Monday, February 2, 2009

Magdalena ( 53)

Will You Still Love Me Tomorrow?
Tonight you’re mine/Completely./You give your love/So sweetly./Tonight the li-i-ight/Of love is in your eyes, /But will you love me tomorrow?/Is this a lasting/Treasure'Or just a moment’s/Pleasure?/Can I belie-e-eve/The magic of your sighs?/Will you still love me tomorrow?

==================
Mawar menyuruh pak Surahman pulang setelah menurunkan pakainku selama tigahari yang telah dicucinya. ”Pak Surahman pulang duluan, mungkin papi nanti butuh mobilnya ,” ujarnya.
=================
SIMPHONI baru mengalun syahdu dalam kesunyian malam. Adakah sayap baru bertumbuh dalam sayap yang patah.? Syair apa yang mengalun dalam simphoni itu. Adakah tunas baru-cinta- bertumbuh dalam dua pohon yang berbeda.

”Abang beristrahat dulu, aku mau pulang kerumah sebentar,“ ujar Mawar
Aku masih terlelap dalam bayang gelap, mana mentariku kelak.
Suaranya membuyarkan khayalku , “ heh..Zung aku mau pulang dulu, sebentar aku kembali lagi. Nanti aku coba hubungi Magda, “ ujarnya.
Aku hanya menunduk, tak bergairah. Dalam kesendirian, aku mengharap-harap cemas kehadiran Magda, namun hingga sekembalinya Mawar membawa makanan, dia tak kunjung datang. Kemanakah Magda.?
“Zung, aku sudah ku beritahukan pada Jonathan bahwa abang sudah dirumah.”
“Magda kemana.?”
“ Nggak tahu, Magda tidak diperbolehkan mengangkat telefon lagi," ujarnya sambil menyiapkan makan malamku.”
Mawar menolak makan malam, “ aku takut kegemukan, nanti gaunnya tak muat lagi,” katanya bercanda.
" Hmmmm, gaun? Kau bicara gaun Mawar? Gaun untuk siapa.?
“ Gaun Magda untuk pernikahan kalian.”
***
Mawar permisi pulang setelah selesai menyuapiku, meninggalkan sendirian di “perpustakaan biru” dengan senandung rindu. Aku ingin menatap lentik alismata, senyum dan tawa serta wajah lembut sang juwita, Magda. Apakah waktu masih memberiku kesempatan membelai mahkota Magdalena yang tergerai ? Sederatan pertanyaan menghantarkan keperaduan, aku terlelap. Will she still love me tomorrow?

Aku mendengar suara ketukan pintu kamar, aku melihat jam menunjukkan pukul sebelas. Aku terseok-seok menuju pintu kamar, mengharap Magda menjengukku. Akh...sebuah harapan konyol, bagaimana mungkin Magda bisa lepas dari “pasungan” orang tuanya apalagi malam-malam begini.

Ketukan berlanjut tanpa suara panggilan, “iya tunggu, aku datang.!” Perlahan pintu terbuka, aku melihat mentariku bak diujung senja, Magda. Dia menciumiku dengan linangan airmata kemudian memapahku ketempat tidur.
“Magda, bagaimana kamu bisa keluar,” tanyaku tak habis pikir.
“Aku tadi keluar lewat pintu belakang dengan adik Jonathan.”
“Jonathan dimana.”
“Sudah pulang.!”
“Siapa nanti yang mengantar mu pulang.?”
“ Jonathan akan menjemputku, pukul lima, pas dia mau lari pagi. Aku juga sudah pakai celana olahragaku” ujarnya

Aku bergetar ketika Magda menyuruh aku membuka kancing belakang roknya. Uhhh....Magda ngerjain, aku tertawa lepas melihat celana pendek hitam yang dikenakan bergaris tiga dipinggirnya. Celana itu adalah seragam olahraga kami ketika es-em-a. Aku dan Maagda tertawa bersama, ingat masa lalu ketika olahraga masa es-em-a, ingat guru olahraga genit si botak.

Sepanjang malam, Magda bertutur banyak perihal perlakuan orangtuanya. Dia mengaku jujur, Albert tiga malam terakhir berturut-turut datang kerumah berikut orangtua, ingin menjumpainya. “ Tetapi, aku tak mau keluar dari kamar, sampai mereka pulang. Papi, marah, katanya aku mempermalukan mereka. Papi terlalu egois,” katanya menahan siksaan batin.

“ Papa, aku telah pasrah, apapun yang terjadi. Sejak malam ini Magda akan panggil abang, “papa”, nggak apa-apa kan.?”
“ ...dan maksudmu aku akan memanggimu “mama”..?” Magda mengangguk, matanya berbinar.

“ Kamu pasrah, jika papimu tetap memaksamu nikah dengan Albert.?”
Bukannnn. Aku pasrah bila apapun yang mau papa putuskan, kita kekampung atau ke Bandung.”
“ Bagaimana dengan gaunmu.?
“ Disita mami.!”
“ Mami tahu, kalau Magda menjahit gaun.?”
“ Kertas bukti pesanan jahitan terletak dimeja, aku lupa menyimpannya. Mami pergi ketukang jahit tanpa sepengtahuanku.” ujarnya.

Magda membuka dompetnya, “Pap, tigahari lalu, aku telah menjual gelangku di pasar Majestik.”
Magda memberiku sejumlah uang hasil “letgo” gelangnya. “ Magda nggak bisa lagi ketemu setiap hari dengan papa. Pakailah ini untuk beli obat dan keperluan papa.”

Aku tak tega menerimanya. Barangkali persoalannya berbeda seandainya dia tidak memberitahu uang itu hasil “letgo an”gelangnya. Magda memasukkan uang itu kedalam lemari. Malam itu aku melihat Magda tegar menghadapi situasi yang menurutku sangat crusial. Magda meletakkan kepalanya diatas perutku, wajah kami saling berhadapan (BERSAMBUNG)

Los Angeles, February, 2009

Tan Zung

No comments:

Post a Comment