Friday, January 23, 2009

Magdalena (2)

http://www.youtube.com/watch?v=xXTLF_ONL3U
=============
Disudut kamar, kami duduk berduaan, mesra iya...sangat mesra. Kubelai rambutnya yang terurai lepas. Kucium keningnya dan menelusuri hidung hingga bibirnya, berbalas. Meski itu hanya dalam mimpi tapi aku menikmatinya .
============

Malam minggu berikutnya diskusi kami tidak berlangsung seperti biasanya, Magda ogah-ogahan. Mungkin ada masalah dalam keluarga pikirku. Ketika hendak beranjak pulang, dia menahanku. Magda mengambil setengah paksa buku dari gemgaman tanganku.

"Tunggu dulu, kenapa kamu mau cepat-cepat pulang, mau pergi ke bar, mau mabuk lagi hah!? Zung, kasihanilah dirimu. Kamu telah membohongi dirimu sendiri. Kamu berjanji tidak akan mau mabuk-mabukan lagi, tapi ternyata makin liar dan gila. Apa kurang wanita didunia ini yang ingin kau temani, sampai kamu tidur dengan pria,"? tanyanya dengan suara tertahan marah.

Mataku nanar, kepala bagaikan kena pentung. Aku sesak, tak tahu berkata apa, gara-gara si "bodat" satu di Tampomas itu. Memang Magda benar, dulu aku telah berjanji tidak akan mau mabuk- mabukan lagi, bahkan centeng parkiranpun aku tinggalkan. Juga gemerlapan malam di salah satu hotel telah aku tinggal. Semuanya ini karena nasihatnya. Entah kenapa malam jahanam di Tampomas itu aku kecolongan, padahal baru satu kali malam minggu berpisah dengan Magdalena.

Ingin rasanya mencabik-cabik mulut Mawar yang selama ini kuanggap sahabat. Aku marah dan menyesalkan sikap Mawar. Menurutku seharusnya Mawar tak perlu membeberkan "tragedi" itu kepada Magdalena.

"Pasti Mawar menceritakan kejadian tak sengaja itu kepadamu. Seharusnya Mawar tdak perlu menceritakannya. Percayalah, kejadian itu hanya kebetulan dan diluar keinginanku," jelasku
"Kamu salah, kamu yang egois. Justru karena sahabat itulah Mawar tidak mau bila kamu terperangkap oleh makhluk buas pemangsa sesama," katanya setengah teriak menahan marah.

"Magda cukup, tutup mulutmu!" balasku berteriak. Dia terperangah, kaget mendengar teriakanku. Uhh...kali ini aku runtuh lagi, bengis. Aku sendiripun kaget, kenapa aku begitu reaktif, padahal selama aku berteman dengannya, tak sekalipun aku bersikap kasar.

Dia meninggalkanku sendirian diteras rumahnya. Aku sangat menyesal dengan kata-kata kasar yang baru saja kucapkan. Aku tertunduk lesu, dada terasa sesak. Aku menyusul kerumah tetapi tak menemukannya. Aku kembali keteras. Rupanya mami Magda terjaga mendengar hentakan suaraku. Dia menyalakan lampu ruang tamu dan menoleh keteras lewat jendela, bertanya, " Magdalena kemana.?"

"Dia ke kamar tante,"jawabku kelagapan. Tak berapa lama Magda dan ibunya keluar dari kamar, kedua mata Magdalena tampak memerah.

"Kenapa? Apa yang kalian ributkan?" tanya maminya. Mulutku tertutup rapat tak tahu apa yang harus kukatakan. Magda menarik tangan maminya menuju ruangan dapur; Magda membisikkan sesuatu. Maminya mendengar serius dan menatap Magda seraya mengangguk-angguk kepala kemudian kembali menuju kamarnya.

Magda meletakkan diatas meja buku-buku yang diambil olehnya dari tanganku. Magda duduk berhadapan denganku. Dia menatapku dalam-dalam dan terasa menusuk jauh hinga kerelung-relung paling sudut. Aku tak tahan lama melihat sorot matanya. Tak sepatah kata pun terucap dari kami berdua kecuali duduk, diam seribu bahasa. Magda akhirnya meninggalkanku setelah dia puas menatapku seakan menelanjangi kepongahanku.

Kembali aku tertunduk lesu sedih menyesali sikapku yang baru saja terjadi. Dada terasa sesak tak tertahankan. Aku meninggalkan teras tempat kami belajar selama dua tahun itu. Kulihat sekeliling, dalam hati berucap selamat tinggal kenangan. Aku merasa itulah malam terakhir kebersamaanku dengan Magda.

Seperti dalam bagian kenangan yang kutorehkan ini, selama persahabatan yang berlangsung hampir dua tahun, tak pernah kata cinta terucap dari kedua bibir kami. Sepertinya kami hanya hanyut perasaan bergayut cinta. Terbukti dari sikap kami malam itu, ada rasa marah dan cemburu.

***
Dengan rasa bersalah, aku meninggalkan teras rumahnya dengan hati yang hancur lebur. Aku terus menyusuri halaman rumahnya yang luas menuju kesisi jalan sambil menunggu becak.

Aku tersentak mendengar suaranya, ketika menunggu becak yang akan membawaku pulang. Magdalena tak tega. Dia menyusulku keujung halaman rumahnya. Dia menghampiri seraya menyerahkan kunci kereta ( motor, pen), " Zung kau bawa kereta ini, tapi besok jemput aku ke gereja, jangan terlambat kau," suaranya pelan. Ditengah cahaya temaram, mataku menembus kebeningan jiwanya yang tulus dan bersahaja. Tanganku terasa berat menerima kunci motor itu dari tangannya sebab dosaku teramat besar padanya.

"Hati-hati dijalan, jangan lupa besok jemput aku," ulangnya lagi. Kuraih kedua tangannya, " maafkan aku Magda, aku sangat menyesal atas kata-kataku tadi. Maukah Magda memaafkan ku,?" mohonku serius.
"Iya...iya ..pulanglah nanti mami bangun lagi,"balasnya. Mata kami saling menatap

"Hushhh.... jangan nakal," katanya seraya menempelkan ujung jarinya lembut kebibirku ketika ingin memberi ciuman sebagai tanda terimakasih balas kebaikan hati serta kelembutannya. Malam itu sepertinya tertoreh jalinan kasih, inikah yang disebut cinta? entahlah. Yang pasti malam itu ada getaran-jiwa yang tercuat dalam persahabatan yang terjalin selama hampir tiga tahun membara membakar kalbu.

Esok harinya, dengan hati berbunga-bunga kupacu motor menuju rumah Magda. Aku tak mau terlambat. Akan kubuktikan lagi bahwa aku adalah sahabatnya yang patuh dan setia dengan janji. Pagi itu wajahnya begitu cerah, tubuhnya dibalut gaun berwarna biru muda warna kesukaanku. Rambutnya terurai lepas hingga kepinggang. Memang ini semacam perjanjian tak tertulis antara aku dan dia. Beda kalau kami kepesta pernikahan, sesuai dengan permintaanku rambutmya selalu digulung menyentuh pundak.

http://www.youtube.com/watch?v=t7wA_OI2y9U
(Bersambung)

Los Angeles, January , 2009

Tan Zung
http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment