Sunday, February 1, 2009

Magdalena ( 49)

Open Arms


Lying beside you here in the dark/Feeling your heart beat with mine/Softly you whisper, you’re so sincere/How could our love be so blind /We sailed on together/We drifted apart/And here you are by my side

========================
Magda dan Mawar pulang setelah kami serapan. Magda telah mempersiapkan handuk dan pakain pengganti sebelum pulang. “Abang bisa kekamar mandi sendiri, atau aku temanin,?” tanyanya.
=======================

Dari pembaringan, aku mendengar suara vesva milik Mawar tapi aku tak mendengar suara motor Magdalena. Kemana dia ? tanyaku dalam hati. Mawar masuk membawa bungkusan, aku tahu pasti itu adalah makanan, tapi sebanyak itukah? Aku tak sabaran bertanya, "Magdalena kemana.?"

"Sebentar menyusul bang."
"Kemana dia, Mawar,?"
" Abangnggg, dia pulang kerumah, sebentar lagi dia datang. Sabarlah bang, dia nggak kemana-mana," jawanya gemas.
Tidak lama kemudian, Magda tiba tanpa motor.
" Naik apa kamu?"
"Aku diantar sopir."
" Mami tahu kamu kemana,?"
" Tahu, kenapa ? aku bilang ke "perpustakaan," katanya tersenyum
" Akhhh, aku hampir lupa. Iya....iya..!" ujarku

" Iya, bang, kata Mawar menimpali, kami sekarang punya "kode " rahasia. Jika disebut pinjam buku artinya keperpustakaan kampus. Jika disebut baca buku, iya kesini bang, kampus biru," keduanya tertawa.

" Kok kampus biru.?"
"Iyalah, lihat nih, taplak meja, gorden berwarna biru; bedacover dan sarung bantal juga berwarna biru," kata Mawar
" Hatikupun luka membiru," lanjutku
" Hmm. abang mulai nih. Mawar, nggak usah dilanjutin, nanti abang makin menjadi-jadi," ujar Magda protes seraya mengajak makan.
" Mawar, kamu saja yang pakai sendok, aku dan abang makan pakai tangan saja. Abang kita lagi bangkrut nih," ujar Magda sambil melirikku.

***
" Aku tadi ketemu dosen pembimbing abang. Aku beritahu kalau abang kecelakaan.!"
" Magda beritahu, kalau kita mau nikah.?"
Magda, menatapku, dia mengangguk-angguk. Mawar tertawa. Dia mengira kalau aku sedang bergurau. Mawar tak tahu, kemarin dulu kami sudah punya rancangan, segera kabur.
Magda dan Mawar mohon ijin sebentar, " bang ditinggal dulu, kami mau melihat gaun mungkin sudah jadi."

Sepeninggal mereka, aku tercenung, gaun....? Tiba-tiba wajah kedua orangtuaku terbayang, tetapit tak tampak ceria dalam wajah mereka. Tidak seperti biasanya, bila aku kangen dengan ibu, wajahnya selalu tampak senyum meski hanya dalam bayang. Ayah, sosok pahlawan, wajahnya selalu serius menghitung laba-rugi niaganya; menyisakan uang belanja untuk bayar kost dan kepentingan sekolah ku setiap bulan; untuk abang dan adikku di Jakarta. Bayang-bayang wajah kedua orangtuaku, menghentak. Satu pesan yang hampir pupus dari ingatanku," boleh kau berteman dengan wanita, tetapi jangan sampai terganggu sekolahmu," nasihat ibu ketika itu.

Kini, aku diperhadapkan dalam keputusan yang sangat dilematis, antara sebuah harapan oangtua dan"menyelematkan" cintaku dan Magda yang hampir lenyap ditelan manusia-manusia jalang.
Hatiku bergetar," Ayah..ibu...maafkan aku, bila aku belum memenuhi keinginanmu. Untuk sementara sarjanaku tertunda. Tetapi, yakinlah aku akan segera menyelesaikannya setelah aku menikah. Layar telah berkembang, aku kini siap mengarungi samudera luas bersama dengan juwitaku, calon mantumu." ( Bersambung)

Los Angeles, February 2009

Tan Zung

http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment