Monday, February 2, 2009

Magdalena ( 54)


When You Love a Woman
In my life I see where I’ve been /I said that I’d never fall again/Within myself I was wrong / My searchin’ ain’t over... over/I know that/When you love a woman /You see your world inside her eyes/When you love a woman /You know she’s standin’ by your side/A joy that lasts forever /There’s a band of gold that shines waiting /Somewhere... oh yeah
==================
Malam itu aku melihat Magda tegar menghadapi situasi yang menurutku sangat crusial. Magda meletakkan kepalanya diatas perutku, wajah kami saling berhadapan
==================
MAGDALENA bangkit dari atas pangkuanku, dia menggeser tubuhku untuk merebah dalam pelukannya. Aku tertidur hingga jam beker membangunkan kami. Tidak berapa lama, seseorang mengetuk pintu. Magda menahanku ditempat tidur, "biar aku yang buka " ujarnya. Jonathan, datang persis pukul lima. " Sudah baikan bang," tanyanya tersenyum. Dihadapan adiknya Jonathan, Magda mencium keningku sebelum meninggalkanku, "besok, mama usahakan kesini lagi," bisiknya.
***
PAGI hari sebelum ke kampus, Mawar selalu mampir membawa serapan menyiapkan pakaian penggantiku. Aku ingin memberitahukan bahwa Magda menginap tadi malam. Tetapi entah kenapa mulutku merasa berat mengatakannya. Dalam beberapa hari aku dan Mawar sering bertatapan dan serempak pula mengalihkan pandangan. Hubungan kami masih batas sahabat, belum sekalipun aku dan dia berucap kata cinta yang membuahkan hati berbunga-bunga.

Tidak tahu apalagi yang terjadi dengan Magda, aku kehilangan berita, juga Mawar tidak pernah bertemu dengannya."Sudah seminggu Magda tidak ke kampus. Dosen pembimbingnya selalu menanyakan dia," tutur Mawar. Aku merasakan ketersiksaannya, namun tak punya daya. Tanganku kurang panjang membantunya. Sepasang tangan sementara"menggantikan" kehadiran Magda dalam keterpurukanku.

Setiap pagi, Mawar memapahku dari tempat tidur ke kamar mandi. Dia melap tubuhku tanpa merasa canggung. Aku mulai membaca hatinya, apakah dia melakukan sebatas sahabat, atau ada perasaan lain yang bersemi dalam kalbunya, entahlah. Bayang-bayang Magda masih menghantauiku, manakala Mawar merawatku keseharian. Adakah yang salah dalam "interaksi" antara aku dan Mawar, ketika aku sangat butuh pertolongan.? Pikiranku terus bertanya, sampai kapan Mawar dapat melayaniku seperti ini.!?
***
" Aku capek menulis ulang, ini aku photo copy hasil seminar tadi pagi. Abang mendengar Mawar nggak," tanyanya mengagetkanku ketika tak konsen mendengar ucapannya. Aku takut dia tersinggung ku jawab, " iya dari tadi aku dengar."

" Abang kayak orang bengong. Apa belum cukup Mawar bantuin abang? nanti aku coba lagi telefon Magda. Aku tahu abang kangen," ujarnya. Ah, Mawar dapat membaca hatiku, akupun selalu berusaha "membaca" apa yang tersirat dibalik kebaikannya, tetapi aku tak mampu. Mawar, membuka pelepah pohon pisang pembungkus kakiku yang keseleo. Sedikitpun tak merasa canggung layaknya seperti abang kandung atau pacar kandung, akhhh otak loon, kalau lagi senewen, memang ada pacar tiri..?

Mawar membaca petunjuk pak Ginting, mulai bagaimana membuka pelepah pembungkus yang membalut kaki hingga merawat pasca pelepasan pembungkus itu. Pagi, siang dan sore Mawar setia melatihku berjalan, tangan kananku selalu bertumpu pada pundaknya. Tak jarang aku menjerit kesakitan ketika melatih keseimbangan, dan saat itupula dia menempelkan wajahnya kewajahku, sepertinya dia ikut menahan rasa sakit tak terperi itu. Dia melap peluh diwajahku dan keringat dingin yang membasahi sekujur tubuh. Sore hari, Mawar membawa sepasang tongkat penyanggah pengganti tongkat "made in" pak Ginting.

" Aku belikan tongkat, supaya abang leluasa melangkah. Jangan lupa, Sabtu lusa, kita menghadiri pesta pernikahan Sorta, iya bang.!"
"Tapi aku masih ke rumah pak Ginting, pemeriksaan terakhir," jawabku mengingatkannya
" Nanti sehabis pesta, aku dan Magda antarin abang."
" Apakah Magda akan menghadirinya.?"
" Iya, Sorta itu masih saudara dekatnya. Aku telephon nanti Jonathan, biar dia sampaikan kalau abang datang ke pesta itu." ujarnya. ( BERSAMBUNG)

Los Angeles, February, 20009

Tan Zung

Magdalena ( 53)

Will You Still Love Me Tomorrow?
Tonight you’re mine/Completely./You give your love/So sweetly./Tonight the li-i-ight/Of love is in your eyes, /But will you love me tomorrow?/Is this a lasting/Treasure'Or just a moment’s/Pleasure?/Can I belie-e-eve/The magic of your sighs?/Will you still love me tomorrow?

==================
Mawar menyuruh pak Surahman pulang setelah menurunkan pakainku selama tigahari yang telah dicucinya. ”Pak Surahman pulang duluan, mungkin papi nanti butuh mobilnya ,” ujarnya.
=================
SIMPHONI baru mengalun syahdu dalam kesunyian malam. Adakah sayap baru bertumbuh dalam sayap yang patah.? Syair apa yang mengalun dalam simphoni itu. Adakah tunas baru-cinta- bertumbuh dalam dua pohon yang berbeda.

”Abang beristrahat dulu, aku mau pulang kerumah sebentar,“ ujar Mawar
Aku masih terlelap dalam bayang gelap, mana mentariku kelak.
Suaranya membuyarkan khayalku , “ heh..Zung aku mau pulang dulu, sebentar aku kembali lagi. Nanti aku coba hubungi Magda, “ ujarnya.
Aku hanya menunduk, tak bergairah. Dalam kesendirian, aku mengharap-harap cemas kehadiran Magda, namun hingga sekembalinya Mawar membawa makanan, dia tak kunjung datang. Kemanakah Magda.?
“Zung, aku sudah ku beritahukan pada Jonathan bahwa abang sudah dirumah.”
“Magda kemana.?”
“ Nggak tahu, Magda tidak diperbolehkan mengangkat telefon lagi," ujarnya sambil menyiapkan makan malamku.”
Mawar menolak makan malam, “ aku takut kegemukan, nanti gaunnya tak muat lagi,” katanya bercanda.
" Hmmmm, gaun? Kau bicara gaun Mawar? Gaun untuk siapa.?
“ Gaun Magda untuk pernikahan kalian.”
***
Mawar permisi pulang setelah selesai menyuapiku, meninggalkan sendirian di “perpustakaan biru” dengan senandung rindu. Aku ingin menatap lentik alismata, senyum dan tawa serta wajah lembut sang juwita, Magda. Apakah waktu masih memberiku kesempatan membelai mahkota Magdalena yang tergerai ? Sederatan pertanyaan menghantarkan keperaduan, aku terlelap. Will she still love me tomorrow?

Aku mendengar suara ketukan pintu kamar, aku melihat jam menunjukkan pukul sebelas. Aku terseok-seok menuju pintu kamar, mengharap Magda menjengukku. Akh...sebuah harapan konyol, bagaimana mungkin Magda bisa lepas dari “pasungan” orang tuanya apalagi malam-malam begini.

Ketukan berlanjut tanpa suara panggilan, “iya tunggu, aku datang.!” Perlahan pintu terbuka, aku melihat mentariku bak diujung senja, Magda. Dia menciumiku dengan linangan airmata kemudian memapahku ketempat tidur.
“Magda, bagaimana kamu bisa keluar,” tanyaku tak habis pikir.
“Aku tadi keluar lewat pintu belakang dengan adik Jonathan.”
“Jonathan dimana.”
“Sudah pulang.!”
“Siapa nanti yang mengantar mu pulang.?”
“ Jonathan akan menjemputku, pukul lima, pas dia mau lari pagi. Aku juga sudah pakai celana olahragaku” ujarnya

Aku bergetar ketika Magda menyuruh aku membuka kancing belakang roknya. Uhhh....Magda ngerjain, aku tertawa lepas melihat celana pendek hitam yang dikenakan bergaris tiga dipinggirnya. Celana itu adalah seragam olahraga kami ketika es-em-a. Aku dan Maagda tertawa bersama, ingat masa lalu ketika olahraga masa es-em-a, ingat guru olahraga genit si botak.

Sepanjang malam, Magda bertutur banyak perihal perlakuan orangtuanya. Dia mengaku jujur, Albert tiga malam terakhir berturut-turut datang kerumah berikut orangtua, ingin menjumpainya. “ Tetapi, aku tak mau keluar dari kamar, sampai mereka pulang. Papi, marah, katanya aku mempermalukan mereka. Papi terlalu egois,” katanya menahan siksaan batin.

