Wednesday, March 4, 2009

Dosenku "Pacarku" (62)

http://www.youtube.com/watch?v=miLQfJqVEuU

==============
" Nggak mam, aku tertawa karena tadi abang bilang kakinya terpelintir karena main bola," jawabnya. Magda ikut menuntunku dari sisi kiri.
==============
Aku "gemetaran" juga menunggu lanjutan jawabannya, jangan-jangan Magda membuka tabir kebohonganku lagi, sekaligus membalaskan rasa sakit hati dan dendamnya? Tapi, apa iya dia tega "mencabik-cabik" ku dihadapan maminya.?" Aku cubit pinggulnya pelan, isyarat, tolong jangan permalukan aku.

" Kenapa kamu ketawa , abangnya sedang sakit malah ketawa."
" Aku tertawa, karena abang "nggak tahu diri" mam."
" Heh mulut kau itu, sama abang kok ngomongnya sembarangan,!" tegur maminya.
" Iyalah mam, abang kan belum lama mengalami kecelakaan, kaki belum pulih benar, kok malah main bola.!?"

Huhhh...hati lega, aku mengira, Magda akan mengahabisi dengan membuka tabir kebohonganku, good job Magda ucapku dalam hati. Kalau saja maminya Magda, tak disampingku, sudah pasti aku hadiahi dia satu ciuman di pipinya, sebagai ucapan terimakasih.
***
Magda menyediakan makan malam kami bertiga.
"Adikmu Jontahan sudah dua hari dirumah om dokter," ucap mami Magda ketika kami duduk di meja makan.
Aku mencoba mengungkit kenangan lama ketika almarhum ayah Magda mengajak ku makan malam dimeja yang sama. " Nggak ada arsik tante ?" tanyaku sambil tertawa.

" Oala si abang, nyari yang nggak ada. Memang masaknya gampang, " selah Magda.
" Besoklah amang iya, aku masak arsik. Magda, besok pagi kau belanja, abangnya mau makan arsik."
" Nggak ah, aku banyak kerjaan, kok abang ngerepotin?"
" Magda, kamu keterlaluan. Kan abangmu baru kali ini minta," tegurnya marah.

" Inaguda, aku cuma bercanda, lain kali saja, lagi, kebetulan lusa aku mau pulang, ibuku pintar masak arsik kok," ujarku.
" Idihh... langsung merajuk. Iya..iya ito eh..abang aku besok belanja. Aku akan beli ikan mas segudang!" ucap Magda sambil mendekatkan wajahnya ke arahku, disambut tawa maminya.

" Malam ini, disini saja tidur amang, adik mu Jonathan baru pulang besok lusa," ujar mami Magda.
" Bang, tempat tidur Jonathan berantakan, abang rapikan sendiri. "

" Nggak usah dengarin dia amang, banyak kali "cengkunek" it mu itu," ucap maminya.
" Mam, lihat abang itu, makannya nggak selera, pikirannya melayang entah kemana-mana. Benar kan bang?" tanyanya centil.

" Sesekali marahin dia, kalau keterlaluan." ujar maminya dengan mimik serius.
" Manalah aku berani macam-macam kepada abang itu kalau mam nggak ada disini, ditimpuknya pula aku." ucapnya diiringi tawa berderai.
Aku hanya tersenyum menikmati percikan air dan aliran sungai yang baru saja meliuk "membelah" jantungku, sejuk, sepertinya demikian juga dengan Magda.

Sementara kami menikmati makan malam diselingi percakapan ringan, aku ingin kami segera bubar dari meja makan. Aku sedang berpikir bagaimana aku mengajak Magda ke teras, berbicara sekaligus memarahi karena ulahnya mengungkap kisah kasihku dengan Susan kepada maminya.

Dering telephon mengakhiri percakapan sekaligus makan malam kami. Mami Magda meninggalkan kami menjawab telephon. Aku memohon Magda memapahku ke teras, meski sebenarnya aku bisa berjalan sendiri dibantu dengan tongkat.
" Magda tolong bantu aku ke teras, mau merokok sebelum tidur," ujarku.
Sebenarnya aku nggak pernah menyentuh rokok lagi sejak dia melarangku beberapa tahun sebelum hubungan terputus. Aku hanya mau memainkan "bola"yang sudah diumpannya melambung. ( Bersambung)

Los angeles, March 2009

Tan Zung
http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/

Dosenku "Pacarku" (61)


http://www.youtube.com/watch?v=kt7L4X4li_k

More than words
Saying I love you/Is not the words I want to hear from you/It's not that I want you not to say/But if you only knew/How easy /it would be to show me how you feel/ More than words/Is all you have to do to make it real/Then you wouldn't have to say That you love me, yeah/Cause I'd already know.

What would you do (what would you do)/If my heart was torn in two /More than words to show you feel That your love for me is real/What would you say/If I took those words away/Then you couldn't make things new/Just by saying I Love You (Just saying I love you, saying I love you)/More than words/(Just saying I love you, saying I love you)
.......

============
Magda terduduk dipingir tempat tidur, setelah mendengar "pat gulipatku", yang ternyata masih manjur.
" Abang, maunya apa ?" tanyanya lembut sambil duduk di tempat tidurku
============

" Abang, maunya apa ?" tanyanya lembut sambil duduk disisi tempat tidurku.
" Nggak apa-apa, aku cuma bicara kepada sahabat setia yang baru terjalin puluhan jam, tongkat ini. Dia tak pernah berontak dan marah apalagi dendam, meski aku antukkan ke benda keras, padahal dia telah banyak membantuku."

" Zung, aku nggak mengerti maunya abang apa !?" Kok bicaranya harus melalui tongkat itu?"
" Tanyalah tongkat ini, dia akan bercerita banyak terhadapmu.!" jawabku hampir memeluknya. Tapi aku takut dia langsung pulang meninggalkanku dan tongkat media baru bagiku.

" Zung, jadi ikut kerumah nggak?" tanyanya sambil berdiri memegang lenganku.
" Ayolah, dari tadi aku dan tongkatku sudah siap, Magda malah duduk, kayak menungggu sesuatu."
" Halah..abang ngaco. Abang, permisi dulu ke ibu," usulnya sambil membantu langkahku keluar dari kamar. Bibi menghantarkan aku dan Magda ke halaman rumah diiringi senyuman , usil. "Hati-hati bapa dijalan, nanti bapa nginap? Jangan lupa bawa tongkatnya pulang," ujarnya iseng. Entah apa pula maksudnya.

Magda setuju usulanku aku duduk diatas boncengan. Sepanjang perjalanan menuju rumahnya, aku tak berani memegang pinggangnya, aku serba kikuk, pegang sisi pahanya aku belum berani, terpaksalah aku duduk kaku di atas boncengan motornya. Aku menunduk menyembunyikan kepala dibelakang tengkuknya, malu dilihatin orang, sepertinya aku baru merasakan naik motor, kaku.

***
Inang uda, maminya Magda, menyambutku diteras samping rumahnya. "Kenapa lagi kau amang ( nak, pen) Apa khabar kakak dikampung. Bagaimana skripsimu, sudah selesai?"
Magda langsung menyambar pertanyaan maminya, " Sudah pasti selesailah mam, sekarang abang bersahabat akrab dengan ibu dosen kami. Ibu itu juga dosen pembimbingnya si abang!" lapornya sambil menatapku diiringi senyuman.

Aku terdiam, kaget luar biasa. Magda membuka aib ku kepada maminya. Tetapi syukurlah, maminya tidak menyimak apa kata putrinya, Magda. Hmm... dalam hatiku, tambah satu " peluru" selain tongkat, untuk menebus "dosa"ku, dulu.

Mami Magda menanyakan kenapa lagi kakiku. Aku menjawab dengan berbohong sambil memelototin Magda. " Terpelintir ketika main bola inang uda (tante, pen)." Mendengar jawabanku, Magda berlari berjingkat-jingkat masuk kerumah sambil tertawa menutup mulutnya. Maminya membantuku masuk kedalam rumah, " Magda, bantu dulu abang nya," seru mami Magda.

Magda segera kembali menemui aku dan maminya. Wajahnya memerah menahan tawa karena aku bohong.
"Kenapa Magda tertawa, ada yang lucu? " tanya maminya seraya menuntunku.
" Nggak mam, aku tertawa karena tadi abang bilang kakinya terpelintir karena main bola," jawabnya. Magda ikut menuntunku dari sisi kiri. (Bersambung)

Los angeles, March 2009

Tan Zung
http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/

Dosenku "Pacarku" (60)


AKU melihat, Magda mulai menunjukkan ketidak senangannya mendengar atau bersentuhan dengan nama Susan. Perjalananku dengan Susan di sungai yang mendatangkan "malapetaka" di kakiku, menimbulkan inspirasi menghadapi Magda, setidaknya saat dia dalam kamarku.

Betapaun derasnya arus sungai menerjang batu, tak pernah mendatangkan api atau panas. Aliran sungai tetap meliuk, dingin, meski berbenturan dengan batu. Aku mainkan jurus itu. Aku melihat Magda mulai "membatu"

" Magda, sudah lama sekali aku tak pernah ketemu inang uda dan Jonathan, aku merindukan mereka. Masihkan aku boleh berkunjung kerumahmu.? tanyaku pelan. Magda menolehku, tatapan dan wajahnya kini berubah drastis, tak lagi seperti beberapa menit yang lalu, wajahnya kembali kepada "warna asli", lembut.

" Sejak kepergian papi, mami dan Jonathan selalu menanyakan abang."
"Kenapa Magda nggak pernah bilang ? Lalu apa jawabmu pada mereka?"
" Aku bilang , abang sibuk mempersiapkan skripsi mu!"
"Kok, kamu tega benar. Magda harus bisa membedakan urusan kita dengan keluargamu. Betapapun tersiksanya Magda karena "kekejamanku", semestinya Magda harus menyampaikan kerinduan mereka. Aku tahu, Magda masih membenciku hingga kini. Tapi tidak dengan inang uda dan Jonathan, bukan?".

" Iya, maaf bang. Kalau mau, sekarang kita kerumah, tetapi bagaimana dengan kaki abang?"
"Nggak apa-apa, sepertinya kakiku langsung sembuh, tapi tolong aku bantu bangkit dari tempat tidur ini," ucapku ku bersemangat.

" Lho, katanya nggak apa-apa, kok malah minta tolong. Gaya abang dari dulu tetap dipelihara, sok menjeng, padahal sudah berteman dengan ibu- ibu," ujarnya sambil meraih pergelangan tanganku.

" Manalah bisa langsung berubah, dari lima tahun denganmu ke tiga minggu dengan ibu Susan," ujarku menggoda.
" Bang....yang sudah..sudah, nggak usah diingat lagi."
" Hanya itu yang aku ingat sekarang, entahlah nanti masih ada yang tersisa dala sel otakku."

" Semua serba salah sama abang, diam dibilang aku masih marah, disahutin, malah ngelantur kemana-mana," gerutunya, tangannya memegang tubuhku pada posisi berdiri.
" Ngelantur? Nggak juga, aku masih dalam jalur. Aku hanya mengingatkan saja. Magda mersa risih atau malu diingatkan? tokh nggak ada yang dengar."

" Ada bang."
" Siapa ?"
"Tongkat ini." jawabnya ketawa sambil menyerahkan tongkat penyanggah kakiku.

" Hei tongkat, kaulah jadi saksi apa yang aku dan Magda bicarakan, dikamar ini. Cukup simpan dalam hatimu, tak usah berbicara kepada siapapun, kecuali kepada teman perempuanku yang masih ada disini, itupun kalau diminta. Meski aku dan kau tongkat baru bersahabat puluhan jam, engkau tahu apa dalam hatiku sejak siang tadi bukan?. Kau mendampingiku ditempat tidur ini dan kau menjadi saksi ketika aku memeluk bingkisan dari seseorang yang pernah aku kasihi dan sakiti, kepada mama tuanya yang adalah ibuku.

Tongkat, kau pastilah melihatku, merenung dan mengeluarkan air mata hingga membasahi bantalku Aku yakin itu, kau melihat ku menitikkan air mata meski tidak diringi sedu-sedan bukan?!"
Magda terduduk dipingir tempat tidur, setelah mendengar "pat gulipatku", yang ternyata masih manjur.
" Abang, maunya apa ?" tanyanya lembut sambil duduk di tempat tidurku.(Bersambung)

Los Angeles, March 2009


Tan Zung

http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/

Dosenku "Pacarku" (59)


Boasa dung Saonari ( Dewi Marpaung)
Ditonga ni borngin i, hundul ma sasada ahu/Hu ida bulan i tung mansai uli..ho. hooo( Ditengah malam, aku duduk sendirian/Aku melihat rembulan indah nian ..hoo)
Tung tompu mai muse naso panagaman ki/Huida rupami dibulan i da hasian ( Begitu tiba-tiba tanpa kuduga/ Aku melihat wajahmu di rembulan oh..kasihku)
Hape najolo tung denggan didok ho tu ahu/Holong ni rohami, alai ndang hujakhon i ( Padahal dulu engkau berkata jujur padaku/Akan cinta kasihmu, namun aku tak berterima)
reff:
Boasa ma dung saonari ito dung sirang ma au sian ho/Tubu holong di rohangki tu ho ito haholongan (Mengapa kini, setelah aku berpisah denganmu/tumbuh rasa cintaku pada
mu kekasih ku)
Aut boi ma nian ulahan ta i muse/Masihol au ito, malungun ahu tu ho (Andaikan kita dapat mengulang kembali/Aku rindu pada mu, sangat merindukan mu)

Tung tompu mai muse naso panagaman ki/Huida rupami dibulan i da hasian ( Begitu tiba-tiba tanpa kuduga/ Aku melihat wajahmu di rembulan oh..kasihku) Hape najolo tung denggan didok ho tu ahu/Holong ni rohami, alai ndang hujakhon i ho..wooo( Pada hal dulu engkau berkata jujur padaku/ Akan cinta kasihmu, namun aku tak berterima)
=================================
Magdalena menemuiku sore hari. Dia datang sendirian tanpa Mawar
sebagaimana sering dilakukan setelah"perceraian" aku dan dia. ================================
Bibi mendatangiku ke kamar, memberitahukan kalau Magdalena ada diruang tamu. Segera aku bergegas, melompat dari tempat tidur. Aku lupa bahwa kakiku belum dapat berdiri sempurna. Aku membekap mulutku menahan suara teriakan karena rasa sakit.

