Thursday, March 12, 2009

Dosenku "Pacarku" (82)

===============
Tanpa aku sadari tangan menopang dagu di meja makan, menatap hampa ke depan. Maya mengagetkanku ketika dia kembali dari dapur sambil membawa minuman. "Bang, mikirin apa ?" tanya Maya
===============
SETELAH makan siang dengan Maya, kami berangkat ke kebun. Anganku, kisah percintaan kami akan berlangsung langgeng, ah....angin sepoi menyambut aku dan Maya, bernaung dibawah pohon durian sambil berucap kata cinta.

Ketika mulai melangkah, dihalaman rumah sejumlah anak-anak sekolah minggu berkerumun sambil memanggil Maya, minta ikut pula. Memang Maya selama pulang kampung selalu ikut mengajar anak-anak sekolah minggu. Ah... pukimbenya semua ini, kataku dalam hati, kesal.

Maya melihat perubahan sikapku atas kehadiran anak-anak sekolah minggu.
"Bang sebentar aku "amankan" dulu mereka,"katanya. Maya menggiring muridnya kerumah sembari memanggil adiknya. Satu bocah laki diantara muridnya merasa cemburu, dia marah-marah kepada Maya: " Kak, nggak boleh pergi dengan abang itu. Kakak tadi janji mau main sama aku," katanya merengek. Maya berhasil membujuknya, sibocah pergi tapi memplototinku, "abang jelek," serunya kesal.
***
Sehari sebelum kembali ke Medan, kedua orang tua mendahului "sidang meja hijau" ku. Pertanyaan Ibu lembut tetapi menusuk.
" Ibu kira kalau sudah sekolah tinggi, perilakunya sudah semakin "tinggi" tetapi ternyata kau jadi tinggi hati. Tak lagi kau pikirkan sopan santun berpakaian. Dulu, kamu yang paling rajin bawa " buku ende" ke gereja. Kemarin jangankan "buku ende' pakaianmu pun seperti anak pasaran yang nggak punya pendidikan," sentil ibu .

Usai "nyanyian" ibu, ayah langsung menohok dengan sederet pertanyaan; "Bagaimana urusanmu dengan ibu dosenmu? Jadinya kau nanti meja hijau? Setelah kau putus dengan pacarmu dulu, kau mabuk- mabukan, patentang-patenteng seperti kelebihan uang.!"

" Yang tak ada lagi anak gadis yang dapat kau pacarin? Kok, pacaran sama perempuan yang masih bersuami. Hancur sudah nama baik kami gara- gara kamu. Barangkalai kalau kau pacaran dengan janda, kami tidak terlalu menanggung malu, walaupun aku dan ayahmu tidak akan setuju kalau kau pacaran dengan janda," tambah ibu.

Aku tak berani mengangkat wajah menatap ayah dan ibu setelah aku habis "dikuliti" malam itu. Tak ada yang perlu dikoreksi. Setelah mohon maaf, aku jelaskan semua "kehancuran"ku, setelah putus dengan Magda, kemudian kenapa aku berteman dengan Susan. Diakhir "persidangan" malam itu, ibu menitikkan air matanya sambil berujar," Zung, kami memberangkatkan kamu sekolah dengan keringat darah. Kami bersusah payah menyekolahkanmu dengan harapan kamu menjadi orang yang patut dicontoh adik-adik mu...."

Belum selesai ibu mengakhiri kalimatnya, aku memeluk dan menciumi wajahnya dengan sesunggukan. Aku hapus airmatanya dengan kedua tanganku, " Ibu, aku janji akan berubah. Doakan aku, bulan depan aku maju ke meja hijau. Kalau aku lulus, ayah dan ibu harus datang menghadiri wisudaku."
Ayah menanyakan hubungan ku dengan Maya, " selama seminggu ini kau selalu dengan Maya. Bagaimana kelanjutannya?" tanya ayah.
" Boleh kau berteman dengan siapapun. Alai unang salpu-salpu hatam (jangan kamu asal membuat janji."-pen) kata ibu mengingatkan. Aku jadi teringat dengan janjiku menikahi Susan, kemudian menyesalinya.

" Aku dan Maya masih berteman biasa," ucapku
" Berteman biasa kau bilang, pakaianmu pun sudah disetrikanya, setiap hari kau dilayani makan, pulang larut malam. Aku pun dulu pacarannya sama ibumu sebelum nikah. Na godang kecetmu( belagu , pen)" ujar ayah ketawa, disambut gelak ibuku. Mengakhiri pembicaraan kami malam itu, kembali ibu mengingatkan dengan pesan pamungkasnya, "jangan kau sakiti hati perempuan dengan janji kosong."
***
Satu jam sebelum kami berangkat ke Medan, Maya telah datang ke rumah diantar oleh saudara laki. Sebenarnya, Maya akan kembali ke Medan minggu depannya. Maya mempersingkat kunjungannya di kampung setelah di beritahu kalau aku hanya berkunjung selama seminggu. Sementara kami asyik bicara, ibu menyelah sambil menyerahkan buku ende ( kidung jemat,pen) Maya tersenyum melihatku ketika ibu menyerahkannya. Setelah ibu menjauh, aku bicara pelan ke telinga Maya, " kata ibuku, nanti di dalam bus, kita nyanyi bersama dari buku ende ini." Maya hanya tersenyum sambil mencubit pahaku.

Kedua orang tuaku turut memberangkatkan kami setelah bus menjemput kami. Selama perjalanan yang menghabiskan waktu enam jam itu, tak banyak yang kami bicarakan. Maya tak kuasa menahan kantuknya setelah malam sebelumnya aku dan Maya menikmati sinar rembulan hingga menjelang subuh.

Aku merebahkan wajahnya ke pangkuanku setelah beberapa lama bersandar di atas dadaku. Sesekali aku mengecup pipinya setelah melihat"tetangga" pada tertidur. Maya terjaga ketika aku menggerai rambut yang sama panjangnya dengan rambut Magda. Semoga rambut Maya tidak menjadi "korban" kedua, bisik hatiku. Maya meletakkan tanganku diatas pipinya dan menatapku dengan mata kuyu. Kembali Maya memejamkan matanya sementara tanganku masih diatas pipinya masih dalam gemgamannya.

Sopir bus yang kebetulan teman sekampung sengaja memutar lagu-lagu bernuansa cinta, lembut, menghantarkan mata ku mulai redup. Maya bangun, duduk dan merapikan rambutnya yang baru saja ku gerai. Tangannya meraih wajahku dan menindihkan pelan kesisi lengannya. " Bang, gantian, istrahat lah sebelum kita sampai," ucapnya. Maya tersenyum dan membiarkan ketika rambutnyaku gerai menutupi wajah ku.( Bersambung)

Los Angeles, March 2009
Tan Zung

http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment