Sunday, March 15, 2009

Dosenku "Pacarku" (86)

"From This Moment On"
From this moment life has begun/From this moment you are the one Right beside you is where I belong/From this moment on

From this moment I have been blessed/I live only for your happiness And for your love Id give my last breath/From this moment on

I give my hand to you with all my heart/Cant wait to live my life with you, cant wait to start /You and I will never be apart/My dreams came true because of you

From this moment as long as I live/I will love you, I promise you this /There is nothing I wouldnt give/From this moment on

Youre the reason I believe in love/And youre the answer to my prayers from up above
All we need is just the two of us/My dreams came true because of you

From this moment as long as I live/I will love you, I promise you this
From this moment/I will love you as long as I live/From this moment on
===============
Magda malah mengenyekku, " Zung, kasihan... telefon aku bila abang rindu," ujarnya sambil memegang tanganku.
" Aku tak butuh suaramu, aku ingin melihat wajahmu."
" Boleh bang, bawa saja foto copynya," balasnya bergurau.
==============
" Maaf bang, bagaimana urusan mu dengan ibu Susan? Abang serius tidak mau berhubungan lagi dengan dia?"
" Iya. ayah dan ibuku sangat marah gara-gara hubungan ku dengan Susan."
" Bagaimana mama tua tahu kamu pacaran dengan Susan?" tanya Magda.
" Ada teman sekampung tinggal dengan omnya di kampus, memberi tahukan kepada Sinta. Sinta menceritakan kepada ibu."

" Oh..Maya yang rambutnya panjang?" sahutnya.
" Bagaimana kamu kenal dengan dia?" tanyaku penasaran
"Aku dan Sinta beberapa kali ke rumahnya sebelum pernikahan. Dia pendamping Sinta bukan,?" tanyanya meyakinkan.
" Iya dialah orangnya," jawabku

Ah..Medan kecil sekali. Kakiku terpelintir di Sungai, ibu Ginting ketemu Magda di pasar dan tak sadar membocorkan kepergianku dengan Susan. Bicara tentang Maya, secara kebetulan Magda mengenalnya lewat Sinta. Magda menanyakan ulang keputusanku tentang hubungan Susan. Aku jelaskan aku akan kesana setelah wisuda.
" Mau Magda menemaniku kesana?"
" Maksud abang aku ikut mutusin pacarmu? Nggak lah.! Kalau cuma sekedar jalan, aku dan Mawar mau," jawabnya, disambut ketawa Mawar.
***
Waktu yang ditunggu tiba untuk mempertanggungjawabkan skripsi dihadapan dewan penguji. Dari sejumlah mahasiswa dengan jurusan yang sama, kelihatan yang paling siap adalah Magda. Tak sedikipun beban tampak di wajahnya, selalu ceria jalan kian kemari menyapa teman- teman mahasiswa lainnya, sementara aku dan Mawar duduk dipojok ruangan seperti orang kedinginan.

Sebelum memasuki ruangan sidang, Susan menemui ku, "Kapan kamu kembali dari kampung," tanyanya.
" Aku cuma seminggu dikampung, karena aku, Mawar dan Magda membahas ulang beberapa bab skripsi dalam menghadapi sidang nanti."
Mawar mencubit lenganku, sementara Magda berjalan cepat menemuiku setelah Susan meninggalkan aku dan Mawar.
" Ngapain ibu itu?" tanyanya berbisik.
"Dia bilang, kangen berat padaku, " ucapku ketawa sekaligus mengusir ketegangan. Magda tak puas dengan jawabanku, dia bertanya lagi kepada Mawar.
" Mawar, ibu itu bilang apa?"
Mawar cekikan melihat ke ingintahuan Magda. " Ibu Susan menanyakan kapan kembali dari kampung. Rupanya abang kita ini belum melapor sama ibu itu." jawab Mawar.

"Eeehh... abang, tega benar. Pada hal ibu Susan rindunya setengah mati," Magda ngenyek.
" Magda hentikan dulu ocehanmu sebentar lagi giliranku," pintaku. Magda menjauh setelah dilihatnya aku merasa terganggu. " Bang tenang saja, jangan panik," balasnya meninggalkanku.

Mawar mendahului aku dan Mawar maju ke sidang. Aku hentak lengannya memberi semangat. Magda duduk dekatku menggantikan Mawar. Magda diam malah perasaanku semakin tegang. Aku awali pembicaraan ringan seakan aku tak punya beban lagi menghadapi sidang.

" Magda, tadi ibu Susan ngajak aku, Magda dan Mawar makan malam dirumahnya," ujarku bergurau.
Magda menyahutiku dengan berguyon juga. " Aku akan mengundang ibu itu dan abang kerumah makan malam, " ujarnya tak serius.

Sementara aku asyik bicara- menghilangkan rasa tegang- dengan Magda, Mawar keluar dari ruangan sidang dengan wajah ceria. Mawar berlari menuju kami dan merangkul Magda kemudian merangkulku. " Aku lulus dengan nilai sangat memuaskan bang!" ujarnya berurai air mata bahagia.

Giliran Magda masuk ke ruangan sidang. Aku hantarkan dia hingga ke pintu ruangan sidang seraya memberi semangat. Magda menepis tanganku ketika mau mencium tangannya. " Zung, banyak orang tuh.."
Aku berpura-pura kaget dan terdiam sesaat. Kemudian Magda berucap," Nanti saja bang..!"
Rupanya Mawar memperhatikan "aksi"ku dengan Magda kemudian Mawar mengurku ketika kembali ke kursi, " Nafsu amat sih bang.!
" Ah..nggak juga, Aku hanya memberi semangat." Mawar hanya tertawa, kemudian memberiku masukan menghadapi dosen penguji.
" Abang tenang saja, nggak usah gugup menjawab pertanyaan mereka, apalagi mengahadapi bapak "S" itu, soknya bukan main. Pertanyaannya aneh-aneh, nggak ada hubungannya dengan mata kuliah dia. Ibu Susan mantap bang, pertanyaannya sangat enteng," terang Mawar. ( Bersambung)

Los Angeles. March 2009
Tan Zung
http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/

Dosenku "Pacarku" (85)

Forever And For Always
In your arms I can still feel the way you/want me when you hold me/I can still hear the words you whispered/when you told me/I can stay right here forever in your arms

And there ain't no way—/I'm lettin' you go now/And there ain't no way— /and there ain't not how/I'll never see that day....
[Chorus:]
'Cause I'm keeping you/forever and for always/We will be together all of our day Wanna wake up every/morning to your sweet face—always

Mmmm, baby/In your heart—I can still hear /a beat for every time you kiss me And when we're apart,/I know how much you miss me/I can feel your love for me in your heart

And there ain't no way—/I'm lettin' you go now/And there ain't now way—
and there ain't no how/I'll never see that day....
[Repeat Chorus]
(I wanna wake up every morning) In your eyes—(I can still see/the look of the one) I can still
see/the look of the one who really loves me (I can still feel the way that you want)/The one who wouldn't put anything else in the world above me (I can still see love for me) I
can still see love for me in your eyes (I still see the love)
................
[Repeat Chorus (2x)]
I'm keeping you forever and for always/I'm in your arms
==================
" Abang sok mau memangku orang, buku sajapun tak dapat abang pangku," ujarnya sambil membantuku mengangkat buku yang bercereran, Magda terus mengoceh sambil berjalan ke teras.
=================
MAWAR bergabung dengan kami, sementara Magda masih uring-uringan. Mawar sudah tahu tipe Magda. Melihat wajah Magda, Mawar main mata kepadaku. Mawar menanyakan ketika Magda masuk kerumah. " Kenapa Magda? abang lagi ribut dengan Magda iya? "

" Ya! Dia dimarahin sama maminya, karena Magda benta-bentak aku,?" ujarku sedikit keras agar Magda mendengar.
" Nggak! Nggak ada aku bentak-bentak. Abang pembohong ," teriak Magda dari dalam rumah. Mawar hanya tertawa melihat "adegan" ku dan Magda. Aku berteriak memanggil Magda. "Magda kesini, bab mana yang perlu abang bantu?" ujarku menambah rasa kesalnya. Magda segera keluar dari dalam rumah menemuiku di teras. " Abang mau ngajarin Magda? " tanyanya kesal.

Mawar segera nimbrung setelah melihat "pertikaian" ku dengan Magda mulai memanas. " Ayolah, skripsi siapa dulu yang dibahas." tanya Mawar
" Magda duluan, biarkan aku dulu mengujinya," sambungku.
Magda segera mendekatiku, tanganya mengusap rambutku, pelan, " huh...abang tangkang, jogal ( nakal, keras kepala, pen)," ucapnya gemas.
Susana cair setelah kepalaku jadi"korban" Magda tetap memimpin setiap pembahasan, memang dia paling cerdas diantara kelompok belajar kami. Semua kami merasa senang bila giliran dia menjadi "leader", tak pernah sok tahu atau ngotot dan mau minta maaf bila ada kekeliruan.

Setelah diskusi kami berakhir, Magda mengahantarkan aku pulang ke rumah kosku. Sebelum meninggalkanku, Magda menganjurkan supaya aku terus mengulang apa yang kami bahas menambah dengan catatan sebelumnya.
" Magda, aku lupa bawa tongkatku. Boleh kau antar besok.?"
" Aku sudah buang bang, serius ! Abang sudah bisa jalan seperti biasa kok, jangan cengeng!" ujarnya
***
Beberapa kali malam minggu, aku dan Maya lalui tanpa pernah bertemu, meski aku telah berusaha menghubungi melalui kakaknya Lisa, sementara aku benar-benar mempersiapkan diri menghadapi sidang meja hijau. Malam terakhir diskusi seminggu menjelang sidang, Magda mengajakku dan Mawar ke restaurant tempat kami selalu rendezvous, dulu. Magda tampak tanpa beban menghadapi sidang demikian juga dengan Mawar.

Selama diskusi beberapa kali, Magda memperhatikanku, menurutnya, kecerianku tidak seperti sebelumnya, pada hal aku berusaha agar sikapku tetap seperti semula.
" Zung, abang hilangkan dulu yang menggangu pikiranmu. Aku tak tahu apa yang ada dalam benakmu, tetapi aku melihat ada sesuatu yang menggangu," ucap Magda sebelum pesanan kami datang. Mawar tertawa mendengar "ramalan" Magda.
" Sejak kapan Magda jadi juru ramal ? Tapi memang kok, lanjutnya, aku juga melihat abang kurang semangat setelah kembali dari kampung, kenapa? tanya Mawar.

" Nggak ada masalah, selama ini kurang tidur mempersiapkan diri menghadapi sidang," ujarku menutupi kebohongan. Magda tidak puas dengan jawabanku, demikian juga dengan Mawar.
" Abang mulai merasa jauh dengan kami iya?" tanya Magda.
" Sampai ujung usia, manalah aku lupa dengan persahabatanku denganmu dan Mawar!"
***
Magda mengalihkan pembicaraan kami, mengenai rencana setelah wisuda. " Kemungkinan aku bekerja di kantor Gubernur setelah aku lulus. Staf biro personalia yang menggantikan papi telah berjanji kepada mami, " ujar Magda. Mawar juga sudah hampir pasti di kantor ayahnya, Komdak Sumut, sementara aku akan mencari pekerjaan ke Jakarta.

" Akhirnya, kita berpisah jauh, tak terasa perasahabatan kita sejak es-em -a, akan berakhir setelah delapan tahun berjalan. Kenapa harus ke Jakarta bang ? Kalau abang mau kerja di sini, aku dan mami akan tanyakan nanti ke biro personalia," ucap Magda serius.

" Aku akan diskusikan dulu dengan orang tuaku. Abang yang mengajakku ke Jakarta, ayah dan ibu menyetujuinya," jawabku. Dalam pembicaraan di restauran, kami sepertinya diliputi perasaan bersedih, karena perpisahan sudah mendekat.
" Aku mungkin yang paling tersiksa, bila aku jadi berangkat ke Jakarta. Aku tidak akan ketemu denganmu lagi, berantuk setiap ketemu dan tertawa," ujarku.

Magda malah mengenyekku, " Zung, kasihan... telefon aku bila abang rindu," ujarnya sambil memegang tanganku.
" Aku tak butuh suaramu, aku ingin melihat wajahmu."
" Boleh bang, bawa saja foto copynya," balasnya bergurau. (Bersambung)

Los Angeles. March 2009
Tan Zung

http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/

Dosenku "Pacarku" (84)

=====================
" Maaf aku terlalu merasa. Maya sakit apa? Ketika aku tinggalkan malam itu, dia sehat, akupun tidak melihat ada gejala sakit. Kak, katakan saja sesungguhnya apa yang terjadi dengan Maya?"
======================
" Ketika Tan Zung pulang, tante ribut dengan om John. Tante nggak setuju kalau om John mencampuri urusanku dan Maya perihal berteman dengan lelaki manapun, kecuali yang sudah bersuami. Om John ngotot, silahkan Maya berteman dengan lelaki manapun asal bukan dengan Tan Zung."

" Apa dasar keberatan om John jika aku berteman dengan Maya ?" tanyaku.
" Aku juga nggak tahu pasti, tetapi kemungkinan, karena dia tahu kamu berhubungan dengan Susan."
" Baiklah ! menurut kakak aku harus bagaimana.?"
" Aku mendukung hubungan kalian, nggak usah terlalu dipikirkan sikap om John. Mungkin setelah Tan Zung selesai sidang dan dia tahu kalau kamu tidak lagi berhubungan Susan, om pasti berubah."
" Jadi maksud kakak, aku dan Maya selama sebulan ini "puasa" dulu?"
" Kan nggak lama itu, " ujar Lisa sambil mengajakku pulang.
***
Magda heran melihatku ketika tiba dirumahnya. " Abang bilang mau tinggal di kampung dua minggu, kok baru seminggu sudah kembali, abang rindu kepada Susan.?"
" Iya aku rindu kepada kalian bertiga."
" Kok bertiga,?" tanya Magda serius
" Magda, Susan dan tongkatku." Magda tak dapat menahan ketawanya.
" Aku sudah bakar tongkat abang," ujarnya masih ketawa.
" Iya aku tahu itu, aku mencium baunya hingga kekampung. Paling tidak, sekarang, aku mau melihat abunya."
***
Seperti biasanya, maminya Magda menyambutku hangat. Aku bercerita tentang pernikahan Sinta, sebelumnya aku menyampaikan salam dari kedua orang tuaku. Magda bersemangat menanyakan pesta pernikahan Sinta.
" Abang dapat sahabat baru disana?" tanya Magda. Maminya segera meninggalkan kami setelah mendengar pertanyaan Magda dan berujar, " eehee.. tahe borukhon( oalah...putriku ini, pen)"

" Iya aku ketemu, tetapi dia sekarang sedang di pasung," ujarku.
" Zung serius?"
" Serius lah, tak kau lihat abang lemas tak bergairah?"
" Oalah.. nasibmu bang. Ada perempuan bebas, abang memasungkan diri. Sekarang abang sudah bebas, sahabatmu yang terpasung, kasihan!" ucapnya berpura-pura sedih.

" Magda, jangan kamu tambahkan penderitaanku. Telephon lah Mawar biar kita mulai diskusi."
" Diskusi tentang perempuan yang terpasung?" tanyanya ngenyek.
" Magda bilang mau belajar, mengulang, kok sekarang bicaramu ngelantur.?"
" Iya, mana buku abang, pena juga nggak punya!?"
" Kan kau punya. Apa bedanya bukuku dengan bukumu," sahutku
" Nggak! Abang pulang ambil buku, catatan dan skripsimu," balasnya lagi dengan setengah teriak.

Mami Magda menemui kami ke ruangan tamu sambil geleng- geleng kepala. " Kapan kalian bisa akur. Setiap ketemu pasti ribut."
" Si abang buat gara-gara. Mau belajar tapi nggak bawa apa-apa, enak saja si aban," katanya kesal.
"Apa bedanya dengan bukumu, namanya belajar bersama itu harus akuran." ujar maminya.

Magda pergi melengos mendengar pembelaan maminya kepadaku. Magda menelephon Mawar supaya bergabung dengan kami.

" Mawar datang kesini, bapak Tan Zung sudah datang. Bawa bukumu." ucapnya ditelefon. Aku geli mendengar Magda berucap " bapak Tan Zung "
" Bagaimana bu, sudah boleh kita mulai,?" tanyaku.
" Si Susan ibumu bukan aku," balasnya masih merasa kesal meninggalkan aku diruang tamu.
Magda keluar dengan membawa sejumlah buku. Tampak dia keberatan menahan beban dalam pangkuannya. Aku menyusul ingin menolongnya tetapi dia tidak mau melepaskan satu bukupun aku pegang.
" Berikan padaku sebagian, atau aku pangku kau berikut buku-bukunya ke teras, mau?" ancamku.

" Huh...nih, abang," ujarnya seraya menyerahkan semua yang ada ditangannya.Sayang, tanganku tak mampu memegang semua buku itu. Magda mengomel ketika buku-buku itu bertaburan di lantai. " Abang sok mau memangku orang, buku sajapun tak dapat abang pangku," ujarnya sambil membantuku mengangkat buku yang bercereran, Magda terus mengoceh sambil berjalan ke teras. (Bersambung)

Los Angeles, March 2009

Tan Zung

http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/