Sunday, February 1, 2009

Magdalena ( 46)


Nyanyian Ombak
http://www.youtube.com/watch?v=tLYSub2QNYc

Kau campakakan dan kau terlantarkan/kembang yang kupersembahkan / kepada mu sepenuh hati/ kau diamkan bahkan kau tinggalkan....


====================
Tetapi, sepertinya Magda ada menyembunyikan sesuatu. Barangkali Magda pernah cerita, ada hal lain yang membebani dirinya yang tak pernah diungkapkannya padaku.?”
“Iya, ada bang. Mestinya Magda harus beritahukan itu.!”
“ Apa? tentang apa ?” desak ku.
====================

"Ceritakanlah apa yang kamu tahu,” bujukku
“ Abang janji tidak marah, kalau Mawar cerita.?”
“ Nggak !” jawab ku tak sabaran.
Akhirnya Mawar menuturkan bahwa orangtua Magda menjodohkannya dengan Albert. " Albert dan kedua orangtuanya sekarang di rumah Magda. Menurut Magda, sebelumnya, Albert dan kedua orangtuanya sudah beberapa kali datang kerumahnya, tetapi Magda selalu menghindar dan bersembunyi kerumahku. Magda menolak keras, dia melawan papinya."

Hatiku mendidih mendengar ada nama pria lain akan disandingkan dengan Magda. Uhhhh..baru saja hati kami “bertunangan” kini serigala mengukir duka baru dalam jiwa, setelah aku membasuh hati yang terluka.
Hari-hari panjang telah kami lalui ditengah lolongan binatang malam di jalan terjal berliku. Akhirnya kami telah dimahkotai pemilik cinta nan tulus. Aku dan dia menyongsong senyuman mentari, menyinar bunga, menabur semerbak wangi.

Dalam lamunanku berlabur amarah, Mawar melanjutkan tuturannya,” Magda sudah menitipkan barang perhiasannya padaku. Minggu lalu kami telah menjahitkan pakaian kebaya persiapan pernikahan, juga gaun pengantin pada saat acara resepsi. Abang tingal memilih mana yang abang suka, kebaya atau gaun dalam pesta pernikahan.”

Tetapi, bagaimana kekasihku Magda menghadapi “kebiadaban” orangtuanya memilih pejantan tak memiliki hati.? Aku tidak membiarkannya melawan kebiadaban itu sendirian. Kenapa begitu cepat sinar mentari pagiku berlalu, bermuram durja tertutup awan gelap.?
Bermimpikah aku? tidak.!. Siapa dapat menghentikan langkahku mengejar sinar mentari pagi? Ataukah layar akan terkoyak dan penyangga akan patah diterjang ganasnya badai? Ataukah akhirnya aku hanya bercumbu dalam bayang.?

Diluar sadarku, tangan menghujam meja belajar, sangat keras, sekeras berita yang mendera. Pecahan piring yang ada diatas meja menyobek sisi telapak tangan dan pergelanganku. Aku membiarkan darah segar terus mengalir diatas meja, sebagai “ kurban” untuk sang kekasih, Magdalena.

Mawar kaget, berteriak histeris dan menangis. Segera dia mengikat pergelangan tanganku untuk menghentikan darah yang terus bercucuran. Amarahku tidak surut dengan tangisan ibanya, “ abang, tadi janji tidak marah, kok jadi begini!? Mawar menatap wajahku masih dalam amarah tak terbendung. Dia menggoyang-goyang wajah dan mengusap dadaku diiringi isak.

“ Bang, Magda tidak tahu apa-apa, dia sudah berjanji hanya mau menikah dengan abang, atau dia tidak akan menikah untuk selamanya.!”
Mulutku terkatup rapat menahan rasa marah membara. Cinta, hanya itu yang aku dan Magda miliki. Tetapi, mereka ingin merajam hingga kami mati terbujur dengan cucuran darah hingga akhir. Apa arti cinta, bila kebebasannya telah direngkuh tangan yang mengatas namakan pemilik otoritas tunggal, orangtua ? Biadab.!

Dan sebentar lagi cinta yang kami miliki itu, akan direngkuh bak algojo yang sebentar siap memenggal kepala sipemilik cinta, aku dan Magda. Apa artinya cinta yang seharusnya bebas dimiliki siapapun insan semesta alam, bila pada akhirnya diantar ke pintu kematian.?

Aku dirasuki setan waktu, berteriak dalam kepenatan jiwa; “wahai pemilik semesta dan penunggu waktu,inikah canang yang kudengar dari gua gelap yang telah ditabuh gemercing malam, hah..?
Mawar membujuk pergi ke rumahsakit; “lukanya cukup dalam bang, darahnya terus mengalir,” ujar Mawar sambil melap peluh mengucur di wajahku.
Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku diiringi rintihan, pahit, “ Aku telah engkau siksa wahai penunggu waktu, engkau menghujam lembing berlumur racun.”
“ Abang ! Abang, sudahlah, teriakanmu sudah terdengar kemana-mana, kuatlah.”
“ Iya, Mawar. Hanya orang kuat dan tangkas yang akan memenangkan perlombaan ini, aku akan buktikan itu.”

“ Bang, sebentar aku telephon Magda.”
“ Jangan! Biarkan dia bercengkerama dengan pria pilihan orangtuanya.”
“ Abang, hentikan ocehan mu. Magda tidak tahu menahu dengan pria itu.”
Darah terus bercucuran, aku sangat lemah. Mawar memapahku keatas beca menuju rumahsakit. Aku merasakan tangan-tangan gesit mempersiapkan perangkat medis. Aku sempat mendengar pertanyaan salah seorang paramedis, sebelum aku tak sadarkan diri, “ temanmu mau bunuh diri?”
“ Bukan, dia kecelakaan,” jawab Mawar. ( Bersambung)

Los Aneles, February 2009

Tan Zung
http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment