Monday, January 26, 2009

Madalena ( 14)


http://www.youtube.com/watch?v=XbBpZhA92uQ

=======================
"Ai aha dope pinaimam hatahon ma tutulangmi(Apalagi yang kau tunggu bicaralah sama tulangmu, pen)
Sinta sudah kerja nanti dapat membantu menyelesaikan sekolahmu. Bulan depan dia sudah mengajar di Sungai Deli," katanya semangat.
=======================

" Oh iya Sinta , kau mau mengajar di Sungai Deli. Mau mengajar ikan berenang,?" kata ku dengan rasa geli.
"Di Labuhan Deli nek, bukan di Sungai Deli," koreksi Sinta.
"Samalah itu," balas nenek."
"Ayo Sinta kita ke rumah pendeta, kita mangalua, sekarang juga, tak aci besok," kataku sambil menarik tangannya. Sinta meronta, ibuku tertawa.
"Janganlah mangalua ,"ujar nenek.
"Samalah itu," balasku.

Macam mananya, Sinta nggak mau , " ujarku dengan mimik serius.
"Jangan mangalualah ( kawin lari, pen) nanti tulang mu marah," kata nenek.
Didepan mata ibu, Sinta mencubitku, nenek makin senang berlebihan melihat reaksi spontanitasnya.
"Okay, ayo.... katanya sambil menarik tanganku dan ibu. Nenek ikut nggak " tanyanya.

"Mau kemana... kalian, " tanya nenek penasaran.
"Kerumah pendeta lah , mangalua," tegas Sinta.
Kini aku malah kelabakan. Jangan-jangan Sinta menanggapi guyonanku itu serius.
"Kemana katamu ," tanya nenek wanti-wanti.
"Kalau nggak mau ke rumah pendeta, pulang ke rumah lah, tidur," kata Sinta.
"Ehhhhe ...holan namargait do hamu (kalian bercanda saja, pen )," balasnya.

Sebelum dia tidur aku mengajak ngobrol di emperan rumah.
" Cantik sekali bulannya," kataku memulai pembicaraan.
"Ingat Magda bang," ujarnya.
"Ya aku kangen," balasku. Sebenarnya aku hanya mau angekin Sinta.

"Sebentar bang aku mengambil gitar," ujarnya meninggalkanku diteras rumah. Memang, Sinta pintar main gitar melebihiku dan adik-adikku.
Dia menyanyikan lagu "Apa salah dan dosaku" yang sangat populer masa itu.

" Kemarin dulu ketemu kak Magda dipasar Majestic ketika aku pulang dari kampus mengambil ijazah. Kami cukup lama ngobrol. Katanya, kalian akan menikah setelah tammat, dia senang sekali. Kakak itu baik benar, jangan main-main lho bang," ujarnya serius sambil menyerahkan gitarnya.

"Aku memang serius. Ngomong-ngomong kamu tega benar kerjain aku, kamu bilang ibu sakit, padahal dia sehat. Apa sih mau mu," tanyaku sambil mencubit pipinya.

"Maaf bang, bapak suruh aku mengundang abang untuk menghadiri syukuran tadi. Tadinya aku tolak, tapi bapak marah-marah. Abang kan tahu bapak punya darah tinggi. Aku pikir, kalauku undang baik-baik, pastilah abang tidak akan mau datang. Akhirnya, kubuat surat itu. Abang Sihol --pacar Sinta-- yang ngajarin aku," katanya sambil mengusap-usap pipinya karena kesakitan.

"Baik, kali ini kau kumaafkan, tapi jangan diulang lagi. Bagaimana kelanjutan hubungannya dengan Sihol."
"Masih berlanjut bang, tetapi bapak nggak setuju. Margaku dan bang Sihol marpadan jadi nggak boleh kawin mengawin," katanya sedih.
"Apa........marpadan..? ( sumpah antara marga yang berbeda) Hantublau apa pula itu," kataku engik. Jadi tulang melarang kamu menikah dengan Sihol hanya gara-gara sumpah nenek moyang itu," tanyaku gemas.
" Banyak kalilah cengkunek adat itu, lanjutku, yang ibu semargalah tidak boleh nikah, yang marpadan lah. Teruskan Sinta, abang dukung dari belakang.

" Abanglah didepan, aku dan abang Sihol nggak berani maju kedepan," katanya mentel.
" Sinta, yang aku tahu tukang sepatu marpadan sama buaya, tidak boleh saling bermusuhan." ujarku sambil berusaha mendinginkan hatiku sendiri.

"Apa sumpahnya bang," tanyanya serius.
" Bila tukang sepatu dan keturunannya berenang disungai atau dikali, buaya tidak boleh menggangu atau memangsanya dan harus mengawal jangan sempat dimangsa binatang reptil lainnya. Sebaliknya tukang jahit sepatu tidak boleh menjahit sepatu , ikat pinggang, dompet dan tas yang terbuat dari kulit buaya."
Sinta ketawa terpingkal-pingkal, kini hatinya sedikit terobat. (Bersambung)

Losa Angels, January, 2009

Tan Zung
http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/


No comments:

Post a Comment