibku masih lebih baik dari kedua orang yang menabrakku. Orang yang diboncengnya—akhirnya meninggal tidak berapa lama. Kakiku yang masih dalam perawatan itu retak, siku tangan membengkak, “ dada, kepala dan rongga mulut bagus semua,” kata dokter. (BERSAMBUNG)

Los Angeles, February 2009

Tan Zung
http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/

Magdalena ( 55)


Endless Love

My love/There’s only you in my life/The only thing that’s right Oh yeah/My first love (yeah)/You’re every breath that I take You’re every step I make/ (Oh)....And I/(And I).......I want to share

====================
" Apakah Magda akan menghadirinya.?"
" Iya, Sorta itu masih saudara dekatnya. Aku telephon nanti Jonathan, biar dia sampaikan kalau abang datang ke pesta itu." ujarnya.
===================

MALAM hari, Mawar mempersiapkan pakaianku untuk persiapan esok hari kepesta. “ Bang dicukur berewoknya, kelihatan kayak tukang sorong ( buruh pasar, pen) tapi kumisnya dibiarin saja,” ujarnya tersenyum. ( Hanya ini yang nggak pernah Magda lakukan.) Mawar kini sedikit menyita perhatianku.

Sepeninggalnya, dalam bayangku, wajah Mawar bersanding dengan Magda, wajah keduanya elok dalam angan. Kemurnian dan ketulusan hati telah teruji lewat perbuatan. Bayang-bayang sempurna kepribadian Mawar dan Magda menghantarku dalam tidur.

Sabtu pagi sebelum menghadiri pesta, aku bangun lebih awal. Aku mencoba melayani diriku sendiri, harus bisa. Meski kaki masih belum pulih benar, aku berusaha melatihnya tanpa bantuan Mawar. Badanku masih gemetar menjaga keseimbangan tumpuan kaki. Keberhasilan mengenakan celanaku dengan susah payah, menambah rasa percaya diri. Namun, rasa percaya diri hanya berlangsung sekejap.

Kaki pesakitan yang belum sembuh sempurna membentur siku ranjang ketika menjangkau kemeja yang telah Mawar persiapkan malam harinya. Aku berteriak kesakitan, tersungkur tak dapat menahan sakit. Aku menyeret tubuhku ingin meraih obat cairan dari dalam lemari, namun selalu gagal, tangan tak dapat menjangkaunya. Kembali aku menyeret tubuhku ketempat tidur, aku bersusah payah menaikinya. Derita ini membuat aku menjadi manusia yang putus asa karena penderitaan beruntun.

Dalam siksa derita, wajah kedua orangtua tampak dalam bayang, jiwaku semakin merana. Kerinduan dan derita menyatu dalam ratap. Silih berganti aku memanggil ayah dan ibu. Bayang-bayang wajahnya belum cukup memupus kerinduan, tangis semakin menjadi-jadi, durhaka aku.?. Jiwaku bersimpuh dalam keheningan sepi.

Suara memanggil namaku diiringi ketukan pintu kala jiwa menyusuri rindu kedua orangtua. Ketukan kamar semakin keras dan berulang-ulang memanggil namaku. Aku hanya dapat menggeser tubuh penat . Tampak tangan - lewat jendela-membuka engsel pintu. Magda dan Mawar berhambur menemuiku diranjang yang terbujur menahan siksa pergelangan kaki berdenyut perih.
Ku sembunyikan derita dibalik wajah meregang, bibir kupaksa senyum menyambut mereka dalam pembaringan. Magda dan Mawar menangkap tanda, dalam sorot mataku kehabisan sinar akibat derita merajam.

Magda bersimpuh disisi ranjang, menangisi dirinya dililit malang berkalang derita. ” Maafkan aku tak dapat menemuimu beberapa hari ini pap,” ujarnya menahan isaknya. Aku mengusap manik-manik bening tercucur diwajahnya. Dalam binar mataku bersenandung...lihatlah jiwaku membungbung tinggi juwitaku.

Magda menambah “nafas kehidupan” ku lewat nafasnya yang mengalir lewat bibir merekah. Yeakhhh..You are my strength when I was weak. Magda meletakkan wajahnya diatas dadaku menyatu dengan detak jantung, seakan ingin mendengar suara kepastian akankah aku pergi bersamanya mengalahkan kegelapan. Dalam keharuan, Mawar sahabat kami menatap dua insan memadu jiwa ketika cinta berjalan tertatih-tatih menelusuri jalan terjal.

Aku sadar bahwa aku masih bertelanjang dada, saat Mawar menyodorksn kemejaku, “Mau pakai sekarang kemejanya bang,” tanyanya. Magda dan Mawar mengangkat punggungku yang masih terbaring keduanya mengenakan kemejaku. Aku berusaha sekuatku menahan sakitnya pergelangan kaki, tetapi mataku tak dapat berbohong, dia mengeluarkan cairan bening diluar kontrol ku.

Aku minta tolong mengambil obat oles kakiku, “ Mawar, tolong ambilkan obat dari dari lemari,” ujarku. Magda segera mengambil obat dari tangannya Mawar, mengoleskan dengan kedua tangannya.

“Abang masih bisa pakai sepatu ? atau pakai sendal saja,“ tanya Magda
“ Aku masih lemah, kalian saja lah yang pergi, sampaikan salamku kepada kedua pengantin,” ujarku mengiba.

Wajah Magda memelas menempel diwajahku, “ Pap..ayolah, aku dan Mawar membantu memapahmu,” bujuknya. Aku luluh ajakan kedua “malaikat”ku. Sementara Mawar menelephon kerumahnya, aku tanyakan Magda, “ Apa kamu tak malu aku jalan pakai tongkat.!”
“ Aku menerimamu sebagaimana papa ada,” ujarnya sambil mencium pipiku.
Tanganku ditaruh diatas pundaknya, “ pegang kuat pap, jalannya pelan saja.” uapnya menuntunku. (BERSAMBUNG)

Los Angeles, February 2009

Tan Zung
http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/