Monday, February 9, 2009

Magdalena ( 66)

Truly Madly Deeply By Savage Garden
Truly Madly Deeply I’ll be your dream/I’ll be your wish/I’ll be your fantasy./I’ll be your hope/ I’ll be your love/Be everything that you need./I love you more with every breath/Truly madly deeply do../I will be strong I will be faithful/‘Cos I’m counting on a new beginning./A reason for living./A deeper meaning.
==================
“ Papa masih menyesal terhadap mama.?"
“ Magda! Sudahlah, semuanya telah terjadi. Bagaimana khabar papi -mami.? “ Baik! papa.... masih marah dengan papi-mami?”
“ Nggak, bagaimana khabar Albert, calon suamimu. ?”
==================
Aku, ibu Ginting kaget tak kepalang mendengar teriaknya tiba-tiba,” papa, jangan sebut-sebut nama itu lagi,” teriakannya seraya menghempaskan dirinya dipangkuanku. Tangisnya menjadi-jadi mengundang rasa iba. "Papa! tolonglah, jangan lagi ikut menyiksaku, cukup papa-mami setiap hari menderaku. Kalau papa sudah boleh jalan, kita berangkat sekarang juga kekampung papa, atau bawalah mama. Bawalah kemana papa suka. Mama sudah nggak tahan lagi,” ratapnya. Magda menoleh kearah pak Ginting, “Bolehkah kami pulang sekarang pak.?”

“ Kakinya masih biru lembam dan lembek, dia belum bisa bergerak banyak, kurang lebih seminggu baru bisa jalan tapi harus pakai tongkat,” jawab pak Ginting. Tangis Magda semakin menjadi-jadi mendengar jawaban pak Ginting, “Pap masih lama lagi,” tangisnya tak kunjung usai, terus sesugukan merangkulku erat. Magda kelelahan, dia melepaskan rangkulannya tergeletak dipangkuanku, tak sengaja lututnya menyentuh kakiku yang barusaja dilabur penawar sakit.

Aku berteriak kesakitan, badanku gemetar, peluh bercucuran menahan sakit. Ibu Ginting mengangkat tubuh Magda dari pangkuanku, masih terisak, sementara pak Ginting kebingungan melihat dua anak manusia sama-sama berteriak dengan dua jenis penderitaan. Satu remuk tulang yang satu remuk hati, akhhh dunia.

Magda sadar kalau aku masih merasakan maha sakit akibat sentuhan lututnya tak sengaja, dia terus mengipas-ngipas badanku. Magda kelabakan, dia meratap ke pak Ginting, “Pak bagaimana si papa, wajahnya pucat sekali, tolonglah dia pak,” tangisnya sembari melap peluh di wajahku.

Pak Ginting melabur ulang tambar/obat sejenis cairan dicampur serbuk ke kaki bernasib malang. Magda terus menangis sambil menggoyang - goyang wajahku, “Papa bangun, maaf mama nggak sengaja.”
Sebenarnya aku tidak tertidur, hanya kepala terasa pusing dan berat sekali membuka kelopak mata karena kesakitan. Aku mendengar ibu Ginting membujuk Magda, “biarkan dulu dia istrahat sebentar.”
Magda duduk diatas dipanku. Aku merasakan Magda mengangkat kepalaku keatas pangkuannya, Magda terus terisak menahan tangis.

“ Maafkan, mama nggak sengaja,” ujarnya lirih sambil menciumi pipiku. Dalam hati, tak henti-hentinyalah kau ini menyiksaku, sudah ditabrak motor, sekarang ketabrak dengkulmu, yachh... nasib. Aku terbangun setelah beberapa saat istirahat dipangkuannya. “ Papa...masih sakit,?

Menghilangkan rasa bersalahnya aku berguyon, “ itu baru lutut, papa sudah rontok, bagaimana kalau kaki.? Pak tolong kaki Magda diikat.” Ibu dan pak Ginting ketawa. Magda menjewer kupingku. “Suka-sukamu mama, mumpung papa masih nggak bisa ngapapa-ngapain, Nanti papa sudah sehat, mama ku”vermak” habis.
***
Magda, melayaniku seharian. Dia menyuapiku makan, walaupun sebenarnya aku sudah bisa makan sendiri. Menuntunku kekamar mandi. Diruangan kecil itu dia puaskan rindunya. Dia “melahap”ku sepuasnya, sementara aku kurang konsen, wanti-wanti tangan atau kakinya menyentuh kakiku lagi tak sengaja.

Magda pulang sore menjelang malam. “ Baik-baik pap, tolong beritahu mama lewat Mawar kalau sudah mau pulang. Mama mau ikut jemput.”
Sebelum Magda meninggalkanku, ibu Ginting bertanya dalam bahasa daerahnya, “ Nak ini apapamu, yang kemarin itu siapa? maksud ibu itu Mawar. Dalam bahasa daerah yang Magda tak mengerti, kujawab, “ Yang ini calon isteri pertama, yang kemarin, calon isteri kedua,” ibu dan pak Ginting tertawa lucu.

Magda protes, “ papa nggak fair pasti ngomongin mama iya, ayo kasih tahu mama bicara apa sama ibu Ginting, “ protesnya dengan suara masih parau karena menangis. Papa ditanyakan, bagaimana hubunganku dengan mama dan Mawar itu siapa. Aku jawab,” mama calon isteriku, Mawar sepupu calon isteriku.” Ibu dan pak Ginting tak dapat menahan ketawanya mendengar jawabanku yang dipelesetin.

Didepan ibu dan pak Ginting, Magda membuka kalung yang kukenakan seharian, kemudian dia memasukkan liontin berinitial “MH” yang telah dibelinya beberapa waktu lalu.
“ Papa! Magda sampai kelupaan, padahal sudah lama dibeliin,”katanya sambil mengalungkan kembali ke leherku kalung berinitial” MH” bertengger dalam bingkai heart.(BERSAMBUNG)

Los Angeles, February 2009
Tan Zung
http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment