Thursday, January 22, 2009

Magdalena ( 3)

http://www.youtube.com/watch?v=ZaRSMWlqUgk

==============
Rambutnya terurai lepas hingga kepinggang. Memang ini semacam perjanjian tak tertulis antara aku dan dia. Beda kalau kami kepesta pernikahan, sesuai dengan permintaanku rambutmya selalu digulung menyentuh pundak
==============

Perkuliahan kami berjalan lancar. Pertemuan semakin intens menjelang ujian sarjana muda. Saat itu sebelum menjadi sarjana penuh harus melalui ujian sarjana muda. Aku, Magdalena dan Mawar sahabat akrab kami saling berpacu meraih nilai terbaik. Nilai Magda selalu memperoleh angka memuaskan rata-rata nilai delapan kecuali satu mata pelajaran bhs Inggeris, dia selalu menyuruhku melihat angkanya. “ Nilai tujuh,” sebutku.

“Memuakkan,” balasnya.Tanpa disadarinya sering aku merasa terpukul dengan kalimat memuakkan itu. Soalnya nilaiku rata-rata paling tinggi tujuh koma lima. Mawar teman dekat kami selalu melihat perubahan rona wajahku bila Magda menyebut "memuakkan".

Aku mengartikan sendiri bahwa, baginya semua nilaiku “memuakkan”. Segera kami meninggalkan kampus dan meninggalkan Mawar dan Salomo setelah melihat hasil ujian. Magda mengajakku ke restaurant kesukaan kami di Kp.Keling, aku lupa nama restorannya. Kali ini kami tidak direcoki Mawar dan Salomo. Akupun tak peduli kemana mereka pergi. Magda pesan dua gelas minuman kesukaan kami, es campur. “ Satu saja aku cuma temani Magda saja, aku tidak haus,” ujarku pelan.

Magda terhenyak, diam. “ Kenapa? Iya sudah, kita pulang sajalah. Aku tak suka pakai angek-angekan seperti ini,” ujarnya sembari beranjak dari tempat duduknya.

“Tunggu ! aku benar-benar tidak haus, aku lapar,“ jelasku mengobati rasa kecewanya. Magda menatapku kemudian mencubit tanganku. " Sakiiiit benar, " teriakku . Kuraih tangannya yang nakal itu dan kini kedua telapak tangannya ku gemgam erat sementara mata kami beradu pandang, hanya itu.

Usai "pertengkaran" singkat itu Magda mengawali pembicaraan, “ Zung, aku minta maaf. Aku tak sadar kalau aku sering melukai hatimu,” ujarnya serius. Aku kelimpungan, aku tak tahu apa yang perlu kumaafkan, bingung. Pada hal akulah yang banyak cengkunek.

“Selama ini aku selalu kecewa bila ada nilaiku angka tujuh dan aku selalu berkata “memuakkan”. Itu hanya spontanitas saja, tak ada niat menyinggung perasaanmu,” lanjutnya.

Wah, ini kerjaan Mawar lagi simpulku. Memang hal itu pernah aku utarakan sama Mawar bahwa aku tak suka celutukan Magda itu. Perlahan Magda menarik kedua tangannya dari gemgamanku setelah pramuria restoran menghantarkan minuman pesanan kami. Setelah pramuria meninggalkan kami, dia mengganti judul pembicaraan kami yang terputus.

“Jangan marah iya, cuma ingin tahu saja. Apa benar kamu memanggilmangil Bunga ketika teler di Tampomas itu,?” tanyanya dengan nada selidik.

“Apa perlu harus kujawab,” tanyaku balik .
“Terserah kau kalau nggak juga ndak apa-apa,” ujarnya dengan nada kecewa.
“Baiklah, aku mengakui menyebut nama Bunga. Tetapi seingatku namamu juga aku panggil, Mawar dan Salomo juga. Bahkan guru kita olah raga si botak itupun kupanggil,” terangku.

Magda ketawa cekikikan mendengar nama guru olahraga pak botak genit itu. Kena dia pikirku, kesempatan takkan ku sia-siakan, kini kendali ditanganku. Sementara dia masih cekikian sambil memegang perutnya karena kecapekan menahan geli, aku ganti posisi pindah kesisi kirinya, merapat.
“Ah....kau brengsek, kau ngarang, nggak benar itu. Kenapa otakmu sampai ke bapak itu lagi,?” tanyanya masih menahan rasa geli sambil memukul pahaku. Akupun heran kenapa otakku teringat bapak itu, padahal kami sudah tamat tiga tahun. Kucoba mengulang lagi meremas tangannya yang "lancang".

Bah, segera pulak dia menarik tangannya sambil pelototin aku meski dalam wajah kegelian. Ahhhh...ternyata aku salah tanggap. Segera dia klarifikasi sikapnya itu.
" Banyak orang,” ujarnya berbisik.
“ Berdua, iya dikamar lah, “ candaku.
Plaaak.. tangannya menampar wajahku .
“Minum es campur saja omonganmu sudah ngaco. Pulang ah, malas ngomong dengan orang ngaco. Ayo sudah sore, sebentar papi pulang dari kantor,” ajaknya.

Mulutku kecolongan lagi padahal maksud aku hanya bercanda. Aku panggilkan beca bermesin, aku tahu dia paling benci berpergian dengan jenis beca ini. Aku tahu hatinya kesal, memang aku sengaja. Soalnya kalau naik beca dayung percakapan, abang beca dapat nguping. Beda dengan beca mesin, teriak-teriak kecilpun tak akan didengar. Didalam beca, kutampar wajahnya sepelan ketika dia menampar wajahku direstoran itu. Dia tersentak.
“Sakit nggak,” tanyaku. Dia memandangku tanpa jawab.

Ku ulang lagi ...dan lagi...lagi. Ah...sikapnya sama, diam membisu sambil menatap wajahku. Menjelang rumahnya, dengan tangan kananku membelai rambutnya yang digerai lapas itu, dia masih diam. Magda membiarkan tanganku ketika meraih tangan dan menaruhnya dipangkuanku.

Oh....sore yang nikmat tak salah aku memilih beca mesin pikirku. Sejenak direbahkan pulak kepalanya diatas bahuku. Sempurnalah sudah jalinan kasih yang selama ini mengambang diatas angan.

***
Menjelang persiapan meja hijau sarjana muda, aku dan Magdalena sepakat selama dua minggu tak ada kunjungan, tak ada malam mingguan. Tiba saatnya pengumuman hasil meja hijau kecil, Mawar, Salomo lulus. Magdalena lulus sangat memuaskan, nilai rata-rata 8,5. Aku lulus memuakkan dengan nilai rata2 7,5.
Kami saling memberi ucapan selamat. Aku ucapkan selamat pada Magda didepan papi dan miminya. “Magdalena lulus memuaskan om, aku lulus memuakkan’” ujarku ketawa. Magda tanpa merasa canggung mencubit pinggangku, karena kalimat memuakkan itu. (Bersambung)

Los Angeles, January 2009

Tan Zung

No comments:

Post a Comment