Tuesday, January 27, 2009

Magdalena ( 19)

http://www.youtube.com/watch?v=5C2aEpb5gzk&NR=1

================
" Eeee....pariban, aku sudah tak jelas, antara Tuhan dan Magda. Apalagi kalau berjauhan seperti ini."
" Dalam bus; dipestamu kemarin; tadi malam dalam tidurku yang muncul hanya Magda.
"Abang ini kayak anak cencen ( remaja, pen) jatuh cinta."
==============
Sesuai dengan kesepakatan dengan Sinta, kami kembali ke Medan dengan bus trips terakhir. Tulang memenuhi permintaan ompung reseh agar aku duduk di kursi kelas satu berdampingan dengan Sinta.
Selama dalam perjalanan kami tidak perlu lagi bersandiwara. Kami bebas berlaku apa saja. Kami nikmati "kemerdekaan" yang terbelengu beberapa hari ketika kami dikampung. Aku dan Sinta tertawa geli mengingat perilaku kami selama dikampung.

"Kita keterlaluan iya bang, masya orang tua kita sendiri kita dikerjain," ujar Sinta.
"Situasi yang membuat demikian," jawabku singkat.
Perjalanan yang memakan waktu enam jam itu —seharusnya dapat ditempuh empat jam— sangat membosankan, seluruh tubuh pegal akibat jalan bopengan. Karena jalan berkubang, pengendara mobil harus ekstra hati-hati melaluinya.


Beberapa saat mulutku mengoceh tak hentinya, kesal atas ketidak pedulian pemerintah. "Pemerintah hanya menerima setoran pendapatan daerah tapi tak pernah memperhatikan kepentingan rakyatnya, semua korup."
Sesekali pak supir menimpali ocehanku.
" Kalau kami sudah kebal lae, kami menikmati hidup dijalanan seperti ini bertahun-tahun lamanya," kata pak sopir .
" Tapi pinggang bapak sudah ditanam "sockbreaker" jadi tidak terasa lagi goncangannya ," ujarku bercanda.

Tidak sedikitpun Sinta tertarik percakapanku dengan pak sopir, bahkan mengingatkanku. " Hati-hati bang, jangan-jangan ada anggota kodim ( komado distrik militer, pen) disini," bisik Sinta.
Gara-gara jalan jahanam itulah orangtuaku pernah dua kali di interograsi Dandim ( komandan distrik militer, pen). Pasalnya, berita jalan yang rusak parah dan penggelapan subsidi di sekolah-sekolah swasta , pernah aku tulis dan dimuat dikoran daerah dua hari berturut-turut . Meski nama penulis tidak di cantumkan, dengan kekuasan mirip Hitler, dapat saja Damdim memaksa peminpin redaksi membocorkan nama penulis.

‘Hentikan kegiatanmu itu, seriuskanlah dulu sekolahmu. Ayah sudah duakali dipanggil dandim gara-gara tulisanmu dikoran ,"ujarnya serius ketika itu.
"Bapak diapain," tanya ku .
"Dandim mengancam, kalau kamu tidak mau menghentikan tulisan itu, dia akan mengusir kita dari kabupaten ini ," ujar ayahku gusar.

***
Tampaknya Sinta diserang rasa kantuk berat. Kepalanya disandarkan diatas bahuku. Perlahan kepalanya kuangkat, aku letakkan diatas pangkuanku. Kupandangi wajah Sinta yang nyenyak dalam tidurnya. Wajarlah kalau Sihol pacarnya Sinta tertarik, wajahnya manis dan cantik, kataku dalam hati. Seandainya dia bukan pariban, aku juga merasa beruntung beristerikan dia.

Aku tersenyum sendiri, ketika otakku mengurai rekam kenangan duapuluh tahun kebelakang, manakala aku dan Sinta serta anak-anak seusia kami mandi telanjang ditengah hujan deras. ( Bersambung)

Los Angeles, January 2009

Tan Zung
http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment