Monday, February 2, 2009

Magdalena ( 52)

I Want To Know What Love Is

I gotta take a little time/A little time to think things over/I better read between the lines/Incase I need it when I´m older Ohhhh/This mountain I must climb/Feels like the world upon my shoulders' Through the clouds I see love shine/It keeps me warm as life grows colder/ In my life there´s been heartache and pain/I don´t know if I can face it again/ Can´t stop now/I´ve travelled so far to change this lonely life/I wanna know what love is/I want you to show me...

===================
Mawar memapahku dengan sabar, sesekali aku menjerit menahan denyutan kaki yang baru saja diurut.
==================
SELAMA dalam perawatan pak Ginting, dikamar mandi mungil itu, Mawar masih menjalankan tugas keperawatan. Aku merasakah sentuhan kasih Mawar, selama tiga hari berturut-turut. Sepulang dari kampus, Mawar setia menjagaiku, membawa makanan bahkan membersihkan tubuhku. Sepertinya aku tidak dapat membohongi diriku. Aku duduk diantara dua batu dalam telaga tua, sementara seekor burung mengerang karena sayap yang patah dan kepala yang terkulai oleh guncangan angin badai.” Now I see you’ve broken a feather. I hope we can patch it up together.”

Tapi apakah aku membiarkan sayap yang patah dan kepala yang terkulai ditelan ganasnya angin badai. Kemanakah aku harus mencari sayap yang patah itu. Adakah ceceran airmata yang tersisa dilorong gelap nan berliku. Dapatkah aku menelusur lorong tanpa dian? Atau aku akan tersesat menjadi mangsa kegelapan malam?
Mawar memberiku ciuman lembut,” bang, Magda masih setia.!”
Mawar, masikah ada kesetiaan ditengah ganasnya malam. Adakah kesetiaan yang tersisa ketika ajal diujung penantian.”?

“ Ada bang, kesetiaan tidak akan berakhir hingga diujung maut.”
“ Apakah aku dan Magda masih memilikinya,”?
“ Waktu akan menjawabnya.”
Magdalenaku, kemana?. Mungkin kah dia telah dimangsa serigala dilorong gelap. Tidak adakah secercah cahaya menerangi langkahnya.?
***
Mawar memberitahuku, pagi dia harus menghadap dosen pembimbingnya. Aku harus pulang sendirian. Esoknya, aku pamitan dari keluarga pak Ginting yang bersahaja. Dia menolak pemberianku - sejumlah uang sebagai jasa kelelahannya.
“ Sudah nak, pakailah itu untuk keperluanmu, perjalananmu masih panjang,” ujarnya. Selama tiga malam pak dukun banyak bercerita dan memberi petuah dalam menjalani kehidupan. Dia bertutur, ditengah kehidupan ekonomi pas-pasan berhasil memperjuangkan anak sulungnya meraih sarjana teknik di Yogyakarta. Foto anaknya tergantung di dinding ruang tamu, tersenyum memegang ijasah lengkap dengan toga. Keluaga pak Ginting cepat akrab denganku, dalam pembicaraan, aku menyelipkan beberapa kalimat bahasa ibu mereka, bahasa Karo.

Saat pulang, aku peluk bapak dan ibu Ginting, aku mencium tangan mereka. Ibu Ginting memberiku satu sisir pisang hasil kebun dibelakang rumahnya.
“ Kalau ada waktu mampir ke rumah, nanti nginap lagi iya nak ku. Biar bapak ikut menemani sampai dirumahmu,” ujar ibu Ginting
Aku tak kuasa menahan perasaanku, aku peluk lagi ibu, airmataku terkucur atas kebaikannya. Aku merasakan kehangatan kasihnya seperti ibu kandung ku.
Dia mengusap kepalaku, “ sudah nak, orang gagah nggak boleh nangis.” ujarnya.

Ah, seandainya seperti inilah bijaknya orangtua Magdalena, betapa bahagianya jiwa ragaku.! Aku melangkah keluar dengan tongkat sederhana, sementara pisang pemberian ibu aku gantungkan dibahu, ibu tertawa melihat tingkahku. Baru beberapa langkah kehalaman rumah, mobil ber plat polisi berhenti dipinggir jalan. Ada apa pula polisi berurusan denganku pikirku sesaat. Aku melirik sopir berpangkat kopral, dalam dadanya tertulis nama Surahman. Aku mendengar suara dari dalam mobil memanggil ku. Ohhh... ternyata suara Mawar. Pak Ginting mengurungkan niatnya menghantarku pulang, setelah kehadiran Mawar.

Mawar meluruskan kakiku diatas kursi mobil. Dia menceritakan pekembangan terakhir mengenai Magda. Kedua orangtuanya tidak lagi membiarkan Magda keluar, juga dengan adiknya Jonathan yang dianggap “bersekongkol” dengan kakaknya; Magda tidak boleh lagi menginap dirumah Mawar; Magda boleh keluar hanya dengan maminya.
“ Cukup Mawar, aku muak mendengar penyiksaan itu, “ ujarku menghela nafas panjang.

Mawar mengalihkan pembicaraan tentang perkuliahan, tetapi otakku, masih melayang pada penderitaan Magda. Sesekali kopral Surahman melongkok kami lewat kaca spion depan. Aku kesal, mau ku ketok kepalanya dengan tongkat ku, mau tahu saja urusan orang. Beda dengan pak Supri pe-en-es, supir papinya Magda, mata lurus kedepan tanpa larak-lirik.
Tak tahan menahan kantuk, Mawar membiarkan kepalaku “terkulai” dipangkuannya, aku tak perduli dengan mata pak Surahman yang jelalatan.

Mawar menepuk wajahku , “ bang, kita sudah sampai, bangun!”
Mawar dan pak Surahman memapahku masuk kamar. Mawar menyuruh pak Surahman pulang setelah menurunkan pakainku selama tigahari yang telah dicucinya. ”Pak Surahman pulang duluan, mungkin papi nanti butuh mobilnya ,” ujarnya.( BERSAMBUNG)

Los Angeles, February 2009

Tan Zung

No comments:

Post a Comment