Monday, February 2, 2009

Magdalena ( 51)


ABBA "Chiquitita"

Chiquitita, tell me what’s wrong/You’re enchained by your own sorrow/In your eyes there is no hope for tomorrow/ How I hate to see you like this/There is no way you can deny it/I can see that you’re oh so sad, so quiet....
======================
“Abang ayo kerumah sakit.”
“ Aku nggak apa-apa, cuma terkilir,” ujarku memaksakan senyum.
“ Tidak, abang harus kerumah sakit.!”
====================
MAGDA dan Jonathan memapahku menuju mobil yang mereka kenderai. Jonathan menegur kakaknya Magda, karena terus mengomeliku, “ kak diamlah, abang kesakitan malah ngomel terus.”
Magda terdiam mendengar teguran adiknya. Tetapi wajahnya mutung melihat aku tersenyum mendegar teguran adiknya. Magda dan adiknya Jonathan pulang. Aku minta tolong petugas rumah sakit menelefon Sinta ke tempat dia mengajar,“ tolong pesan ke penjaga sekolah, agar memberitahukan kerumahnya.”

Beberapa jam kemudian, Sinta telah tiba di rumahsakit. Dia kaget, wajahnya pucat. Dia mencium keningku, aku merasa surprise, kali pertama dapat”jatah”pariban pikirku meski dulu, mandi bareng sering ketika musim hujan, saat masih usia balita.

“ Sinta, aku minta tolong. Bolehkah pinjam uangmu? Aku kehabisan uang. Temanin aku ke luarkota, disana ada dukun patah tulang “ pergendagen”. Nanti, Rabu, kalau ayah datang belanja, aku kembalikan uangmu. Sinta tak keberatan, dia membayar pengobatanku. Dia memapahku dari teras rumah sakit menuju pinggir jalan. Tiba-tiba sebuah mobil berhenti disamping kami, wadouh,...Magda, mati aku. Pastilah tadi dilihatnya tanganku bergelantung dileher Sinta ketika dia memapahku, bakal apa lagi nanti yang terjadi.?

“ Kenapa buru-buru pulang bang,?”
“ Aku mau berobat ke pak Ginting, dia dukun patah terkenal,” ujarku
“ Dimana? Ayolah kita berangkat sama-sama,”ajaknya.
Sinta dan Magda membantu kakiku yang “babak belur” ke dalam mobil. Sinta minta ijin pulang.
“ Kok abang nggak kasih tahu mau keluar dari rumahsakit.?”
“Aku nggak enak telefon kamu kerumah.”
Pak Supri, sopir papinya disuruh pulang duluan, “ nanti aku pulang sendiri,” ujarnya setelah kami tiba dirumah dukun patah, pak Ginting.

Segera pak Ginting membalur kaki kudengan sejenis cairan, terasa dingin. Aku tidak merasakan ketika proses “vermag” berlangsung. Dia mengingatkan, bila pengaruh cairan telah habis, sakitnya luarbiasa, “terserah kamu, kaki diikat atau bisa menahan sendiri,” ujar pak Ginting. Aku memilih diikat, mulutku dibekap dengan kain. Benar, penderitaan itu datang, kaki seperti digilas kereta api, remuk. Aku menjerit dalam mulut yang terbekap, keringat membasahi seluruh tubuh menahan perihnya hasil pijatan sang maestro dukun patah. Aku dibiarkan tertidur diatas dipan sederhana hingga menjelang malam.

Setelah hilang rasa perih, kembali kakiku dilabur dengan cairan. Aku meronta, trauma pijatan awal, “sudah pak, sudah sembuh kok,” cegahku, karena trauma pijatan awal.
Ohh..tidak dipijat lagi, hanya untuk proses penyembuhan saja, “ ujar pak Ginting ramah.

Mataku tidak menemukan Magda disekitar ruangan sederhana itu. Aku hanya melihat Mawar duduk diujung dipan pembaringanku.

“ Magda sudah pulang dijemput pak Supri. Dia tadi menitipkan pakain pengganti abang,”ujar Mawar.
Aku mau mengganti pakaianku yang sejak tadi pagi lengket dalam tubuh, tetapi aku belum bisa melangkah sendiri ke kamar mandi. Pak Ginting melihat aku gelisah, “ mau ganti pakaiannya, ayo bapak bantu. "
Mawar bereaksi cepat,” biar aku saja pak yang memapahnya,” ujarnya.

Pak Ginting menyodorkan kursi bambu tanpa sandaran ke kamar mandi. “Mawar membuka satu persatu kancing kemejaku, kemudian melap seluruh tubuhku. Diraihnya kedua tanganku melingkar dipinggulnya, “ pegang kuat bang, ntar jangan jatuh kebelakang,” ujarnya. Dia mengulang, “ayo bang pegang kuat." Mata kami beradu dalam kamar mandi berukran kecil itu.
Mawar melanjutkan tugas mulia “perawat’ dadakan itu. Sesekali wajah kami berbenturan, tanpa sengaja. Wajahnya berpeluh, spontan tanganku melapnya, dia memandangiku, tapi aku tak mampu melihat tatapannya.

Aku yakin, dia dan aku tidak akan ada pengkhianatan dalam persahabatan. Tetapi, entah kenapa, sejak peristiwa gebrak meja minggu lalu, sepertinya ada sesuatu yang tertanam dalam hati kecilku, ketulusan hatinya.

Mawar membuyarkan anganku , “sudah bang,”ujarnya sembari memindahkan tanganku keatas bahunya. Lagi, kami saling menatap, lantas aku pegang kedua tanggannya,” Mawar, kamu benar-benar sahabat yang peduli. Terimakasih,” ujarku. Mawar memapahku dengan sabar, sesekali aku menjerit menahan denyutan kaki yang baru saja diurut.( Bersambung)

Los Angels, February 2009

Tan Zung
http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment