Wednesday, February 11, 2009

Magdalena ( 71)

"Akhir Cinta"
http://www.youtube.com/watch?v=Iar05qWsFtc

====================
Magdalena bangkit dan meninggalkan ku sendirian, kini tidak ada lagi tangan mengusap airmataku, aku terduduk sendirian dalam kamar, hatiku sesak. Selamat tinggal kenangan, kini buaian mimpi telah meninggalkan aku dan Magda untuk selamanya.
=====================

RAJUTAN kasih Magdalena dan aku akhirnya sirna ditelan waktu. Semuanya berlalu bagaikan mimipi, kini tinggal bayang-bayang semu. Aku harus mengakhiri semuanya demi cintaku yang tulus. Namun setelah semua telah terjadi, aku menggugat diriku sendiri. Benarkah aku melakukannya karena cinta tulus atau hanya sekedar belas kasihan; Berbelas kasihan terhadap diriku dan terhadap dirinya. Kenapa, aku sukar menerima kelemahannya yang merupakan bahagian dari kehidupan setiap insan ataukah karena aku terlalu egois.

Magda telah menunjukkkan kasih setianya, menolak keinginan orangtua atas jodohnya, tetapi aku tidak sabaran menunggu keberaniannya mengatakan, bahwa hanya akulah satu-satunya belahan jiwanya. Aku telah menanggung siksa derita, benarkah dia melukai ku, atau hanya karena ketakutan luarbiasa yang menghantui diriku.

Aku dan Magda telah memberikan semua apa yang terbaik dalam kisah cinta, lima tahun lamanya. Akhirnya malam ini cinta kami dibawa angin malam entah kemana. Magdalena dan aku membawa sejuta duka, tiada lagi kata yang terucap kecuali, “ selamat jalan kasih, doaku bersama mu hingga keujung waktu.”
***
Orangtua Magda, menungu dan menunggu hingga hari kelima setelah sore itu “ajal” memisahkan aku dan dia, Magda tak kunjung ada. Seluruh keluarga gelisah, gerangan apa yang menimpanya. Jonathan menemuiku, dengan santun dia menanyakan kakaknya Magda. " Bang, sudah lima hari kakak tak pulang kerumah. Tolong disampaikan, papi dirumah sakit, jantungnya kambuh. Papi menunggu dan sering memanggil nama kakak Magda setiap papi sadar.” ucapnya dengan suara terbata.

Hatiku menjerit mendengar berita orangtuanya yang menderita dalam pembaringannya. Aku tak tahu kemana harus pergi mencari Magda, sementara Mawar belum pernah mengunjungiku, setelah berakhirnya kisahkasihku dengan Magda. Mungkinkah Mawar ikut merasakan “kekejian” yang baru saja aku lepaskan mengatasnamakan cinta.?

Banyak rekan satu kuliah ingin menawarkan bantuan mencari Magda, tetapi pilihanku hanya kepada Sinta. Aku tahu kepribadiannya sejak masa kanak-kanak, karena dia paribanku sekaligus sahabat baik, meskipun sewaktu-waktu omongannya menyakitkan, tetapi dia juga sadar kalau aku adalah paribannya. Dia boleh “sesuka-suka” sepanjang masih belum berkeluarga , dia tahu itu.

Aku menghubunginya ketempat dia mengajar. Tetapi bagaikan petir disiang bolong, Sinta berteriak-teriak diujung telephon sana, “ Abang biadab, tak punya perasaan, aku dengar getaran suaranya menahan geram. Bang, aku sibuk, ada apa menelephonku hah..?.

Aku merasa syok dengan makiannya, seumurku tak pernah mendengar kata makian dari mulutnya. Aku terdiam tak tahu apa yang akan ku katakan. Sinta tak sabar menunggu jawabanku, akudengar dia telah meletakkan gagang telephonnya.

Aku tak mengerti, kesalahan apa yang ku perbuat kepadanya, semua uang yang aku pinjam telah aku kembalikan, meski dia tak mau menerimanya. Lalu, kesalahan apa yang ku perbuat, begitu kasarnya dia menyebutku, “biadab”, ini diluar kebiasaannya.

Aku berusaha menghubunginya untuk kali kedua, mengharap Sinta akan berbicara lebih santun. Aku membujuk tatausaha sekolahnya untuk memanggilnya, “ tolong pak, ada yang emergensi,” ujarku.

Sinta mengangkat telephon, sebelum aku memulai pembicaraan, dia mohon maaf, “ maaf bang, Sinta terbawa perasaan, Magda sudah empat hari ini dirumah, sepanjang malam menangisimu, dia juga makan hanya sekedarnya. Abang siap-siaplah menanggung “karma”nya.

Kini aku mengerti kenapa Sinta langsung memakiku, aku tak tahu kalau Magda ada bersamanya. Akh..Magda luar biasa, dia dapat membedakan kepada siapa dia patut marah. Padahal Magda tahu kalau Sinta adalah paribanku. Dan sebelumnya aku dan Magda ribut besar ketika aku dan Sinta pulang bareng dari kampung.

“ Sinta, aku siap, kalau memang itu ada. Abang berbuat yang terbaik untuk Magda dan untuk diriku sendiri. Tolong mengerti keberadaanku, jangan mengutuki seperti itu, abang tak suka,” ucapku mengingatkannya.

“ Iya, bang sekali lgi mohon maaf. Magda menceritakan, kalau abang memaksa putus hubungan dengan dia, dengan alasan yang dibuat-buat, abang juga nggak jujur. “ Aku menunggu Sinta selesai “ menghujat”, tak sediktpun kutanggapi sampai akhirnya menghentikan celotehannya.

“Sinta, hanya aku dan Magda lebih tahu masalah kami. Sinta, untuk kali terakhir, aku mohon bantuanmu, tolong dulu antarkan Magda kerumahnya, atau aku menjemputnya, papinya sakit keras. Jangan beritahu kalau papinya sakit keras, bujuklah dia dengan caramu, supaya dia mau pulang,” ujarku.

“ Zung, suruh saja Mawar menjemputnya, jangan abang yang datang, dia masih sakit hati pada abang.”
“ Sinta, aku juga tak tahu Mawar dimana, sudah lima hari ini, aku tak bertemu dengan Mawar.”
“ Iyalah, nanti Sinta bujuk, tapi jangan temui Magda dulu, dia masih terpukul.”
“ Iya,percayalah sama abang, tidak akan menemuinya bahkan mungkin untuk selamanya.?”

( BERSAMBUNG)

Los Angeles. February 2009

Tan Zung
http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment