Sunday, February 1, 2009

Magdalena ( 50)

http://www.youtube.com/watch?v=-POUYgVRclM

==================
Tetapi, yakinlah aku akan segera menyelesaikannya setelah aku menikah. Layar telah berkembang, aku kini siap mengarungi samudera luas bersama dengan juwitaku, calon mantumu."
==================
SESEORANG mengetuk pintu, suaranya tidak asing bagi ku, Supri, sopir orangtua Magda. Pak Supri kaget melihat tanganku terbalut. “Aku mengalami kecelakaan,” jawabku ketika dia bertanya kenapa.
“ Bapak suruh aku jemput Magda, kemana dia bang.?”
“ Magda keperpustakaan, dia pergi dengan Mawar. Tapi aku kira mereka sudah nggak ada disana. Setelah dari ke perpustakaan mereka pergi kerumah dosen, urusan skripsi, “ ujarku. (aku ngarang, padahal mereka ke tukang jahit)

Tidak lama kemudian setelah sopir berlalu, Magda dan Mawar kembali dengan wajah kurang ceria. Magda menghempaskan dirinya di ujung tempat tidu ku. "Aku kesal, gaunnya sudah jadi, tetapi pinggulnya kekecilan. Malah cocoknya sama Mawar, pas benar,” kesalnya.
“ Yang mau nikah siapa, Magda atau Mawar, ?“ tanyaku berguyon.
Wajah Magda cembrut bukan karena ucapanku, tetapi karena kekecewannya kepada tukang jahit, “ bang aku jahitkan yang baru lagi ? beli jadi,? atau aku pakai kebaya ?,” tanyanya.

“ Jangan beli jadi, kurang pas dengan tubuhmu, pakai kebaya kayak mamak kali kau nanti,”kataku sok tahu.
“ Kalau jahit baru, berapa lama lagi selesai,?”
“ Dua minggu lagi bang,” katanya.
Dalam hatiku bersyukur, ada kesempatan memperpanjang waktu. Inilah kesempatanku membujuk kedua orangtua, meminta “dispensasi” sekaligus restu.

Selama seminggu, setiap dari kampus aku kerumah teman menyelesaikan skripsiku. Aku titip pesan kepada Mawar, agar memberitahu Magda, bahwa aku setiap hari ke rumah dosen pembimbing. "Jangan lupa, tolong ingatkan dia, menghadiri pertandingan ku yang terakhir kali.” ingatku.

***
Pertandingan sudah akan berakhir, Magda dan Mawar tak muncul. Konsentrasi mulai tergangu, intrusktur senior, Sutrisno memparhatikan perubahan sikapku ronde demi ronde. Ketika istrahat dia bertanya, kenapa Magda tidak ikut. Sutrisno sangat senang melihat perilaku Magda. Memang beberapa kali Magda ikut bersama ku, membantu Sutrisno melatih murid baru.
“ Beruntung kamu berteman dengan Magda, orangnya baik dan jujur. Kamu ada masalah dengan dia?” tanyanya serius.
Osh, nggak. Mungkin dia sibuk. Minggu lalu sudah ku beritahu sama dia.” Belakangan aku tahu, beberapa bulan sebelumnya, Sutrisno marah besar terhadapku karena aku minum-minuman alkohol, atas laporan Magda.

Sutrisno menanyakan apakah aku masih dapat meneruskan pertandingan, “bekas luka tanganmu mengeluarkan darah lagi.” ujarnya
Osh. Aku masih kuat, ini kali yang terakhir aku ikut kejuaraan,” jawabku.
Semangatku semakin berkobar ketika lolos ke semi final, namun aku belum melihat wajah Magda. Angka demi angka aku kumpulkan pada babak final, tinggal meraih dua point, aku akan menjasd juara. Mataku menyapu sekitar ruangan, Magda dan Mawar belum tampak juga.

Sementara kosentarasi terganggu, pukulan telak menghajar uluhatiku, full contacted, kemudian lawan tanding melumpuhkan kakiku. Aku terhempas kebelakang, perut merasa mual, mau muntah dan nafas terasa sesak. Aku dapat bernafas normal setelah simpai Sutrisno menotok beberapa titik punggungku. Wasit menghentikan pertandingan, lawan tanding diskulifikasi, sebab dianggap melanggar aturan tanding; pertandingan tidak dalam full contact kecuali tangan dan kaki.

Aku dipindahkan keluar lapangan menunggu kenderaan. Obat luar yang dioleskan tak mampu menghilangkan rasa sakit, pergelangan kaki bengkak dan mulai biru lembam. Sementara itu, ada suara wanita yang menjerit diluar lapangan. Aku tidak pasti apakah suara Magda atau Mawar. Suara tangisan semakin mendekat. Akhh, ternyata Magda. Sutrisno memeluknya, mengelus kepala Magda, “tidak apa-apa, hanya keseleo,” ujarnya.

Magda merangkulku diiringi tangis. Aku bisikkan ketelinganya, “ Jangan menangis, dalam arena pertandingan seperti ini tidak boleh menangis, aku malu nanti diteriakin “anak mami” diam sayang,” pinta ku. Magda diam, tetapi airmata mengalir terus. “ Aku sudah bilang, jangan lagi ikut bertanding. Abang terlalu capek, tapi nggak mau dengar Magda,” katanya mengomel.

Jantungku berdetak keras setelah mendengar suara pria berbicara dengan Magda, Albertkah dia,? Uhh..bukan, Jonatan adiknya Magda. Jonathan melihatku dengan perasaan iba. Magda sebentar berbicara dengan Sutrisno, aku melihat dia megangguk. “Abang ayo kerumah sakit.”
“ Aku nggak apa-apa, cuma terkilir,” ujarku memaksakan senyum.
“ Tidak, abang harus kerumah sakit.!” (BERSAMBUNG)

Los Angeles, February 2009

Tan Zung
http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/

Magdalena ( 49)

Open Arms


Lying beside you here in the dark/Feeling your heart beat with mine/Softly you whisper, you’re so sincere/How could our love be so blind /We sailed on together/We drifted apart/And here you are by my side

========================
Magda dan Mawar pulang setelah kami serapan. Magda telah mempersiapkan handuk dan pakain pengganti sebelum pulang. “Abang bisa kekamar mandi sendiri, atau aku temanin,?” tanyanya.
=======================

Dari pembaringan, aku mendengar suara vesva milik Mawar tapi aku tak mendengar suara motor Magdalena. Kemana dia ? tanyaku dalam hati. Mawar masuk membawa bungkusan, aku tahu pasti itu adalah makanan, tapi sebanyak itukah? Aku tak sabaran bertanya, "Magdalena kemana.?"

"Sebentar menyusul bang."
"Kemana dia, Mawar,?"
" Abangnggg, dia pulang kerumah, sebentar lagi dia datang. Sabarlah bang, dia nggak kemana-mana," jawanya gemas.
Tidak lama kemudian, Magda tiba tanpa motor.
" Naik apa kamu?"
"Aku diantar sopir."
" Mami tahu kamu kemana,?"
" Tahu, kenapa ? aku bilang ke "perpustakaan," katanya tersenyum
" Akhhh, aku hampir lupa. Iya....iya..!" ujarku

" Iya, bang, kata Mawar menimpali, kami sekarang punya "kode " rahasia. Jika disebut pinjam buku artinya keperpustakaan kampus. Jika disebut baca buku, iya kesini bang, kampus biru," keduanya tertawa.

" Kok kampus biru.?"
"Iyalah, lihat nih, taplak meja, gorden berwarna biru; bedacover dan sarung bantal juga berwarna biru," kata Mawar
" Hatikupun luka membiru," lanjutku
" Hmm. abang mulai nih. Mawar, nggak usah dilanjutin, nanti abang makin menjadi-jadi," ujar Magda protes seraya mengajak makan.
" Mawar, kamu saja yang pakai sendok, aku dan abang makan pakai tangan saja. Abang kita lagi bangkrut nih," ujar Magda sambil melirikku.

***
" Aku tadi ketemu dosen pembimbing abang. Aku beritahu kalau abang kecelakaan.!"
" Magda beritahu, kalau kita mau nikah.?"
Magda, menatapku, dia mengangguk-angguk. Mawar tertawa. Dia mengira kalau aku sedang bergurau. Mawar tak tahu, kemarin dulu kami sudah punya rancangan, segera kabur.
Magda dan Mawar mohon ijin sebentar, " bang ditinggal dulu, kami mau melihat gaun mungkin sudah jadi."

Sepeninggal mereka, aku tercenung, gaun....? Tiba-tiba wajah kedua orangtuaku terbayang, tetapit tak tampak ceria dalam wajah mereka. Tidak seperti biasanya, bila aku kangen dengan ibu, wajahnya selalu tampak senyum meski hanya dalam bayang. Ayah, sosok pahlawan, wajahnya selalu serius menghitung laba-rugi niaganya; menyisakan uang belanja untuk bayar kost dan kepentingan sekolah ku setiap bulan; untuk abang dan adikku di Jakarta. Bayang-bayang wajah kedua orangtuaku, menghentak. Satu pesan yang hampir pupus dari ingatanku," boleh kau berteman dengan wanita, tetapi jangan sampai terganggu sekolahmu," nasihat ibu ketika itu.

Kini, aku diperhadapkan dalam keputusan yang sangat dilematis, antara sebuah harapan oangtua dan"menyelematkan" cintaku dan Magda yang hampir lenyap ditelan manusia-manusia jalang.
Hatiku bergetar," Ayah..ibu...maafkan aku, bila aku belum memenuhi keinginanmu. Untuk sementara sarjanaku tertunda. Tetapi, yakinlah aku akan segera menyelesaikannya setelah aku menikah. Layar telah berkembang, aku kini siap mengarungi samudera luas bersama dengan juwitaku, calon mantumu." ( Bersambung)

Los Angeles, February 2009

Tan Zung

http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/

Magdalena ( 48)

The Power Of Love
The whispers in the morning/Of lovers sleeping tight/Are rolling by like thunder now/As I look in your eyes /I hold on to your body/And feel each move you make/Your voice is warm and tender/A love that I could not forsake
===================
“ Bang, aku ingin menceritakan, tapi aku takut, abang marah dan akan meninggalkanku. Magda takut abang minum lagi. Zung, percayalah, aku masih sangat mencintaimu. "
===================
MALAM hari, dokter mengijinkan aku kembali ke rumah. Sebenarnya, aku cukup kuat melangkah ke kamarku, tetapi Magda dan Mawar tak membiarkan aku berjalan sendiri. Mereka membaringkanku ditempat tidur, tubuhkuku masih lemah tangan berdenyut perih. Magda dan Mawar mengumpulkan pecahan piring dan kaca meja yang hancur berantakan, membersihkan sisa darah diatas kursi dan meja.

Aku menyuruh mereka pulang, “ Aku mau tidur, pulanglah kalian.” Magda menolak ajakan Mawar pulang, “ Aku mau jagain abang. Nanti aku telefon mami, kalau aku akan tidur dirumahmu.” Mawar mengangguk.
Sebelum dia meninggalkan kami, aku sampaikan terimakasih yang tulus; “ Mawar, terimakasih kebaikanmu.” Dihadapan Magda, sebelum pulang , Mawar mencium keningku, “selamat malam bang, semoga cepat pulih.” ujarnya.

Magda membuka kemejaku yang masih berlumur darah serta melap tubuh ku. “ Abang, celananya ada percikan darah, Magda ganti iya.”
Kepalaku menggeleng, diam tak menjawab sembari menatap wajahnya.
Magda mulai menggoda ku, “ abang malu iya,?” tanyanya tersenyum.
Aku diam terus menatapinya. “ Kok sama calon isteri malu bang,” ujarnya sambil menciumku, hangat. Atau abang sendiri yang buka, aku nanti yang pasangin.” ( dalam hatiku apa bedanya)

Magda duduk ditempat tidur, dia mengangkat kepalaku keatas pangkuannya. Magda terus memberiku semangat lewat cerita kenangan masa lalu. Kenangan sejak es-em-a hingga reuni kami beberapa waktu lalu. Magda menyentilku,” Waktu itu mata abang jelalatan lihat Widya lagi teler sama pacarnya.” Aku hanya tertawa lemah sambil menahan perihnya luka tanganku.

Aku tak dapat menahan rasa kantuk, dia membiarkanku terlelap dipangkuannya. Aku terbangun ketika dia memindahkan kepalaku dari pangkuannya ke tempat tidur. Magda merebahkan tubuhnya miring menghadapku. Dia memelukku erat serta mencium pipiku,”mimpi baik baik bang,” katanya menghantar tidurku.

Magda menaruh tangan kanannya diatas dadaku. Aku tak dapat menahan rasa haru atas ketulusan dan kebaikannya. Untuk hal ini, aku tak meragukannya. Dia bagaikan ”malaikat” setia mendampingiku. Lagi, nafasku sesak. Magda mendengar nafas yang tertahan, dia berbisik pelan ditelingaku, “ Abang tidurlah, Magda akan menungguimu sampai pagi.
” Aku memalingkan wajahku ingin menciumnya tapi tak sampai, Magda mendekatiku dan segera menyambut kecupanku. “Tidurlah bang,” bisiknya pelan.

***

Subuh menjelang pagi, aku terjaga dan melihat Magda tertidur disampingku. Aku mencium tangannya yang ditaruh diatas dadaku. Dia masih terlelap. Aku berusaha memiringkan tubuhku menghadapnya, ingin mencium keningnya. Tanpa kusadari tanganku masih terbalut karena luka, badan menindih tangan, aku menjerit kesakitan. Jeritanku membangunkan Magda dari tidurnya. Aku menyesal setengah mati, aku belum puas menikmati wajahnya yang polos dalam tidur.

“ Maaf, aku menggangu tidurmu. Tidur lagi lah, aku mau melihat wajahmu yang jelek dalam tidur,” ujarku bercanda. Dia mengangkat wajahnya keatas dadaku, “Iya bang, nih puasin lihat wajahku yang jelek.” ujarnya manja. Waoughhh..., maksud hati memeluk sempurna, apa daya tangan terbelengu.

***
SAHABAT kami Mawar datang membawa sarapanku dan Magda. Mawar menyapaku lembut,” sudah mulai baikan bang ?” Aku mengangguk. Magda menambahkan ; “ Sudah mulai pulih, besok abang sudah boleh kuliah.”
Silih berganti aku pandang wajah Magda dan Mawar, keduanya bagaikan “malaikat” yang turun dari surga. Magda yang kukasihi punya cinta yang tulus, Mawar sahabatku tanpa pamrih, tulus dan bersahaja. Sementara aku menatap wajah kedua “malaikat” pikiranku mencoba mengingat nama-nama sahabat priaku. Aku ingin menjodohkannya dengan Mawar. Aku tak rela Mawar dimiliki lelaki yang tidak bertanggungjawab. Aku ingin Mawar menikmati cintanya seperti aku dan Magda, tulus.

Magda melap wajah kemudian menyisir rambutku, sementara Mawar sibuk menghidangkan serapan pagi bawaannya. Aku duduk diantara kedua “malaikat”ku. Wajah Mawar terpancar sukacita ketika sendok demi sendok Magda menyuapiku, senyumnya mengembang. Aku ingin membalas suapannya, tapi aku tak bisa, telapak dan pergelangan tangan kananku masih terbalut.

Mawar tidak membiarkan tangan kiriku meraih kopi seduhannya. Dia mengangkat gelas, mendekatkan kebibirku; “minum bang,” ujarnya. Magda tersenyum melihat ketulusan hati sahabat kami Mawar, lantas Magda mencubit hidungku lembut, “abang manja ah...”

Kutatap wajahnya, tetap ceria, tidak sedikitpun terpancar rasa cemburu. Magda dan Mawar pulang setelah kami serapan. Magda telah mempersiapkan handuk dan pakain pengganti sebelum pulang. “Abang bisa kekamar mandi sendiri, atau aku temanin,?” tanyanya. ( Bersambung)

Los Angeles, February 2009

Tan Zung
http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/

Magdalena (47)

It's Hard to Say Goodbye


There’s something in your eyes/ that’s far too revealing/Why must it be like this a/ love without feelin/Something’s wrong with you I know/I see it in your eyes/Believe me when I say/It’s gonna be okay

======================
Aku sempat mendengar pertanyaan salah seorang paramedis, sebelum aku tak sadarkan diri, “ temanmu mau bunuh diri?”
“ Bukan, dia kecelakaan,” jawab Mawar.
=====================
AKU merasakan sebuah kecupan dikening diiringi butiran airmata menetes dikelopak mataku, hangat. Ditelingaku dia berbisik dalam isak, “ Zung, bangun, aku datang calon isterimu, abang bangunlah. Kita akan menikah kan bang?" Magda menepuk wajahku berulang masih dalam tangisan, “ Lihat aku bang, aku Magda. Bang bangunlah!”

Aku masih sukar membuka kedua mataku. Magda terus mencium kedua pipiku, “Zung...bangun, ayo kita pulang,” ujarnya sesugukan.
Meski terasa berat, aku berusaha membuka mataku, ingin melihat jelas raut wajahnya. Aku mengiba setetes air membasahi kerongkonganku, “Aku haus.....”
Dalam bayangan redup, aku melihat Magda menuangkan air minum kedalam gelas. Aku mendengar suara Mawar melarang Magda memberi air.
“ Magda jangan. Kata dokter, abang boleh minum satu jam lagi.”

Magda tidak tega membiarkan aku tersiksa dalam kehausan. Dari bibirnya yang lembut membasahi bibirku. Aku ingin mengucapkan terimakasih, tetapi hatiku masih terganjal. Kenapa aku begitu rapuh? Kenapa mata hatiku masih tertutup gelap, meski Magda telah memberikan segalanya dengan ketulusan hati?

Dari kerongkonganku yang masih terasa kering menyuruh mereka pulang. “Mawar, Magda pulanglah kalian, sudah larut malam, terimakasih telah membantuku." Mawar menyambut tanganku ketika memberi salam,” terimakasih kasih Mawar, kau mahabaik,” ucapku terpatah-patah. Mawar memegang tanganku erat.

Aku melirik kearah Magda. Hatiku masih menyimpan rasa tanya mengapa dia tidak pernah bercerita tentang pria pilihan orang tuanya, Albert. Aku tak dapat menahan rasa kesal, “ Magda pulanglah, pergilah bersama Albert membawa cintaku, semoga engkau berbahagia dengannya.”

Magda membungkam mulutku dengan kedua bibirnya kemudian histeris, “ tidak, aku tidak pergi dengan siapapun!” Para medis berdatangan ke kamarku mendengar teriakan Magda, mungkin mereka pikir aku telah lewat. Akhirnya mereka undur dari kamar setelah Mawar menjelaskannya.

Dalam tangisnya Magda mengusap kening dan menciumiku, “Abang aku tidak akan pergi dengan siapapun. Aku hanya pergi dengan abang. Magda telah persiapkan semuanya untuk pernikahan kita,” ujarnya terisak.
Mawar membujuk Magda yang masih terus menangis,” biarkan dulu abang istrahat, tadi cukup banyak darahnya mengucur. Magda terus menangis terisak. Dia mencium tanganku yang masih terbalut.

Mawar mencelupkan handuk kecil ke baskom lantas menaruh diatas keningku. Dia memeluk Magda yang masih terus menangis menciumi tanganku. Mawar membujuk, “ Magda, biarkan abang istrahat dulu, jangan menangis seperti itu.”

Magda tidak perduli, dia terus menangis, “ Abang tadi malam telah berjanji akan menikahiku. Aku telah menyerahkan semua hatiku. Tidak ada yang tersisa buat siapapun. Tidak seorangpun dapat memilikinya kecuali abang. Mengapa abang belum percaya Magda,” ujarnya pilu lantas mencium ujung jari tanganku yang terluka. Sejak minggu lalu hingga tadi malam, aku sudah mempunyai firasat buruk, tetapi tidak tahu seperti apa kejadian yang akan menerpa.

“ Magda, mengapa tak pernah bercerita mengenai pria pilihan orang tuamu itu. Seandainya kau menceritakan sebelumnya, aku tak menderita seperti ini. Aku tidak dapat menahan marah, karena aku terlalu mencintaimu.”
“ Bang, aku ingin menceritakan, tapi aku takut, abang marah dan akan meninggalkanku. Magda takut abang minum lagi. Zung, percayalah, aku masih sangat mencintaimu.” (Bersambung)

Los Angeles, February 2009

Tan Zung
http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/

Magdalena ( 46)


Nyanyian Ombak
http://www.youtube.com/watch?v=tLYSub2QNYc

Kau campakakan dan kau terlantarkan/kembang yang kupersembahkan / kepada mu sepenuh hati/ kau diamkan bahkan kau tinggalkan....


====================
Tetapi, sepertinya Magda ada menyembunyikan sesuatu. Barangkali Magda pernah cerita, ada hal lain yang membebani dirinya yang tak pernah diungkapkannya padaku.?”
“Iya, ada bang. Mestinya Magda harus beritahukan itu.!”
“ Apa? tentang apa ?” desak ku.
====================

"Ceritakanlah apa yang kamu tahu,” bujukku
“ Abang janji tidak marah, kalau Mawar cerita.?”
“ Nggak !” jawab ku tak sabaran.
Akhirnya Mawar menuturkan bahwa orangtua Magda menjodohkannya dengan Albert. " Albert dan kedua orangtuanya sekarang di rumah Magda. Menurut Magda, sebelumnya, Albert dan kedua orangtuanya sudah beberapa kali datang kerumahnya, tetapi Magda selalu menghindar dan bersembunyi kerumahku. Magda menolak keras, dia melawan papinya."

Hatiku mendidih mendengar ada nama pria lain akan disandingkan dengan Magda. Uhhhh..baru saja hati kami “bertunangan” kini serigala mengukir duka baru dalam jiwa, setelah aku membasuh hati yang terluka.
Hari-hari panjang telah kami lalui ditengah lolongan binatang malam di jalan terjal berliku. Akhirnya kami telah dimahkotai pemilik cinta nan tulus. Aku dan dia menyongsong senyuman mentari, menyinar bunga, menabur semerbak wangi.

Dalam lamunanku berlabur amarah, Mawar melanjutkan tuturannya,” Magda sudah menitipkan barang perhiasannya padaku. Minggu lalu kami telah menjahitkan pakaian kebaya persiapan pernikahan, juga gaun pengantin pada saat acara resepsi. Abang tingal memilih mana yang abang suka, kebaya atau gaun dalam pesta pernikahan.”

Tetapi, bagaimana kekasihku Magda menghadapi “kebiadaban” orangtuanya memilih pejantan tak memiliki hati.? Aku tidak membiarkannya melawan kebiadaban itu sendirian. Kenapa begitu cepat sinar mentari pagiku berlalu, bermuram durja tertutup awan gelap.?
Bermimpikah aku? tidak.!. Siapa dapat menghentikan langkahku mengejar sinar mentari pagi? Ataukah layar akan terkoyak dan penyangga akan patah diterjang ganasnya badai? Ataukah akhirnya aku hanya bercumbu dalam bayang.?

Diluar sadarku, tangan menghujam meja belajar, sangat keras, sekeras berita yang mendera. Pecahan piring yang ada diatas meja menyobek sisi telapak tangan dan pergelanganku. Aku membiarkan darah segar terus mengalir diatas meja, sebagai “ kurban” untuk sang kekasih, Magdalena.

Mawar kaget, berteriak histeris dan menangis. Segera dia mengikat pergelangan tanganku untuk menghentikan darah yang terus bercucuran. Amarahku tidak surut dengan tangisan ibanya, “ abang, tadi janji tidak marah, kok jadi begini!? Mawar menatap wajahku masih dalam amarah tak terbendung. Dia menggoyang-goyang wajah dan mengusap dadaku diiringi isak.

“ Bang, Magda tidak tahu apa-apa, dia sudah berjanji hanya mau menikah dengan abang, atau dia tidak akan menikah untuk selamanya.!”
Mulutku terkatup rapat menahan rasa marah membara. Cinta, hanya itu yang aku dan Magda miliki. Tetapi, mereka ingin merajam hingga kami mati terbujur dengan cucuran darah hingga akhir. Apa arti cinta, bila kebebasannya telah direngkuh tangan yang mengatas namakan pemilik otoritas tunggal, orangtua ? Biadab.!

Dan sebentar lagi cinta yang kami miliki itu, akan direngkuh bak algojo yang sebentar siap memenggal kepala sipemilik cinta, aku dan Magda. Apa artinya cinta yang seharusnya bebas dimiliki siapapun insan semesta alam, bila pada akhirnya diantar ke pintu kematian.?

Aku dirasuki setan waktu, berteriak dalam kepenatan jiwa; “wahai pemilik semesta dan penunggu waktu,inikah canang yang kudengar dari gua gelap yang telah ditabuh gemercing malam, hah..?
Mawar membujuk pergi ke rumahsakit; “lukanya cukup dalam bang, darahnya terus mengalir,” ujar Mawar sambil melap peluh mengucur di wajahku.
Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku diiringi rintihan, pahit, “ Aku telah engkau siksa wahai penunggu waktu, engkau menghujam lembing berlumur racun.”
“ Abang ! Abang, sudahlah, teriakanmu sudah terdengar kemana-mana, kuatlah.”
“ Iya, Mawar. Hanya orang kuat dan tangkas yang akan memenangkan perlombaan ini, aku akan buktikan itu.”

“ Bang, sebentar aku telephon Magda.”
“ Jangan! Biarkan dia bercengkerama dengan pria pilihan orangtuanya.”
“ Abang, hentikan ocehan mu. Magda tidak tahu menahu dengan pria itu.”
Darah terus bercucuran, aku sangat lemah. Mawar memapahku keatas beca menuju rumahsakit. Aku merasakan tangan-tangan gesit mempersiapkan perangkat medis. Aku sempat mendengar pertanyaan salah seorang paramedis, sebelum aku tak sadarkan diri, “ temanmu mau bunuh diri?”
“ Bukan, dia kecelakaan,” jawab Mawar. ( Bersambung)

Los Aneles, February 2009

Tan Zung
http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/

Magdalena ( 45)

When I need you

================
“Magda jendela dan pintu kamar masih terbuka,” bisikku kekupingnya.
“ Biarin...supaya dunia tahu,” katanya tak mau melepaskan pelukannya. ” I love you, please say you love me too. These three words, they could change our lives forever, and I promise you that we will always be together
==================
Bang, minggu lalu aku sudah bicara pada tante pudan( bungsu, pen) dia setuju kalau kita menikah dulu. Abang nanti meneruskan kuliahnya seperti teman kita Salomo.!”
“ Salomo? Tapi isterinya kan pramugari!”
“ Magda mau kerja?”
“ Iya, om sudah janji mempekerjakanku di diperusahaannya.”
“ Perkuliahanmu bagaimana.?”
“ Aku selesaikan setelah abang tamat.”
“ Kita kekampung atau ke Bandung,?”
“ Terserah abang lah!”
“ Dikampung kau kerja apa. Atau mau mengajar di es-em-a. Tapi nggak usalah, banyak bandit disana, habislah kau tiap hari digodain oleh mereka. Kita ke Bandung sajalah!”

Magda semakin yakin ketika aku katakan; “ minggu depan aku ke dosen pembimbing, bermohon mejahijaunya ditunda, karena aku mau nikah.”
“ Aku ikut bang, biar ibu dosennya percaya.”
“ Magda, aku hampir lupa, hari Minggu lusa, aku mengikuti kejuaraan antar cabang, kali terakhir.”

“ Abang tidak terlalu capek?”
“ Iya, aku sudah terlalu capek tetapi kali terakhir aku bertanding sebelum kita menikah. Aku akan mempersembahkan piala kemenangan untukmu, seperti tahun lalu. Ajak Mawar nanti bersamamu.” Menjelang malam, Magda pulang dengan hati berbunga-bunga membawa sejuta harapan.
***
Tidak lama berselang, Mawar datang ketempat kosku mencari Magda. “Maminya tahu kalau Magda tadi ada disini, aku diminta menyuruh Magda pulang,” ujar Mawar.”
“ Magda baru saja pulang, aku tak tahu dia pulang kerumahmu atau kerumahnya.”
“ Bagaimana tahu kalau Magda ada disini.?”
“ Nggak ngerti bang, tetapi maminya sudah tahu, bahwa Magda sering berkunjung ke tempat ini. Aku juga bilang pada maminya, kalau aku juga sering berkunjung ke tempat ini.

Kedua orangtuanya tak pernah berpikiran negatif pergaulan kita kok. Aku sering ditanyain maminya tentang hubungan abang dengan Magda. Aku cerita seadanya.”
“Jadi kau ceritakan juga kalau hubungan kami sudah serius.?”
“ Iya, aku sudah ceritakan.”
“ Lalu apa kata maminya.?”
“ Maminya diam saja, ngga bilang apa-apa. Kok abang nanyain Mawar kayak polisi saja.?” katanya ketawa.
"Bagaimana pendapat Mawar, “ kedua orantuanya tidak setuju hubungan kami, menurut mu apa yang aku harus lakukan, memutuskan hubungan dengan Magda atau meneruskannya.”

“ Abang juga, kayak orang sinting. Hubungan sudah begitu lama kok main putus saja. Aku nggak setuju. Jangan cakapin aku seumur hidup kalau abang putusin dia. Yang menikah itu abang dengan Magda, bukan dengan mami-papinya. Biar orang tuanya jodoh-jodohin, keputusan tetap ditangan Magda, dia bukan anak kecil lagi,” tegasnya.
Aku tersenyum kecut mendengar hentakan Mawar, “ kok Mawar galak benar.?”
“ Iyalah, abang main putus saja. Aku serius, kalau abang putusin gara-gara orangtuanya, aku tak mau ketemu abang seumur hidup, serius bang.!” tegasnya lagi.

"Mawar, aku melihat Magda mempunyai beban berat. Dia juga sudah cerita kalau papinya tidak setuju hubungan kami. Tetapi, sepertinya Magda ada menyembunyikan sesuatu. Barangkali Magda pernah cerita, ada hal lain yang membebani dirinya yang tak pernah diungkapkannya padaku.?”
“Iya, ada bang. Mestinya Magda harus beritahukan itu.!”
“ Apa? tentang apa ?” desak ku. (Bersambung)

Los Angeles, February 2009
H.Tan Zung

Magdalena ( 44)

Have You Ever Been In Love
http://www.youtube.com/watch?v=3QoLoSQT1qY

Have you ever been in loveYou could touch the moonlight/When your heart is shooting starsYou're holding heaven in your arms/Have you ever been in love?Have you ever walked on air, ever/Felt like you were dreamin'When you never thought it could/But it really feels that goodHave you ever been in love?....

==================
Aku ikut meratap derita yang kini sedang menderanya. Aku tak tahu derita macam apa lagi yang akan melindas aku dan Magda. Pemilik waktu menghantarkannya begitu tiba-tiba.
=================

AKU terus berusaha mencairkan suasana sembari menikmati makanan; “ Magda, bagaimana mau nikah, kita hanya punya satu sendok teh, gelas dan piring pun cuma satu.”
Magda tak merespons ucapan bernada guyon. Dicedoknya nasi dan lauk dalam tangannya, “ Nih...bang,” ujarnya dingin sambil menyuapkan kemulutku.” Aku membuka mulutku, tetapi tak merasakan getarannya. Sepertinya Magda sedang menyuap bayi raksasa yang sedang resah.

“ Magda, tak lama lagi kita akan disaksikan orang banyak, aku dan kau saling bersuapan, “ godaku.
“ Bang, aku sudah menitipkan barang- perhiasanku kepada Mawar.”
“ Menitip perhiasan, untuk apa.?”
“ Untuk persiapan pernikahan kita,”
Hah, persiapan pernikahan? Magda bersabarlah, kita menunggu hanya beberapa bulan lagi. Aku tadi sudah janji, setelah meja hijau aku akan menikahimu. Kita tak perlu menunggu wisuda. ! "

“ Antar aku kekampung. Disana aku menunggu hingga abang menyelesaikan kuliahmu.!”
“ Kekampung siapa?”
“ Kekampung abang!”
“ Bagaimana aku bisa menyelesaikan sekolah, papimu akan mengejar dan menggorok leherku, kau gila Magda.!”
“Abang, aku tidak gila. Aku serius. Kalau nggak mau kekampung, kita ke Bandung kerumah tanteku.!”
“ Sama saja, mengantar kepala dipentung sama om, suami tantemu.”
“Tidak, aku sudah bicara pada tante masalah kita.”
“ Masalah kita? Kita tidak punya masalah, hanya terbentur soal waktu.!”

Tanpa disadarinya, beban yang terbungkus dalam benaknya sedikit terkuak. Konyolnya, pikiranku mengarah pada pertanyaan, kenapa dia mendesakku menikahinya dan mengorbankan sekolah yang hampir berakhir.?
Entah kenapa pula pikiran ku mundur mengurut runtutan kisahkasih terakhir, ingat rumor “Magda hamil” lalu aku menjadi tumbal, serendah itukah dia?.

Ketololanku semakin sempurna ketika aku menghujam pertanyaan,” Magda, kamu hamil?” Sontak, Magda berdiri, wajahnya merah dan menatapku tajam. Mulutnya gemetar menahan tangis. Kedua tangannya gemetar memegang wajahku, suaranya lirih, “Pelacurkah aku ini bang?" Magda mendadak pingsan.
Segera kutahan tubuh Magda yang jatuh lunglai. Aku memaki - maki diri ku sendiri. Aku angkat tubuhnya, ku rebahkan ditempat tidur. Aku tak kuasa menahan tangis, kupanggil namanya berulang.

Aku panik luar biasa, tak tahu berbuat apa. Magda terkapar ditempat tidur karena ketololanku. Aku mau telephon Mawar, tapi segera mengurungkan niatku. Mawar pasti marah dan memakiku habis-habisan. Magda masih belum siuman, segera aku melompat dari tempat tidur, membuka jendela dan pintu lebar-lebar. Aku membasahi kemeja yang baru saja kucomot dari lemari, ku usapkan kewajahnya.

Tubuhnya mulai bergerak, lemah. “ Magda maafkan abang, aku tak berniat melukai mu,” kataku sesak penuh penyesalan. “ I love you, please say if you love me too. Please say you love me too, till the end of time.”

“ Magda, aku akan menikahimu, aku sumpah.!” Magda masih terbujur lemah dalam pembaringan, diam. Aku membekapkan batal kemulutku, aku histeris memanggil namanya, dia masih diam membisu. ( ini kali kedua aku menangis menjerit setelah adikku perempuan meninggal pada usia enambelas tahun)

Kubasahi bibirnya dengan beberapa sendok air, kedua matanya mulai bergerak. Aku sedikit merasa lega, kucium pipinya,” Magda, maafkan aku .” Magda menggelengkan kepala, airmatanya mulai bercucuran. Aku menahan tubuhnya ketika dia mau bangkit dari tempat tidur, “ Magda, istrahat dulu sebentar, badanmu masih lemah. Maafkan aku, aku tak sengaja melukai mu.”

Magda siuman dan terisak; “ Aku mau pulang.”
Aku mencium pipinya, “ ini rumah kita Magda. Segera kita kekampung atau ke Bandung dan kita menikah,”ujarku lantas, membiarkannya bangkit dari pembaringannya. Tampak semangatnya pulih kembali. Dia menatapku seakan tak percaya.
” Abang serius.?”
Aku peluk dia erat sekali, “Iya..aku serius.!”

Dia membalikkan tubuhnya kearahku sambil memukul-mukul dadaku kegirangan. Ditempat tidur, Magda melompat kepangkuanku dan melingkarkan tangannya keleherku, dia menciumi sepuasnya. Dia mendorong tubuhku kebelakang hingga tergeletak diatas tempat tidur. Airmatanya kembali mengucur, airmata kebahagiaan.

“Magda jendela dan pintu kamar masih terbuka,” bisikku kekupingnya.
“ Biarin...supaya dunia tahu,” katanya tak mau melepaskan pelukannya. ” I love you, please say you love me too. These three words, they could change our lives forever, and I promise you that we will always be together (Bersambung)

Los Angeles, February 2009

Tan Zung

Magdalena (43)


Cinta Di Ujung Jalan

===================
Apakah selama hampir dua minggu itu dia juga menghamburkan airmatanya. Kalau iya, kenapa.?” Ah...pikranku semakin berkecamuk, liar.Aku mencium keningnya pamit mau ke warung membeli makan siang
==================
SEEKOR burung putih terkulai lemah disatu ranting pohon tua dipinggiran sungai. Tampak dia begitu lelah terbang menerjang badai. Wajahnya meringkuk dalam sayap, tubuhnya gemetar. Kedua sayap tak dapat menghangatkan tubuhnya yang menggigil kedinginan. Ia jatuh diatas tunas ilalang dan rerumputan berduri ditepian. Sisa tenaga yang dimilikinya mengepak sayap dibantu sepasang kaki menggapai tepian sungai, mengharap seteguk air.

Nafasnya terengah mengepak sayapnya yang patah. Ia lelah, meyerah pasrah. Dari sudut kelopak matanya yang hampir tertutup menatap gulungan air menerjang batu berlumut dipinggir sungai. Terpaan percikan air memantulkan bola -bola air didalamnya ada pelangi.

Sepasang tangan mengangkat tubuhnya yang mengigil kedinginan dan menghangatkannya dalam dekapan. Kelopak matanya terbuka setelah butir-butir air hangat membasahi wajahnya. Kini nafasnya bergelora. Dari kerongkongan kering kerontang berujar lirih; “ Bawalah aku terbang keseberang sana. Sayapku patah, tak cukup kuat terbang melintasinya.”

Dikepalanya yang terkulai ada suara lirih, “ Kasihku, sayapku belum cukup kuat menyeberangkanmu melintas diatas sungai yang mengalir deras dan ganas. Bersabarlah menunggu waktu.”
***
Ketika aku kembali membeli makanan, Magda terlelap dalam tidur, kepalanya terbujur diatas meja belajar tanpa batal. Aku ambilkan bantal menopang kepalanya. Magda terbangun, namun tak menyahut, ketika kuajak makan. Aku mengguncang tubuhnya; “Magda abang sudah beli makanan, bangunlah. Setelah makan, kita akan bicarakan rencana pernikahan kita. Magda aku janji, aku akan melanjutkan skripsiku, tetapi kamu juga.

Setelah selesai meja hijau, kita langsung menikah, tidak usah menunggu wisuda, mau ....?’ Magda menarik nafas dan hanya melihatku dengan sudut matanya, dia tersenyum. Aku melihat dibalik senyumnya masih menyimpan beban. Lidahnya kelu dalam mulut dan hati yang terbungkam. Aku tak tahan mendengar gaung dari kedalaman jiwa yang terluka. Aku juga melihat bayangan mega mendung melintas dibalik kelopak matanya dan bercerita tentang sebuah tragedi.

Maga, bangunlah. “Aku tahu kamu lapar,” ujarku pelan sambil mengangkat bahunya. Magda sangat lemah. Magda bangkit dan menelungkupkan kepalanya keatas dadaku. Dia palingkan mukanya mendekat ke kuping ku: “ Abang masih sayang padaku.?”
“Iya...tetapi kenapa Magda bertanya seperti itu.?”
“ Nikahi aku.......!”
“Oh..iya pasti kita akan menikah. Tadi sudah ku katakan kita akan menikah setelah meja hijau” bisikku ke telinganya sambil memeluknya erat sekali.
“ Tidak bang, secepatnya!”
“ Secepatnya, kapan.?”
“ Iya..menikah secepatnya, atau ........” suaranya hampir tak kedengaran.
“ Atau apa...atau bagaimana, atau mu itu apa....ayo teruskan, “ bujukku sambil menggoyang-goyangkan kepalanya.

“ Aku tidak akan menikah untuk selamanya.”
Aku terhenyak ( Magda:” I’m still holding on and you’re still the one. The first time our eyes met it’s the same feelin’ I get.”)
Kepalaku terkulai disisi wajahnya, “ Tapi bagaimana dengan sekolah kita?” suaraku melemah. Magda tidak menjawab pertanyaanku.
“ Abang aku lapar,” ujarnya.

Magda bangkit dari tempat duduknya mempersiapkan makanan yang baru saja kubeli. Aku mencoba membangkitkan semangatnya yang hampir sirna; bicara tentang skripsi; tentang ibu dosen pembimbingku yang cerewet dan tentang sahabat kami Mawar yang begitu baik.

Magda tidak sedikitpun menanggapi omonganku. Aku kehabisan akal. Aku tak dapat menaklukan hening mendengar gemuruh ombak yang siap menggulung. Aku ikut meratap derita yang kini sedang menderanya. Aku tak tahu derita macam apa lagi yang akan melindas aku dan Magda. Pemilik waktu menghantarkannya begitu tiba-tiba. ( Bersambung)

Los Angeles, February 2009

Tan Zung