Thursday, March 12, 2009

Dosenku "Pacarku" (83)

================
" Bang, gantian, istrahat lah sebelum kita sampai," ucapnya. Maya tersenyum dan membiarkan ketika rambutnyaku gerai menutupi wajah ku.(
================
Lisa, kakak Maya menyambut kami dengan heran. "Kok Maya sudah pulang? Bukankah rencanamu kembali minggu depan,?" tanyanya.
" Aku bosan di kampung," jawabnya.
Lisa mengalihkan pembicaraan ke arahku. " Hei.. Zung, bagaimana urusanmu dengan Susan," tanyanya. Belum aku jawab, tante Maya muncul dari kamarnya. Aku perkenalkan namaku.
" Oh...ini yang bernama Tan Zung. Apa khabarmu? Kapan kamu sidang?" Maya langsung menjawab. " Bulan depan," jawab Maya.

Tante melirik Maya usai menjawab, kemudian bertanya, " kenapa Maya buru-buru kembali?" Maya memberi jawaban yang sama seperti kepada kakaknya Lisa. Setengah jam berselang, om Maya, John, teman dosen Susan beda fakultas tiba dari perjalanan. Maya memperkenalkan diriku dan memberitahu bahwa kami baru tiba dari kampung.

" Aku tahu, tetapi aku nggak tahu kalau Tan Zung satu kampung dengan Maya, " ujar om Maya. Sebelum pembicaraan berlanjut tentang Susan sebagaimana ditanyakan Lisa, aku segera mohon diri, pulang. Aku heran dari mana pula om John mengenalku.

Malam minggu berikut aku berkunjung kerumah Maya, Lisa menyambutku dengan ramah. Dia tersenyum dan berujar, " rupanya kamu sudah pacaran dengan adikku iya. Aku tak melarang kalian berteman, tetapi selesaikan dulu urusanmu dengan Susan," saranya

" Iya kak, tetapi setelah aku selesai sidang."
Lisa tetap duduk bersama aku dan Maya. Kami bicara masa -masa remaja di kampung, hingga akhirnya menceritakan gagalnya hubunganya dengan seorang lelaki. Lisa menuturkan kegagalannya dengan lelaki pacarnya karena keluarga terlalu banyak ikut campur dan mantan pacarnya pun tak punya pendirian, hanya mendengar apa kata ibunya.
" Belum jadi saja sudah mau mengatur, lebih baik batal. Aku sendiri yang mengundurkan diri," jelas Lisa.

Aku kira Lisa akan meninggalkan aku dan Maya setelah "curhat" kepadaku.Lisa terus duduk bersama dengan kami. Aku sudah siap ancang- ancang pulang, om John dan isteri berserta anak-anaknya tiba. Aku terlambat selangkah, pulang, sebelum mereka tiba. Tante Maya masih bersikap ramah, tetapi om John, menurutku, sikapnya kurang bersahabat. Segera aku meninggalkan rumah itu. Hanya om John tak menjawabku ketika aku permisi pulang.

Dalam hatiku, "lanteung lah kau John, aku berteman dengan Maya, ponakanmu, bukan dengan putrimu." Maya dan Lisa menghantarkanku hingga ke ujung pekarangan rumahnya. Tampak wajah Maya sedikit kecewa atas kepulanganku. Sebelum meninggalkannya, aku mengajaknya bertemu di kantin kampusnya. Maya mengangguk tanda setuju. Lisa mengigatkanku, kalau hari yang aku janjikan adalah hari libur perkuliahan.

Esok harinya aku ke kampus Maya. Menunggu dan menunggu, tak kunjung datang. Aku memutuskan meninggalkan kantin dengan menitip pesan ke ibu penjaga kantin. Belum begitu jauh melangkah dari kantin, Lisa dengan tergesa-gesa turun dari beca dan menemuiku di dalam kampus.

" Maya sakit, dia nggak bisa datang. Tadi dia mau ikut tapi tante melarangnya." Aku mencium aroma tak sedap, aku langsung "tembak" Lisa, " sepertinya om John pada malam itu gayanya tengik. Aku mau pacaran dengan Maya adikmu, bukan dengan putrinya."

Lisa mengajakku ke kantin, " Zung kita bicara dikantin, kebetulan aku haus," ujarnya.
" Zung, kamu nggak boleh marah-marah seperti itu. Om John merasa bertanggung jawab dengan aku dan Maya, karena kami adalah ponakan dan kebetulan tinggal di rumahnya. Tenang saja kamu, aku nggak keberaratan kok"
" Maaf aku terlalu merasa. Maya sakit apa? Ketika aku tinggalkan malam itu, dia sehat, akupun tidak melihat ada gejala sakit. Kak, katakan saja sesungguhnya apa yang terjadi dengan Maya." ( Bersambung)

Los Angeles, March 2009
Tan Zung
http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/

Dosenku "Pacarku" (82)

===============
Tanpa aku sadari tangan menopang dagu di meja makan, menatap hampa ke depan. Maya mengagetkanku ketika dia kembali dari dapur sambil membawa minuman. "Bang, mikirin apa ?" tanya Maya
===============
SETELAH makan siang dengan Maya, kami berangkat ke kebun. Anganku, kisah percintaan kami akan berlangsung langgeng, ah....angin sepoi menyambut aku dan Maya, bernaung dibawah pohon durian sambil berucap kata cinta.

Ketika mulai melangkah, dihalaman rumah sejumlah anak-anak sekolah minggu berkerumun sambil memanggil Maya, minta ikut pula. Memang Maya selama pulang kampung selalu ikut mengajar anak-anak sekolah minggu. Ah... pukimbenya semua ini, kataku dalam hati, kesal.

Maya melihat perubahan sikapku atas kehadiran anak-anak sekolah minggu.
"Bang sebentar aku "amankan" dulu mereka,"katanya. Maya menggiring muridnya kerumah sembari memanggil adiknya. Satu bocah laki diantara muridnya merasa cemburu, dia marah-marah kepada Maya: " Kak, nggak boleh pergi dengan abang itu. Kakak tadi janji mau main sama aku," katanya merengek. Maya berhasil membujuknya, sibocah pergi tapi memplototinku, "abang jelek," serunya kesal.
***
Sehari sebelum kembali ke Medan, kedua orang tua mendahului "sidang meja hijau" ku. Pertanyaan Ibu lembut tetapi menusuk.
" Ibu kira kalau sudah sekolah tinggi, perilakunya sudah semakin "tinggi" tetapi ternyata kau jadi tinggi hati. Tak lagi kau pikirkan sopan santun berpakaian. Dulu, kamu yang paling rajin bawa " buku ende" ke gereja. Kemarin jangankan "buku ende' pakaianmu pun seperti anak pasaran yang nggak punya pendidikan," sentil ibu .

Usai "nyanyian" ibu, ayah langsung menohok dengan sederet pertanyaan; "Bagaimana urusanmu dengan ibu dosenmu? Jadinya kau nanti meja hijau? Setelah kau putus dengan pacarmu dulu, kau mabuk- mabukan, patentang-patenteng seperti kelebihan uang.!"

" Yang tak ada lagi anak gadis yang dapat kau pacarin? Kok, pacaran sama perempuan yang masih bersuami. Hancur sudah nama baik kami gara- gara kamu. Barangkalai kalau kau pacaran dengan janda, kami tidak terlalu menanggung malu, walaupun aku dan ayahmu tidak akan setuju kalau kau pacaran dengan janda," tambah ibu.

Aku tak berani mengangkat wajah menatap ayah dan ibu setelah aku habis "dikuliti" malam itu. Tak ada yang perlu dikoreksi. Setelah mohon maaf, aku jelaskan semua "kehancuran"ku, setelah putus dengan Magda, kemudian kenapa aku berteman dengan Susan. Diakhir "persidangan" malam itu, ibu menitikkan air matanya sambil berujar," Zung, kami memberangkatkan kamu sekolah dengan keringat darah. Kami bersusah payah menyekolahkanmu dengan harapan kamu menjadi orang yang patut dicontoh adik-adik mu...."

Belum selesai ibu mengakhiri kalimatnya, aku memeluk dan menciumi wajahnya dengan sesunggukan. Aku hapus airmatanya dengan kedua tanganku, " Ibu, aku janji akan berubah. Doakan aku, bulan depan aku maju ke meja hijau. Kalau aku lulus, ayah dan ibu harus datang menghadiri wisudaku."
Ayah menanyakan hubungan ku dengan Maya, " selama seminggu ini kau selalu dengan Maya. Bagaimana kelanjutannya?" tanya ayah.
" Boleh kau berteman dengan siapapun. Alai unang salpu-salpu hatam (jangan kamu asal membuat janji."-pen) kata ibu mengingatkan. Aku jadi teringat dengan janjiku menikahi Susan, kemudian menyesalinya.

" Aku dan Maya masih berteman biasa," ucapku
" Berteman biasa kau bilang, pakaianmu pun sudah disetrikanya, setiap hari kau dilayani makan, pulang larut malam. Aku pun dulu pacarannya sama ibumu sebelum nikah. Na godang kecetmu( belagu , pen)" ujar ayah ketawa, disambut gelak ibuku. Mengakhiri pembicaraan kami malam itu, kembali ibu mengingatkan dengan pesan pamungkasnya, "jangan kau sakiti hati perempuan dengan janji kosong."
***
Satu jam sebelum kami berangkat ke Medan, Maya telah datang ke rumah diantar oleh saudara laki. Sebenarnya, Maya akan kembali ke Medan minggu depannya. Maya mempersingkat kunjungannya di kampung setelah di beritahu kalau aku hanya berkunjung selama seminggu. Sementara kami asyik bicara, ibu menyelah sambil menyerahkan buku ende ( kidung jemat,pen) Maya tersenyum melihatku ketika ibu menyerahkannya. Setelah ibu menjauh, aku bicara pelan ke telinga Maya, " kata ibuku, nanti di dalam bus, kita nyanyi bersama dari buku ende ini." Maya hanya tersenyum sambil mencubit pahaku.

Kedua orang tuaku turut memberangkatkan kami setelah bus menjemput kami. Selama perjalanan yang menghabiskan waktu enam jam itu, tak banyak yang kami bicarakan. Maya tak kuasa menahan kantuknya setelah malam sebelumnya aku dan Maya menikmati sinar rembulan hingga menjelang subuh.

Aku merebahkan wajahnya ke pangkuanku setelah beberapa lama bersandar di atas dadaku. Sesekali aku mengecup pipinya setelah melihat"tetangga" pada tertidur. Maya terjaga ketika aku menggerai rambut yang sama panjangnya dengan rambut Magda. Semoga rambut Maya tidak menjadi "korban" kedua, bisik hatiku. Maya meletakkan tanganku diatas pipinya dan menatapku dengan mata kuyu. Kembali Maya memejamkan matanya sementara tanganku masih diatas pipinya masih dalam gemgamannya.

Sopir bus yang kebetulan teman sekampung sengaja memutar lagu-lagu bernuansa cinta, lembut, menghantarkan mata ku mulai redup. Maya bangun, duduk dan merapikan rambutnya yang baru saja ku gerai. Tangannya meraih wajahku dan menindihkan pelan kesisi lengannya. " Bang, gantian, istrahat lah sebelum kita sampai," ucapnya. Maya tersenyum dan membiarkan ketika rambutnyaku gerai menutupi wajah ku.( Bersambung)

Los Angeles, March 2009
Tan Zung

http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/

Dosenku "Pacarku" (81)

==============
Bila iya, aku akan mengakhiri petualangan cinta setelah kandas dengan Magda. Mawar bagiku masih sebuah "misteri", dingin dan kabur.
=============
Malam itu, kedua orang tua Maya menyambutku hangat, mereka membiarkan aku dan Maya di ruang tamu. Pembicaraan kami mulai masuk ke wilayah asmara. Di selah percakapan, aku kembali mengajukan beberapa pertanyaan secara langsung perihal hubungannya dengan lelaki. Aku tak mau terjebak, kelak, menjadi labuhan cinta perlariannya.

