Thursday, March 12, 2009

Dosenku "Pacarku" (81)

==============
Bila iya, aku akan mengakhiri petualangan cinta setelah kandas dengan Magda. Mawar bagiku masih sebuah "misteri", dingin dan kabur.
=============
Malam itu, kedua orang tua Maya menyambutku hangat, mereka membiarkan aku dan Maya di ruang tamu. Pembicaraan kami mulai masuk ke wilayah asmara. Di selah percakapan, aku kembali mengajukan beberapa pertanyaan secara langsung perihal hubungannya dengan lelaki. Aku tak mau terjebak, kelak, menjadi labuhan cinta perlariannya.

Maya mengaku jujur, bahwa dia belum pernah menjalin hubungan serius dengan seorang lelaki, aku sangat mempercayai pengakuannya. Maya juga mengajukan sejumlah pertanyaan perihal hubunganku dengan Magda dan Susan. Aku mengaku jujur perihal hubungan ku dengan Magda selama lima tahun kemudian berakhir. Dengan Susan ? Aku tak mau lagi tersandung yang kedua kali dengan pengakuan jujur seperti kepada Magda. Cukupku jelaskan bahwa aku pernah jatuh cinta dengan Susan beberapa saat.

Tak ada perubahan ekspresi wajahnya ketika aku menjelaskan perihal hubunganku dengan Magda dan Susan. Dinginnya malam mengakhiri pembicaraanku dengan Maya. Maya tak keberatan ketika aku memberi kecupan di keningnya. Maya mencubit lenganku sembari meletakkan wajahnya diatas dadaku, seakan ingin mendengar degup irama ketulusan, entahlah kalau masih ada yang tersisa.
***
Esok paginya, Maya datang menjemputku ke gereja, sementara aku masih terbaring lemah karena pulang terlalu larut malam. Ibu memberitahu kalau Maya telah menungguku diruang tamu. Ibu menyentil ketika aku menolak ikut ke gereja, " rupanya kalau sudah mau sarjana tak perlu lagi ke gereja iya.?"

Ibu membiarkan Maya menemuiku ke kamar. " Kalau abang nggak ke gereja, Maya juga nggak ke gereja!" ancamnya.
" Kegereja kok tergantung dengan aku.?"
" Bang.. Aku ngga ada teman!" jawabnya
" Ke surga juga sendiri-sendiri. Baiklah, lanjutku, aku mau ke gereja tapi aku bebas memilih pakaianku."

Maya tersenyum mendengar persyaratanku, ingat kejadian kemarin ketika menghadiri ibadah pernikahan Sinta. Namun, Ibu keberatan setelah melihat pakaian yang aku kenakan. " Makin lama makin nggak karuan kau amang ( nak, pen) Kok nggak bisa lagi kau bedakan pakaian ke gereja dan ke kedai tuak ," keluh ibu nelangsa. Maya langsung menarik lenganku ke pintu kamar, "Zung, sudahlah, dengar apa kata namboru. Namboru juga senang kalau abang dilihatnya rapi."
" Ke surga juga nanti telanjang," gura ku pelan,takut kedengaran ibu.
" Kita belum mau ke surga bang," balasnya.
***
Setelah pulang dari gereja, aku dan Maya ingin pergi menjauh dari kampung tempat kami tinggal. Aku rindu kebun, tempatku dulu dan rekan seusiaku "menjarah" durian, manggis dan rambutan usai pulang sekolah. Aku ingin bersama Maya menikmati suasana alam, jauh dari keriuhan yang sangat membosankan. Aku mengajak Maya. " Mau menemaniku ke kebun? " tanyaku.
" Mau, tetapi kita makan dulu," jawabnya.

" Mau makan di kedai tuak.? tanyaku bergurau. Maklum di kampung tidak ada restaurant atau rendezvous, "persembunyian" pengurai cinta. Maya mengajak makan dirumahnya. " Mama, masak arsik untuk abang," ujarnya tersenyum.

" Heh...Maya dapat bocoran darimana bahwa aku "arsik maniak ? Dari Sinta iya? Jawab dulu sebelum kita kerumah mu," desak ku.
" Aku tahu dari ompung. Kemarin aku disuruhnya masak arsik untuk abang, tapi aku nggak bisa. Aku suruh mama memasak."
" Jadi, kamu bilang arsik itu untukku?"
" Iya, kenapa rupanya! ?"
" Aku nggak enak sama mama kamu. Ini urusannya jadi serius, " ujarku.
" Nggak jugalah. Hanya makan siang kok. Ayolah biar kita ke kebun."

Ajakan makan siang yang tak dapat dihindari, meski hatiku tidak merasa plong. Aku merasa lega setelah mama Maya meninggalkan kami makan berdua. Bayangan wajah Magda dan Susan masih muncul dalam pikiranku. Tanpa aku sadari tangan menopang dagu di meja makan, menatap hampa ke depan. Maya mengagetkanku ketika dia kembali dari dapur sambil membawa minuman. "Bang, mikirin apa ?" tanya Maya (Bersambung)

Los Angeles, March 2009

1 comment: