Monday, January 26, 2009

Magdalena (16)

==================
“ Ayo Sinta kita melanjutkan babak sandiwara kita seperti tadi malam, “ ujarku pelan takut kedengaran kedua orang tua dan nenek reseh itu. Kusuruh dia duduk diujung tempat tidurku.
" Sinta, tutupkan dulu pintu itu. Kau sudah nonton film “bernafas dalam lumpur ....?”
=================
Jadi kamu sudah menunggu film "bernafas dalam lumpur iya,"
“ Sudah, Minggu lalu, kenapa,?”
"Kita melakoni seperti dalam film itu," ujar ku.
“ Lakon yang mana,” tanyanya.
" Lakon ketika mereka cekikian dibawah kelambu."

“Nggak.....abang genit,” ujarnya sambil berbalik meninggalkanku.
“ Ya.....sudah kalau nggak mau,” kataku sambil menarik selimut menutup wajahku. Dia berbalik lagi dan menyingkap selimutku.
“ Bagaimana kalau seperti dalam adegan film " cowboy cengeng” kata Sinta tertawa.
"Kita nggak punya pistol-pistolan. Ya...sudah entah film apalah itu yang penting kita sedikit lebih lama dikamar,"ujarku. Adegan belum dimulai, terdengar suara nenek memanggil...
"Tan Zung....Sinta.. kesinilah, serapan sudah tersedia.”

“ Sinta jangan jawab, biarin. Kalau nanti nenek buka pintunya, kau pura-pura tarik tanganku dan aku akan meronta. Kemudian tinggalkan aku sambil melemparkan batal itu kemuka ku seperti orang merajuk. Bayangkan aku seperti Sihol pacarmu itu.” ujar ku.
“Dan aku seperti kak Magda,?” balasnya geli.

Kita bicara pelan, sesekali berteriak dan kau cekikan. Take perintah ku kayak shooting film benaran.
“ Tunggu sebentar, aku buka sedikit pintunya bang,” pintanya.
"Jangan, skenarionya harus begitu, ayo ketawa cekikan...ayoooo.” perintah ku

Sinta masih bengong, tak tahu apa yang mau dilakukan. Segeraku tarik tangannya kuat kesisiku. Sinta kaget, berteriak, dia berusaha melepaskan tangannya, merampas bantal guling dan membanting keras kewajahku.

“ Abang ...nakal ....,” ucapnya geram, wajahnya menunjukkan rasa kesal.
"Kau berhasil Sinta, itu bagian dari skenario ku.”
"Tapi abang kasar kayak yang di film “Ayah Tiri,” ujarnya dengan wajah sedikit pucat.
“ Harus begitu supaya kamu kaget.”
“Abang kesakitan ....,?”tanyanya dengan perasaan menyesal.
“Sudahan ah....masak pakai marah benaran.” kataku

Yeee...abang merajuk ...ayo terus bagaimana lagi bang,” tanyanya.
“Sesekali kau ketawa genit dan seperti orang meronta-ronta kayak di film “ bernafas dalam lumpur “itu lagi.
Haaaaah...., nggak ah....!”

Ya...sudah, kalau nggak mau. Terserah adegan film apalah, yang penting kita sedikit lama dikamar ini." ucap ku.
“Bagaimana kalau seperti adegan dalam film, lelakinya melompat dari jendela karena kepergok sama suami selingkuhannya’”usulnya.

Aku belum pernah nonton, apa judul filmnya?.
“Tertangkap basah" ujarnya ketawa lepas.
Jadi maksudmu aku melompat dari jendela?. Nggaklah, nanti benar-benar aku dikerubutin orang sekampung.
***
Nenek mengetuk pintu kamar...... “ Sinta...Tan Zung....keluarlah kalian, kita serapan namboru dan amangboru sudah menunggu."
Perlahan pintu kamar dibuka. “ Ai marhuai do hamu disi( Ngapain kalian disini, pen)" tanya nenek.

Take two”.....ayo Sinta mainkan.......kataku pelan.
Aaahh....ayo bang....ayo...serapan aku sudah lapar nih ,” suaranya manja.
Aku tarik tanganku dengan manja pula, aku punggungi dia dan nenek.“ "Ehhhhh angka naposoon( anak muda ini, pen).......” kata nenek cengengesan sambil meninggalkan aku dan Sinta dikamar. (Bersambung)

Los Angeles, January , 2009

Tan Zung

http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/

Magdalena (15)

http://www.youtube.com/watch?v=aPLwXcgXkpU

===================
....Sebaliknya tukang jahit sepatu tidak boleh menjahit sepatu , ikat pinggang, dompet dan tas yang terbuat dari kulit buaya."
Sinta ketawa terpingkal-pingkal, kini hatinya sedikit terobat
===================

"Semoga abang tammat tepat waktu. Kalau abang sudah menikah ada alasan ku untuk menikah sama Sihol,” katanya.

Tulang maunya satu diantara kami lima bersaudara menjadi menantunya, bukan ? Adikku masih ada yang belum menikah, malah dia dia pantaranmu.”
“Bapak maunya hanya sama kamu, tidak mau dengan adikmu,” katanya serius.
Ok, aku mau. Tapi aku menikahi Magda dulu dan kamu aku nikahi menyusul. Aku tak tega menolak keingginan tulang,” ujarku dengan wajah serius.

“Ah ...abang susah diajak ngomong serius, bercanda melulu,” ujar Sinta.
“ Ya...aku serius, daripada tulang jatuh stroke mending kita turuti apa kata tulang,” balasku.
Halah....abang semakin ngaco,” ujarnya sambil beranjak dari tempat duduknya.

"Tunggu dulu Sinta, aku belum selesai bicara. Tahu tidak kamu, dengan cara inilah kakakmu Magda kujerat antara canda dan serius. Dalam dunia percintaan itu halal dan legal.

Yaaaaa..iya...ngomong-ngomong abang kapan pulang.?"
“Besok lusa,” jawabku singkat."
“Bang....selama kita masih dikampung, kita berpurapura kompak dan mesra. Biar bapak dan mama senang, abang kan pemain sandiwara ulung. Aku ingat waktu naskah natal abang dipentaskan tiga tahun lalu, ibu-ibu pada nangis,” ingatnya.
"Berarti aku berhasil, daripada naskah sedih orang tertawa atau sebaliknya naskah lucu penonton menangis.”kataku.

Ya, anehlah bang, perayaan natal pake nangis. Lagian, mana ada dalam Alkitab tertulis, Maria meratap ketika semua penginanapan fulll booked,” ujarnya cekikan.
" Itu sengaja aku lakukan, agar jalan cerita kelahiranNya lebih meresap. Coba perhatikan, semiskin-miskinnya orang batak mana ada yang lahir dikandang hewan. Malah juru selamat manusia itu mengalaminya. Dan, tipe orang batak sukanya yang sedih-sedih. Tahu nggak kamu, sembinlapuluh persen rekaman lagu-lagu batak berisi ratapan, laku pula." ujar ku.

“Abang kok jadi seperti tukang koyok.....,” potongnya.
“Tukang koyok atau pendeta,?”
“ Iyaa...pendeta pagi bandit malam,”katanya ngakak.
“Baiklah, selama aku disini kita berpura-pura mesra tapi ada bagian yang seriuslah,” ujarku.

“ Abang ini getek (genit, pen) benar,” balasnya seraya meninggalkanku.

Eee...tunggu dulu, kau kembalikan ongkosku pulang pergi. Dompetku terkuras gara-gara sandiwaramu." Sinta melongos tak perduli lagi dengan suaraku.
Malam ini, aku tinggal sendirian dikamar. Mata menerawang jauh menembus langit-langit kamarku. Aku terlelap dalam peraduan sunyi. Baru kali ini terasa hidup sepi meski telah empat tahun berteman dengan Magdalena.

Dalam mimpiku kulihat Magdalena tersenyum menatap ku berbaring sendirian. Senyumnya merekah bagai bunga-bunga ditaman menyambut sang surya. Tidurku ku lalui dengan rasa bahagia tiada tara, meskipun itu hanya dalam mimpi.

Pagi harinya, dari kamar kudengar suara nenek memangil Sinta.
“Sinta bangunkan dulu pariban mu itu,” perintahnya.
Aku mendengar langkah Sinta menuju kamarku. Dia mengetuk pintu kamar ku berulang-ulang. Aku diam. Sinta membuka pintu kamar, aku pura-pura tidak tahu. Ketika dia menyentuh tanganku segera ku tangkap tangannya. Sinta kaget dan berusaha melepaskan tanganya dari gemgaman ku.

Ayo Sinta kita melanjutkan babak sandiwara kita seperti tadi malam, “ ujarku pelan takut kedengaran kedua orang tua dan nenek reseh itu. Kusuruh dia duduk diujung tempat tidurku.
" Sinta, tutupkan dulu pintu itu. Kau sudah nonton film “bernafas dalam lumpur ....?” (Bersambung)

Los Angels. January, 2009
Tan Zung

http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/

Madalena ( 14)


http://www.youtube.com/watch?v=XbBpZhA92uQ

=======================
"Ai aha dope pinaimam hatahon ma tutulangmi(Apalagi yang kau tunggu bicaralah sama tulangmu, pen)
Sinta sudah kerja nanti dapat membantu menyelesaikan sekolahmu. Bulan depan dia sudah mengajar di Sungai Deli," katanya semangat.
=======================

" Oh iya Sinta , kau mau mengajar di Sungai Deli. Mau mengajar ikan berenang,?" kata ku dengan rasa geli.
"Di Labuhan Deli nek, bukan di Sungai Deli," koreksi Sinta.
"Samalah itu," balas nenek."
"Ayo Sinta kita ke rumah pendeta, kita mangalua, sekarang juga, tak aci besok," kataku sambil menarik tangannya. Sinta meronta, ibuku tertawa.
"Janganlah mangalua ,"ujar nenek.
"Samalah itu," balasku.

Macam mananya, Sinta nggak mau , " ujarku dengan mimik serius.
"Jangan mangalualah ( kawin lari, pen) nanti tulang mu marah," kata nenek.
Didepan mata ibu, Sinta mencubitku, nenek makin senang berlebihan melihat reaksi spontanitasnya.
"Okay, ayo.... katanya sambil menarik tanganku dan ibu. Nenek ikut nggak " tanyanya.

"Mau kemana... kalian, " tanya nenek penasaran.
"Kerumah pendeta lah , mangalua," tegas Sinta.
Kini aku malah kelabakan. Jangan-jangan Sinta menanggapi guyonanku itu serius.
"Kemana katamu ," tanya nenek wanti-wanti.
"Kalau nggak mau ke rumah pendeta, pulang ke rumah lah, tidur," kata Sinta.
"Ehhhhe ...holan namargait do hamu (kalian bercanda saja, pen )," balasnya.

Sebelum dia tidur aku mengajak ngobrol di emperan rumah.
" Cantik sekali bulannya," kataku memulai pembicaraan.
"Ingat Magda bang," ujarnya.
"Ya aku kangen," balasku. Sebenarnya aku hanya mau angekin Sinta.

"Sebentar bang aku mengambil gitar," ujarnya meninggalkanku diteras rumah. Memang, Sinta pintar main gitar melebihiku dan adik-adikku.
Dia menyanyikan lagu "Apa salah dan dosaku" yang sangat populer masa itu.

" Kemarin dulu ketemu kak Magda dipasar Majestic ketika aku pulang dari kampus mengambil ijazah. Kami cukup lama ngobrol. Katanya, kalian akan menikah setelah tammat, dia senang sekali. Kakak itu baik benar, jangan main-main lho bang," ujarnya serius sambil menyerahkan gitarnya.

"Aku memang serius. Ngomong-ngomong kamu tega benar kerjain aku, kamu bilang ibu sakit, padahal dia sehat. Apa sih mau mu," tanyaku sambil mencubit pipinya.

"Maaf bang, bapak suruh aku mengundang abang untuk menghadiri syukuran tadi. Tadinya aku tolak, tapi bapak marah-marah. Abang kan tahu bapak punya darah tinggi. Aku pikir, kalauku undang baik-baik, pastilah abang tidak akan mau datang. Akhirnya, kubuat surat itu. Abang Sihol --pacar Sinta-- yang ngajarin aku," katanya sambil mengusap-usap pipinya karena kesakitan.

"Baik, kali ini kau kumaafkan, tapi jangan diulang lagi. Bagaimana kelanjutan hubungannya dengan Sihol."
"Masih berlanjut bang, tetapi bapak nggak setuju. Margaku dan bang Sihol marpadan jadi nggak boleh kawin mengawin," katanya sedih.
"Apa........marpadan..? ( sumpah antara marga yang berbeda) Hantublau apa pula itu," kataku engik. Jadi tulang melarang kamu menikah dengan Sihol hanya gara-gara sumpah nenek moyang itu," tanyaku gemas.
" Banyak kalilah cengkunek adat itu, lanjutku, yang ibu semargalah tidak boleh nikah, yang marpadan lah. Teruskan Sinta, abang dukung dari belakang.

" Abanglah didepan, aku dan abang Sihol nggak berani maju kedepan," katanya mentel.
" Sinta, yang aku tahu tukang sepatu marpadan sama buaya, tidak boleh saling bermusuhan." ujarku sambil berusaha mendinginkan hatiku sendiri.

"Apa sumpahnya bang," tanyanya serius.
" Bila tukang sepatu dan keturunannya berenang disungai atau dikali, buaya tidak boleh menggangu atau memangsanya dan harus mengawal jangan sempat dimangsa binatang reptil lainnya. Sebaliknya tukang jahit sepatu tidak boleh menjahit sepatu , ikat pinggang, dompet dan tas yang terbuat dari kulit buaya."
Sinta ketawa terpingkal-pingkal, kini hatinya sedikit terobat. (Bersambung)

Losa Angels, January, 2009

Tan Zung
http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/