Maya mengaku jujur, bahwa dia belum pernah menjalin hubungan serius dengan seorang lelaki, aku sangat mempercayai pengakuannya. Maya juga mengajukan sejumlah pertanyaan perihal hubunganku dengan Magda dan Susan. Aku mengaku jujur perihal hubungan ku dengan Magda selama lima tahun kemudian berakhir. Dengan Susan ? Aku tak mau lagi tersandung yang kedua kali dengan pengakuan jujur seperti kepada Magda. Cukupku jelaskan bahwa aku pernah jatuh cinta dengan Susan beberapa saat.

Tak ada perubahan ekspresi wajahnya ketika aku menjelaskan perihal hubunganku dengan Magda dan Susan. Dinginnya malam mengakhiri pembicaraanku dengan Maya. Maya tak keberatan ketika aku memberi kecupan di keningnya. Maya mencubit lenganku sembari meletakkan wajahnya diatas dadaku, seakan ingin mendengar degup irama ketulusan, entahlah kalau masih ada yang tersisa.
***
Esok paginya, Maya datang menjemputku ke gereja, sementara aku masih terbaring lemah karena pulang terlalu larut malam. Ibu memberitahu kalau Maya telah menungguku diruang tamu. Ibu menyentil ketika aku menolak ikut ke gereja, " rupanya kalau sudah mau sarjana tak perlu lagi ke gereja iya.?"

Ibu membiarkan Maya menemuiku ke kamar. " Kalau abang nggak ke gereja, Maya juga nggak ke gereja!" ancamnya.
" Kegereja kok tergantung dengan aku.?"
" Bang.. Aku ngga ada teman!" jawabnya
" Ke surga juga sendiri-sendiri. Baiklah, lanjutku, aku mau ke gereja tapi aku bebas memilih pakaianku."

Maya tersenyum mendengar persyaratanku, ingat kejadian kemarin ketika menghadiri ibadah pernikahan Sinta. Namun, Ibu keberatan setelah melihat pakaian yang aku kenakan. " Makin lama makin nggak karuan kau amang ( nak, pen) Kok nggak bisa lagi kau bedakan pakaian ke gereja dan ke kedai tuak ," keluh ibu nelangsa. Maya langsung menarik lenganku ke pintu kamar, "Zung, sudahlah, dengar apa kata namboru. Namboru juga senang kalau abang dilihatnya rapi."
" Ke surga juga nanti telanjang," gura ku pelan,takut kedengaran ibu.
" Kita belum mau ke surga bang," balasnya.
***
Setelah pulang dari gereja, aku dan Maya ingin pergi menjauh dari kampung tempat kami tinggal. Aku rindu kebun, tempatku dulu dan rekan seusiaku "menjarah" durian, manggis dan rambutan usai pulang sekolah. Aku ingin bersama Maya menikmati suasana alam, jauh dari keriuhan yang sangat membosankan. Aku mengajak Maya. " Mau menemaniku ke kebun? " tanyaku.
" Mau, tetapi kita makan dulu," jawabnya.

" Mau makan di kedai tuak.? tanyaku bergurau. Maklum di kampung tidak ada restaurant atau rendezvous, "persembunyian" pengurai cinta. Maya mengajak makan dirumahnya. " Mama, masak arsik untuk abang," ujarnya tersenyum.

" Heh...Maya dapat bocoran darimana bahwa aku "arsik maniak ? Dari Sinta iya? Jawab dulu sebelum kita kerumah mu," desak ku.
" Aku tahu dari ompung. Kemarin aku disuruhnya masak arsik untuk abang, tapi aku nggak bisa. Aku suruh mama memasak."
" Jadi, kamu bilang arsik itu untukku?"
" Iya, kenapa rupanya! ?"
" Aku nggak enak sama mama kamu. Ini urusannya jadi serius, " ujarku.
" Nggak jugalah. Hanya makan siang kok. Ayolah biar kita ke kebun."

Ajakan makan siang yang tak dapat dihindari, meski hatiku tidak merasa plong. Aku merasa lega setelah mama Maya meninggalkan kami makan berdua. Bayangan wajah Magda dan Susan masih muncul dalam pikiranku. Tanpa aku sadari tangan menopang dagu di meja makan, menatap hampa ke depan. Maya mengagetkanku ketika dia kembali dari dapur sambil membawa minuman. "Bang, mikirin apa ?" tanya Maya (Bersambung)

Los Angeles, March 2009