“ Papa, aku telah pasrah, apapun yang terjadi. Sejak malam ini Magda akan panggil abang, “papa”, nggak apa-apa kan.?”
“ ...dan maksudmu aku akan memanggimu “mama”..?” Magda mengangguk, matanya berbinar.

“ Kamu pasrah, jika papimu tetap memaksamu nikah dengan Albert.?”
Bukannnn. Aku pasrah bila apapun yang mau papa putuskan, kita kekampung atau ke Bandung.”
“ Bagaimana dengan gaunmu.?
“ Disita mami.!”
“ Mami tahu, kalau Magda menjahit gaun.?”
“ Kertas bukti pesanan jahitan terletak dimeja, aku lupa menyimpannya. Mami pergi ketukang jahit tanpa sepengtahuanku.” ujarnya.

Magda membuka dompetnya, “Pap, tigahari lalu, aku telah menjual gelangku di pasar Majestik.”
Magda memberiku sejumlah uang hasil “letgo” gelangnya. “ Magda nggak bisa lagi ketemu setiap hari dengan papa. Pakailah ini untuk beli obat dan keperluan papa.”

Aku tak tega menerimanya. Barangkali persoalannya berbeda seandainya dia tidak memberitahu uang itu hasil “letgo an”gelangnya. Magda memasukkan uang itu kedalam lemari. Malam itu aku melihat Magda tegar menghadapi situasi yang menurutku sangat crusial. Magda meletakkan kepalanya diatas perutku, wajah kami saling berhadapan (BERSAMBUNG)

Los Angeles, February, 2009

Tan Zung

Magdalena ( 52)

I Want To Know What Love Is

I gotta take a little time/A little time to think things over/I better read between the lines/Incase I need it when I´m older Ohhhh/This mountain I must climb/Feels like the world upon my shoulders' Through the clouds I see love shine/It keeps me warm as life grows colder/ In my life there´s been heartache and pain/I don´t know if I can face it again/ Can´t stop now/I´ve travelled so far to change this lonely life/I wanna know what love is/I want you to show me...

===================
Mawar memapahku dengan sabar, sesekali aku menjerit menahan denyutan kaki yang baru saja diurut.
==================
SELAMA dalam perawatan pak Ginting, dikamar mandi mungil itu, Mawar masih menjalankan tugas keperawatan. Aku merasakah sentuhan kasih Mawar, selama tiga hari berturut-turut. Sepulang dari kampus, Mawar setia menjagaiku, membawa makanan bahkan membersihkan tubuhku. Sepertinya aku tidak dapat membohongi diriku. Aku duduk diantara dua batu dalam telaga tua, sementara seekor burung mengerang karena sayap yang patah dan kepala yang terkulai oleh guncangan angin badai.” Now I see you’ve broken a feather. I hope we can patch it up together.”

Tapi apakah aku membiarkan sayap yang patah dan kepala yang terkulai ditelan ganasnya angin badai. Kemanakah aku harus mencari sayap yang patah itu. Adakah ceceran airmata yang tersisa dilorong gelap nan berliku. Dapatkah aku menelusur lorong tanpa dian? Atau aku akan tersesat menjadi mangsa kegelapan malam?
Mawar memberiku ciuman lembut,” bang, Magda masih setia.!”
Mawar, masikah ada kesetiaan ditengah ganasnya malam. Adakah kesetiaan yang tersisa ketika ajal diujung penantian.”?

“ Ada bang, kesetiaan tidak akan berakhir hingga diujung maut.”
“ Apakah aku dan Magda masih memilikinya,”?
“ Waktu akan menjawabnya.”
Magdalenaku, kemana?. Mungkin kah dia telah dimangsa serigala dilorong gelap. Tidak adakah secercah cahaya menerangi langkahnya.?
***
Mawar memberitahuku, pagi dia harus menghadap dosen pembimbingnya. Aku harus pulang sendirian. Esoknya, aku pamitan dari keluarga pak Ginting yang bersahaja. Dia menolak pemberianku - sejumlah uang sebagai jasa kelelahannya.
“ Sudah nak, pakailah itu untuk keperluanmu, perjalananmu masih panjang,” ujarnya. Selama tiga malam pak dukun banyak bercerita dan memberi petuah dalam menjalani kehidupan. Dia bertutur, ditengah kehidupan ekonomi pas-pasan berhasil memperjuangkan anak sulungnya meraih sarjana teknik di Yogyakarta. Foto anaknya tergantung di dinding ruang tamu, tersenyum memegang ijasah lengkap dengan toga. Keluaga pak Ginting cepat akrab denganku, dalam pembicaraan, aku menyelipkan beberapa kalimat bahasa ibu mereka, bahasa Karo.

Saat pulang, aku peluk bapak dan ibu Ginting, aku mencium tangan mereka. Ibu Ginting memberiku satu sisir pisang hasil kebun dibelakang rumahnya.
“ Kalau ada waktu mampir ke rumah, nanti nginap lagi iya nak ku. Biar bapak ikut menemani sampai dirumahmu,” ujar ibu Ginting
Aku tak kuasa menahan perasaanku, aku peluk lagi ibu, airmataku terkucur atas kebaikannya. Aku merasakan kehangatan kasihnya seperti ibu kandung ku.
Dia mengusap kepalaku, “ sudah nak, orang gagah nggak boleh nangis.” ujarnya.

Ah, seandainya seperti inilah bijaknya orangtua Magdalena, betapa bahagianya jiwa ragaku.! Aku melangkah keluar dengan tongkat sederhana, sementara pisang pemberian ibu aku gantungkan dibahu, ibu tertawa melihat tingkahku. Baru beberapa langkah kehalaman rumah, mobil ber plat polisi berhenti dipinggir jalan. Ada apa pula polisi berurusan denganku pikirku sesaat. Aku melirik sopir berpangkat kopral, dalam dadanya tertulis nama Surahman. Aku mendengar suara dari dalam mobil memanggil ku. Ohhh... ternyata suara Mawar. Pak Ginting mengurungkan niatnya menghantarku pulang, setelah kehadiran Mawar.

Mawar meluruskan kakiku diatas kursi mobil. Dia menceritakan pekembangan terakhir mengenai Magda. Kedua orangtuanya tidak lagi membiarkan Magda keluar, juga dengan adiknya Jonathan yang dianggap “bersekongkol” dengan kakaknya; Magda tidak boleh lagi menginap dirumah Mawar; Magda boleh keluar hanya dengan maminya.
“ Cukup Mawar, aku muak mendengar penyiksaan itu, “ ujarku menghela nafas panjang.

Mawar mengalihkan pembicaraan tentang perkuliahan, tetapi otakku, masih melayang pada penderitaan Magda. Sesekali kopral Surahman melongkok kami lewat kaca spion depan. Aku kesal, mau ku ketok kepalanya dengan tongkat ku, mau tahu saja urusan orang. Beda dengan pak Supri pe-en-es, supir papinya Magda, mata lurus kedepan tanpa larak-lirik.
Tak tahan menahan kantuk, Mawar membiarkan kepalaku “terkulai” dipangkuannya, aku tak perduli dengan mata pak Surahman yang jelalatan.

Mawar menepuk wajahku , “ bang, kita sudah sampai, bangun!”
Mawar dan pak Surahman memapahku masuk kamar. Mawar menyuruh pak Surahman pulang setelah menurunkan pakainku selama tigahari yang telah dicucinya. ”Pak Surahman pulang duluan, mungkin papi nanti butuh mobilnya ,” ujarnya.( BERSAMBUNG)

Los Angeles, February 2009

Tan Zung

Magdalena ( 51)


ABBA "Chiquitita"

Chiquitita, tell me what’s wrong/You’re enchained by your own sorrow/In your eyes there is no hope for tomorrow/ How I hate to see you like this/There is no way you can deny it/I can see that you’re oh so sad, so quiet....
======================
“Abang ayo kerumah sakit.”
“ Aku nggak apa-apa, cuma terkilir,” ujarku memaksakan senyum.
“ Tidak, abang harus kerumah sakit.!”
====================
MAGDA dan Jonathan memapahku menuju mobil yang mereka kenderai. Jonathan menegur kakaknya Magda, karena terus mengomeliku, “ kak diamlah, abang kesakitan malah ngomel terus.”
Magda terdiam mendengar teguran adiknya. Tetapi wajahnya mutung melihat aku tersenyum mendegar teguran adiknya. Magda dan adiknya Jonathan pulang. Aku minta tolong petugas rumah sakit menelefon Sinta ke tempat dia mengajar,“ tolong pesan ke penjaga sekolah, agar memberitahukan kerumahnya.”

Beberapa jam kemudian, Sinta telah tiba di rumahsakit. Dia kaget, wajahnya pucat. Dia mencium keningku, aku merasa surprise, kali pertama dapat”jatah”pariban pikirku meski dulu, mandi bareng sering ketika musim hujan, saat masih usia balita.

“ Sinta, aku minta tolong. Bolehkah pinjam uangmu? Aku kehabisan uang. Temanin aku ke luarkota, disana ada dukun patah tulang “ pergendagen”. Nanti, Rabu, kalau ayah datang belanja, aku kembalikan uangmu. Sinta tak keberatan, dia membayar pengobatanku. Dia memapahku dari teras rumah sakit menuju pinggir jalan. Tiba-tiba sebuah mobil berhenti disamping kami, wadouh,...Magda, mati aku. Pastilah tadi dilihatnya tanganku bergelantung dileher Sinta ketika dia memapahku, bakal apa lagi nanti yang terjadi.?

“ Kenapa buru-buru pulang bang,?”
“ Aku mau berobat ke pak Ginting, dia dukun patah terkenal,” ujarku
“ Dimana? Ayolah kita berangkat sama-sama,”ajaknya.
Sinta dan Magda membantu kakiku yang “babak belur” ke dalam mobil. Sinta minta ijin pulang.
“ Kok abang nggak kasih tahu mau keluar dari rumahsakit.?”
“Aku nggak enak telefon kamu kerumah.”
Pak Supri, sopir papinya disuruh pulang duluan, “ nanti aku pulang sendiri,” ujarnya setelah kami tiba dirumah dukun patah, pak Ginting.

Segera pak Ginting membalur kaki kudengan sejenis cairan, terasa dingin. Aku tidak merasakan ketika proses “vermag” berlangsung. Dia mengingatkan, bila pengaruh cairan telah habis, sakitnya luarbiasa, “terserah kamu, kaki diikat atau bisa menahan sendiri,” ujar pak Ginting. Aku memilih diikat, mulutku dibekap dengan kain. Benar, penderitaan itu datang, kaki seperti digilas kereta api, remuk. Aku menjerit dalam mulut yang terbekap, keringat membasahi seluruh tubuh menahan perihnya hasil pijatan sang maestro dukun patah. Aku dibiarkan tertidur diatas dipan sederhana hingga menjelang malam.

Setelah hilang rasa perih, kembali kakiku dilabur dengan cairan. Aku meronta, trauma pijatan awal, “sudah pak, sudah sembuh kok,” cegahku, karena trauma pijatan awal.
Ohh..tidak dipijat lagi, hanya untuk proses penyembuhan saja, “ ujar pak Ginting ramah.

Mataku tidak menemukan Magda disekitar ruangan sederhana itu. Aku hanya melihat Mawar duduk diujung dipan pembaringanku.

“ Magda sudah pulang dijemput pak Supri. Dia tadi menitipkan pakain pengganti abang,”ujar Mawar.
Aku mau mengganti pakaianku yang sejak tadi pagi lengket dalam tubuh, tetapi aku belum bisa melangkah sendiri ke kamar mandi. Pak Ginting melihat aku gelisah, “ mau ganti pakaiannya, ayo bapak bantu. "
Mawar bereaksi cepat,” biar aku saja pak yang memapahnya,” ujarnya.

Pak Ginting menyodorkan kursi bambu tanpa sandaran ke kamar mandi. “Mawar membuka satu persatu kancing kemejaku, kemudian melap seluruh tubuhku. Diraihnya kedua tanganku melingkar dipinggulnya, “ pegang kuat bang, ntar jangan jatuh kebelakang,” ujarnya. Dia mengulang, “ayo bang pegang kuat." Mata kami beradu dalam kamar mandi berukran kecil itu.
Mawar melanjutkan tugas mulia “perawat’ dadakan itu. Sesekali wajah kami berbenturan, tanpa sengaja. Wajahnya berpeluh, spontan tanganku melapnya, dia memandangiku, tapi aku tak mampu melihat tatapannya.

Aku yakin, dia dan aku tidak akan ada pengkhianatan dalam persahabatan. Tetapi, entah kenapa, sejak peristiwa gebrak meja minggu lalu, sepertinya ada sesuatu yang tertanam dalam hati kecilku, ketulusan hatinya.

Mawar membuyarkan anganku , “sudah bang,”ujarnya sembari memindahkan tanganku keatas bahunya. Lagi, kami saling menatap, lantas aku pegang kedua tanggannya,” Mawar, kamu benar-benar sahabat yang peduli. Terimakasih,” ujarku. Mawar memapahku dengan sabar, sesekali aku menjerit menahan denyutan kaki yang baru saja diurut.( Bersambung)

Los Angels, February 2009

Tan Zung
http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/