http://www.youtube.com/watch?v=-POUYgVRclM
Tetapi, yakinlah aku akan segera menyelesaikannya setelah aku menikah. Layar telah berkembang, aku kini siap mengarungi samudera luas bersama dengan juwitaku, calon mantumu."
==================
“ Bapak suruh aku jemput Magda, kemana dia bang.?”
“ Magda keperpustakaan, dia pergi dengan Mawar. Tapi aku kira mereka sudah nggak ada disana. Setelah dari ke perpustakaan mereka pergi kerumah dosen, urusan skripsi, “ ujarku. (aku ngarang, padahal mereka ke tukang jahit)
Tidak lama kemudian setelah sopir berlalu, Magda dan Mawar kembali dengan wajah kurang ceria. Magda menghempaskan dirinya di ujung tempat tidu ku. "Aku kesal, gaunnya sudah jadi, tetapi pinggulnya kekecilan. Malah cocoknya sama Mawar, pas benar,” kesalnya.
“ Yang mau nikah siapa, Magda atau Mawar, ?“ tanyaku berguyon.
Wajah Magda cembrut bukan karena ucapanku, tetapi karena kekecewannya kepada tukang jahit, “ bang aku jahitkan yang baru lagi ? beli jadi,? atau aku pakai kebaya ?,” tanyanya.
“ Jangan beli jadi, kurang pas dengan tubuhmu, pakai kebaya kayak mamak kali kau nanti,”kataku sok tahu.
“ Kalau jahit baru, berapa lama lagi selesai,?”
“ Dua minggu lagi bang,” katanya.
Dalam hatiku bersyukur, ada kesempatan memperpanjang waktu. Inilah kesempatanku membujuk kedua orangtua, meminta “dispensasi” sekaligus restu.
Selama seminggu, setiap dari kampus aku kerumah teman menyelesaikan skripsiku. Aku titip pesan kepada Mawar, agar memberitahu Magda, bahwa aku setiap hari ke rumah dosen pembimbing. "Jangan lupa, tolong ingatkan dia, menghadiri pertandingan ku yang terakhir kali.” ingatku.
“ Beruntung kamu berteman dengan Magda, orangnya baik dan jujur. Kamu ada masalah dengan dia?” tanyanya serius.
“ Osh, nggak. Mungkin dia sibuk. Minggu lalu sudah ku beritahu sama dia.” Belakangan aku tahu, beberapa bulan sebelumnya, Sutrisno marah besar terhadapku karena aku minum-minuman alkohol, atas laporan Magda.
Sutrisno menanyakan apakah aku masih dapat meneruskan pertandingan, “bekas luka tanganmu mengeluarkan darah lagi.” ujarnya
“Osh. Aku masih kuat, ini kali yang terakhir aku ikut kejuaraan,” jawabku.
Semangatku semakin berkobar ketika lolos ke semi final, namun aku belum melihat wajah Magda. Angka demi angka aku kumpulkan pada babak final, tinggal meraih dua point, aku akan menjasd juara. Mataku menyapu sekitar ruangan, Magda dan Mawar belum tampak juga.
Sementara kosentarasi terganggu, pukulan telak menghajar uluhatiku, full contacted, kemudian lawan tanding melumpuhkan kakiku. Aku terhempas kebelakang, perut merasa mual, mau muntah dan nafas terasa sesak. Aku dapat bernafas normal setelah simpai Sutrisno menotok beberapa titik punggungku. Wasit menghentikan pertandingan, lawan tanding diskulifikasi, sebab dianggap melanggar aturan tanding; pertandingan tidak dalam full contact kecuali tangan dan kaki.
Aku dipindahkan keluar lapangan menunggu kenderaan. Obat luar yang dioleskan tak mampu menghilangkan rasa sakit, pergelangan kaki bengkak dan mulai biru lembam. Sementara itu, ada suara wanita yang menjerit diluar lapangan. Aku tidak pasti apakah suara Magda atau Mawar. Suara tangisan semakin mendekat. Akhh, ternyata Magda. Sutrisno memeluknya, mengelus kepala Magda, “tidak apa-apa, hanya keseleo,” ujarnya.
Magda merangkulku diiringi tangis. Aku bisikkan ketelinganya, “ Jangan menangis, dalam arena pertandingan seperti ini tidak boleh menangis, aku malu nanti diteriakin “anak mami” diam sayang,” pinta ku. Magda diam, tetapi airmata mengalir terus. “ Aku sudah bilang, jangan lagi ikut bertanding. Abang terlalu capek, tapi nggak mau dengar Magda,” katanya mengomel.
Jantungku berdetak keras setelah mendengar suara pria berbicara dengan Magda, Albertkah dia,? Uhh..bukan, Jonatan adiknya Magda. Jonathan melihatku dengan perasaan iba. Magda sebentar berbicara dengan Sutrisno, aku melihat dia megangguk. “Abang ayo kerumah sakit.”
“ Aku nggak apa-apa, cuma terkilir,” ujarku memaksakan senyum.
“ Tidak, abang harus kerumah sakit.!” (BERSAMBUNG)
Los Angeles, February 2009