Aku kembali merebahkan tubuh keatas tempat tidur, sementara bibi berdiri kebingungan melihat penderitaanku. Bibi segera keluar dari kamar untuk mengambil air minum, setelah melihat peluh mulai membasahi wajah. " Sebentar bapa, aku mengambilkan air," ujarnya meninggalkanku.

Sayup, aku mendengar suara Magda," kenapa si abang, bu,?" tanyanya. Bibi terus melangkah ke dapur, tanpa menjawab pertanyaannya. Aku melihat bayangan Magda di depan pintu kamar, tetapi dia enggan masuk ke kamar menemuiku.

Dia bertanya ulang kepada bibi ketika membawa secangkir air putih. Magda mengikuti bibi dari belakang, kemudian berlutut disi tempat tidurku. Magda mengambil cangkir dari tangan bibi, menyodorkan perlahan ke mulutku.

Bibi segera meninggalkan kami berdua dan menutup pintu kamar. Aku melihat wajah Magda sedikit kuyu, sementara tubuhnya dibungkus dengan pakaian sederhana. Diatas tempat tidurku, terbata-bata aku menyampaikan terimakasih atas bingkisannya kepada ibuku.

Magda diam tak menyahutiku, kecuali menatap sendu. Aku mengulangi ucapan terimakasihku sambil memberanikan diri memegang tangannya di sisi pembaringan. Magda menyambut tanganku. Tangannya dingin sedikit bergetar dan berujar, " Bang, aku tadi ketemu dengan ibu Ginting di pasar Peringgan. Ibu itu cerita kalau abang mengalami kecelakaan. Siapa perempuan temanmu kesana bang? Ibu Susan ya?"

Magda mengulang pertanyaan yang sama, ketika mulutku diam membisu. Pertanyaannya menohok jantung. Tak ada lagi alasan untuk make up story. Magda mendapat sumber dari orang pertama, selesailah aku sudah. Pikiran bergejolak diliputi rasa tanya, kenapa Magda menaruh perhatian atas hubunganku dengan Susan?. Terganggukah dia atas jalinan kasihku dengan Susan. Kalu iya, mengapa ? Aku akan mengaku jujur, ingin melihat reaksinya dan barangkali disitu jawabannya, pikirku.

" Iya, aku dan ibu itu ke kebunnya. Ketika Aku dan Susan mandi di sungai, tak senganja kaki terbentur dengan batu kermudian terpelintir sebelum aku jatuh."

"Abang dan Ibu Susan mandi bersama di sungai? Sungai mana bang?" tanyanya seraya mengeritkan keningnya.
" Sungai tempat kita dulu pergi beramai-ramai dengan kawan-kawan kelompok belajar ." Magdalena menghela nafas panjang mendengar pengakuan"jujur" dari mulutku. Mata tetap menatapnya, ingin melihat reaksi lanjutan.

" Baru beberapa hari lalu, abang mengatakan mau meninggalkan ibu itu, kok malah abang semakin nggak karuan. Memang abang serius dengan ibu itu? Abang nggak takut di tuduh perusak rumah tangga orang?" tanyanya dengan wajah serius sembari memperbaiki posisi kepalaku diatas bantal.

" Magda, untuk yang terakhir kali dari kekonyolan ini, tolonglah aku. Aku jujur, aku mencintainya setelah pengakuan ibu Susan kemarin malam!"
"Abang tidur dirumah ibu Susan.?" tanyanya dengan suara tertahan.
" Iya, aku akan ceritakan nanti, kenapa pikiranku berubah sejak pertemuan aku, Mawar dan Magda beberapa hari lalu."

Magda, aku lapar, boleh aku minta tolong beli makanan atau kita pergi bersama, kalau Magda nggak keberatan. Segera dia memotong percakapanku, " Ibu Susan yang keberatan," jawabnya nyinyir.

" Dia kan nggak tahu,?"
" Jadi abang ketakutan pada ibu Susan jika kita jalan bersama.?"
" Nggak tahulah, belum pernah ketangkap basah pergi dengan perempuan lain,!" jawabku seadanya sambil terus melihat reaksi di raut wajahnya.
" Iya sudah, abang pergi saja dengan dia, kenapa ngajak aku.?"(Bersambung)

Los Angeles, March 2009

Tan Zung

http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/