Sunday, February 1, 2009

Magdalena ( 48)

The Power Of Love
The whispers in the morning/Of lovers sleeping tight/Are rolling by like thunder now/As I look in your eyes /I hold on to your body/And feel each move you make/Your voice is warm and tender/A love that I could not forsake
===================
“ Bang, aku ingin menceritakan, tapi aku takut, abang marah dan akan meninggalkanku. Magda takut abang minum lagi. Zung, percayalah, aku masih sangat mencintaimu. "
===================
MALAM hari, dokter mengijinkan aku kembali ke rumah. Sebenarnya, aku cukup kuat melangkah ke kamarku, tetapi Magda dan Mawar tak membiarkan aku berjalan sendiri. Mereka membaringkanku ditempat tidur, tubuhkuku masih lemah tangan berdenyut perih. Magda dan Mawar mengumpulkan pecahan piring dan kaca meja yang hancur berantakan, membersihkan sisa darah diatas kursi dan meja.

Aku menyuruh mereka pulang, “ Aku mau tidur, pulanglah kalian.” Magda menolak ajakan Mawar pulang, “ Aku mau jagain abang. Nanti aku telefon mami, kalau aku akan tidur dirumahmu.” Mawar mengangguk.
Sebelum dia meninggalkan kami, aku sampaikan terimakasih yang tulus; “ Mawar, terimakasih kebaikanmu.” Dihadapan Magda, sebelum pulang , Mawar mencium keningku, “selamat malam bang, semoga cepat pulih.” ujarnya.

Magda membuka kemejaku yang masih berlumur darah serta melap tubuh ku. “ Abang, celananya ada percikan darah, Magda ganti iya.”
Kepalaku menggeleng, diam tak menjawab sembari menatap wajahnya.
Magda mulai menggoda ku, “ abang malu iya,?” tanyanya tersenyum.
Aku diam terus menatapinya. “ Kok sama calon isteri malu bang,” ujarnya sambil menciumku, hangat. Atau abang sendiri yang buka, aku nanti yang pasangin.” ( dalam hatiku apa bedanya)

Magda duduk ditempat tidur, dia mengangkat kepalaku keatas pangkuannya. Magda terus memberiku semangat lewat cerita kenangan masa lalu. Kenangan sejak es-em-a hingga reuni kami beberapa waktu lalu. Magda menyentilku,” Waktu itu mata abang jelalatan lihat Widya lagi teler sama pacarnya.” Aku hanya tertawa lemah sambil menahan perihnya luka tanganku.

Aku tak dapat menahan rasa kantuk, dia membiarkanku terlelap dipangkuannya. Aku terbangun ketika dia memindahkan kepalaku dari pangkuannya ke tempat tidur. Magda merebahkan tubuhnya miring menghadapku. Dia memelukku erat serta mencium pipiku,”mimpi baik baik bang,” katanya menghantar tidurku.

Magda menaruh tangan kanannya diatas dadaku. Aku tak dapat menahan rasa haru atas ketulusan dan kebaikannya. Untuk hal ini, aku tak meragukannya. Dia bagaikan ”malaikat” setia mendampingiku. Lagi, nafasku sesak. Magda mendengar nafas yang tertahan, dia berbisik pelan ditelingaku, “ Abang tidurlah, Magda akan menungguimu sampai pagi.
” Aku memalingkan wajahku ingin menciumnya tapi tak sampai, Magda mendekatiku dan segera menyambut kecupanku. “Tidurlah bang,” bisiknya pelan.

***

Subuh menjelang pagi, aku terjaga dan melihat Magda tertidur disampingku. Aku mencium tangannya yang ditaruh diatas dadaku. Dia masih terlelap. Aku berusaha memiringkan tubuhku menghadapnya, ingin mencium keningnya. Tanpa kusadari tanganku masih terbalut karena luka, badan menindih tangan, aku menjerit kesakitan. Jeritanku membangunkan Magda dari tidurnya. Aku menyesal setengah mati, aku belum puas menikmati wajahnya yang polos dalam tidur.

“ Maaf, aku menggangu tidurmu. Tidur lagi lah, aku mau melihat wajahmu yang jelek dalam tidur,” ujarku bercanda. Dia mengangkat wajahnya keatas dadaku, “Iya bang, nih puasin lihat wajahku yang jelek.” ujarnya manja. Waoughhh..., maksud hati memeluk sempurna, apa daya tangan terbelengu.

***
SAHABAT kami Mawar datang membawa sarapanku dan Magda. Mawar menyapaku lembut,” sudah mulai baikan bang ?” Aku mengangguk. Magda menambahkan ; “ Sudah mulai pulih, besok abang sudah boleh kuliah.”
Silih berganti aku pandang wajah Magda dan Mawar, keduanya bagaikan “malaikat” yang turun dari surga. Magda yang kukasihi punya cinta yang tulus, Mawar sahabatku tanpa pamrih, tulus dan bersahaja. Sementara aku menatap wajah kedua “malaikat” pikiranku mencoba mengingat nama-nama sahabat priaku. Aku ingin menjodohkannya dengan Mawar. Aku tak rela Mawar dimiliki lelaki yang tidak bertanggungjawab. Aku ingin Mawar menikmati cintanya seperti aku dan Magda, tulus.

Magda melap wajah kemudian menyisir rambutku, sementara Mawar sibuk menghidangkan serapan pagi bawaannya. Aku duduk diantara kedua “malaikat”ku. Wajah Mawar terpancar sukacita ketika sendok demi sendok Magda menyuapiku, senyumnya mengembang. Aku ingin membalas suapannya, tapi aku tak bisa, telapak dan pergelangan tangan kananku masih terbalut.

Mawar tidak membiarkan tangan kiriku meraih kopi seduhannya. Dia mengangkat gelas, mendekatkan kebibirku; “minum bang,” ujarnya. Magda tersenyum melihat ketulusan hati sahabat kami Mawar, lantas Magda mencubit hidungku lembut, “abang manja ah...”

Kutatap wajahnya, tetap ceria, tidak sedikitpun terpancar rasa cemburu. Magda dan Mawar pulang setelah kami serapan. Magda telah mempersiapkan handuk dan pakain pengganti sebelum pulang. “Abang bisa kekamar mandi sendiri, atau aku temanin,?” tanyanya. ( Bersambung)

Los Angeles, February 2009

Tan Zung
http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment