Sunday, February 1, 2009

Magdalena (43)


Cinta Di Ujung Jalan

===================
Apakah selama hampir dua minggu itu dia juga menghamburkan airmatanya. Kalau iya, kenapa.?” Ah...pikranku semakin berkecamuk, liar.Aku mencium keningnya pamit mau ke warung membeli makan siang
==================
SEEKOR burung putih terkulai lemah disatu ranting pohon tua dipinggiran sungai. Tampak dia begitu lelah terbang menerjang badai. Wajahnya meringkuk dalam sayap, tubuhnya gemetar. Kedua sayap tak dapat menghangatkan tubuhnya yang menggigil kedinginan. Ia jatuh diatas tunas ilalang dan rerumputan berduri ditepian. Sisa tenaga yang dimilikinya mengepak sayap dibantu sepasang kaki menggapai tepian sungai, mengharap seteguk air.

Nafasnya terengah mengepak sayapnya yang patah. Ia lelah, meyerah pasrah. Dari sudut kelopak matanya yang hampir tertutup menatap gulungan air menerjang batu berlumut dipinggir sungai. Terpaan percikan air memantulkan bola -bola air didalamnya ada pelangi.

Sepasang tangan mengangkat tubuhnya yang mengigil kedinginan dan menghangatkannya dalam dekapan. Kelopak matanya terbuka setelah butir-butir air hangat membasahi wajahnya. Kini nafasnya bergelora. Dari kerongkongan kering kerontang berujar lirih; “ Bawalah aku terbang keseberang sana. Sayapku patah, tak cukup kuat terbang melintasinya.”

Dikepalanya yang terkulai ada suara lirih, “ Kasihku, sayapku belum cukup kuat menyeberangkanmu melintas diatas sungai yang mengalir deras dan ganas. Bersabarlah menunggu waktu.”
***
Ketika aku kembali membeli makanan, Magda terlelap dalam tidur, kepalanya terbujur diatas meja belajar tanpa batal. Aku ambilkan bantal menopang kepalanya. Magda terbangun, namun tak menyahut, ketika kuajak makan. Aku mengguncang tubuhnya; “Magda abang sudah beli makanan, bangunlah. Setelah makan, kita akan bicarakan rencana pernikahan kita. Magda aku janji, aku akan melanjutkan skripsiku, tetapi kamu juga.

Setelah selesai meja hijau, kita langsung menikah, tidak usah menunggu wisuda, mau ....?’ Magda menarik nafas dan hanya melihatku dengan sudut matanya, dia tersenyum. Aku melihat dibalik senyumnya masih menyimpan beban. Lidahnya kelu dalam mulut dan hati yang terbungkam. Aku tak tahan mendengar gaung dari kedalaman jiwa yang terluka. Aku juga melihat bayangan mega mendung melintas dibalik kelopak matanya dan bercerita tentang sebuah tragedi.

Maga, bangunlah. “Aku tahu kamu lapar,” ujarku pelan sambil mengangkat bahunya. Magda sangat lemah. Magda bangkit dan menelungkupkan kepalanya keatas dadaku. Dia palingkan mukanya mendekat ke kuping ku: “ Abang masih sayang padaku.?”
“Iya...tetapi kenapa Magda bertanya seperti itu.?”
“ Nikahi aku.......!”
“Oh..iya pasti kita akan menikah. Tadi sudah ku katakan kita akan menikah setelah meja hijau” bisikku ke telinganya sambil memeluknya erat sekali.
“ Tidak bang, secepatnya!”
“ Secepatnya, kapan.?”
“ Iya..menikah secepatnya, atau ........” suaranya hampir tak kedengaran.
“ Atau apa...atau bagaimana, atau mu itu apa....ayo teruskan, “ bujukku sambil menggoyang-goyangkan kepalanya.

“ Aku tidak akan menikah untuk selamanya.”
Aku terhenyak ( Magda:” I’m still holding on and you’re still the one. The first time our eyes met it’s the same feelin’ I get.”)
Kepalaku terkulai disisi wajahnya, “ Tapi bagaimana dengan sekolah kita?” suaraku melemah. Magda tidak menjawab pertanyaanku.
“ Abang aku lapar,” ujarnya.

Magda bangkit dari tempat duduknya mempersiapkan makanan yang baru saja kubeli. Aku mencoba membangkitkan semangatnya yang hampir sirna; bicara tentang skripsi; tentang ibu dosen pembimbingku yang cerewet dan tentang sahabat kami Mawar yang begitu baik.

Magda tidak sedikitpun menanggapi omonganku. Aku kehabisan akal. Aku tak dapat menaklukan hening mendengar gemuruh ombak yang siap menggulung. Aku ikut meratap derita yang kini sedang menderanya. Aku tak tahu derita macam apa lagi yang akan melindas aku dan Magda. Pemilik waktu menghantarkannya begitu tiba-tiba. ( Bersambung)

Los Angeles, February 2009

Tan Zung

No comments:

Post a Comment