Wednesday, March 4, 2009

Dosenku "Pacarku" (60)


AKU melihat, Magda mulai menunjukkan ketidak senangannya mendengar atau bersentuhan dengan nama Susan. Perjalananku dengan Susan di sungai yang mendatangkan "malapetaka" di kakiku, menimbulkan inspirasi menghadapi Magda, setidaknya saat dia dalam kamarku.

Betapaun derasnya arus sungai menerjang batu, tak pernah mendatangkan api atau panas. Aliran sungai tetap meliuk, dingin, meski berbenturan dengan batu. Aku mainkan jurus itu. Aku melihat Magda mulai "membatu"

" Magda, sudah lama sekali aku tak pernah ketemu inang uda dan Jonathan, aku merindukan mereka. Masihkan aku boleh berkunjung kerumahmu.? tanyaku pelan. Magda menolehku, tatapan dan wajahnya kini berubah drastis, tak lagi seperti beberapa menit yang lalu, wajahnya kembali kepada "warna asli", lembut.

" Sejak kepergian papi, mami dan Jonathan selalu menanyakan abang."
"Kenapa Magda nggak pernah bilang ? Lalu apa jawabmu pada mereka?"
" Aku bilang , abang sibuk mempersiapkan skripsi mu!"
"Kok, kamu tega benar. Magda harus bisa membedakan urusan kita dengan keluargamu. Betapapun tersiksanya Magda karena "kekejamanku", semestinya Magda harus menyampaikan kerinduan mereka. Aku tahu, Magda masih membenciku hingga kini. Tapi tidak dengan inang uda dan Jonathan, bukan?".

" Iya, maaf bang. Kalau mau, sekarang kita kerumah, tetapi bagaimana dengan kaki abang?"
"Nggak apa-apa, sepertinya kakiku langsung sembuh, tapi tolong aku bantu bangkit dari tempat tidur ini," ucapku ku bersemangat.

" Lho, katanya nggak apa-apa, kok malah minta tolong. Gaya abang dari dulu tetap dipelihara, sok menjeng, padahal sudah berteman dengan ibu- ibu," ujarnya sambil meraih pergelangan tanganku.

" Manalah bisa langsung berubah, dari lima tahun denganmu ke tiga minggu dengan ibu Susan," ujarku menggoda.
" Bang....yang sudah..sudah, nggak usah diingat lagi."
" Hanya itu yang aku ingat sekarang, entahlah nanti masih ada yang tersisa dala sel otakku."

" Semua serba salah sama abang, diam dibilang aku masih marah, disahutin, malah ngelantur kemana-mana," gerutunya, tangannya memegang tubuhku pada posisi berdiri.
" Ngelantur? Nggak juga, aku masih dalam jalur. Aku hanya mengingatkan saja. Magda mersa risih atau malu diingatkan? tokh nggak ada yang dengar."

" Ada bang."
" Siapa ?"
"Tongkat ini." jawabnya ketawa sambil menyerahkan tongkat penyanggah kakiku.

" Hei tongkat, kaulah jadi saksi apa yang aku dan Magda bicarakan, dikamar ini. Cukup simpan dalam hatimu, tak usah berbicara kepada siapapun, kecuali kepada teman perempuanku yang masih ada disini, itupun kalau diminta. Meski aku dan kau tongkat baru bersahabat puluhan jam, engkau tahu apa dalam hatiku sejak siang tadi bukan?. Kau mendampingiku ditempat tidur ini dan kau menjadi saksi ketika aku memeluk bingkisan dari seseorang yang pernah aku kasihi dan sakiti, kepada mama tuanya yang adalah ibuku.

Tongkat, kau pastilah melihatku, merenung dan mengeluarkan air mata hingga membasahi bantalku Aku yakin itu, kau melihat ku menitikkan air mata meski tidak diringi sedu-sedan bukan?!"
Magda terduduk dipingir tempat tidur, setelah mendengar "pat gulipatku", yang ternyata masih manjur.
" Abang, maunya apa ?" tanyanya lembut sambil duduk di tempat tidurku.(Bersambung)

Los Angeles, March 2009


Tan Zung

http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment