Thursday, January 22, 2009

Magdalena (4)


Angin Malam - Panbers
http://www.youtube.com/watch?v=bUA0fB-Ty8Q
===============
“Magdalena lulus memuaskan om, aku lulus memuakkan’” ujarku ketawa. Magda tanpa merasa canggung mencubit pinggangku, karena kalimat memuakkan itu.
================
Papi maminya mengajak “gerombolan” kami kerumah. Rupanya keluarga ini telah mempersiapkan sejumlah makanan, mulai dari arsik kesukaan ku, saksang, rendang, gulai ayam dan sayur-sayuran.
“ Aku minta mami masak arsik. Aku tahu dari Mawar kamu suka ikan arsik,” ujarnya.
“ Terimakasih,” jawab ku singkat. Sebenarnya aku merasa malu, soalnya jarang ada anak seusiaku suka makan arsik, kampungan.
***
Tugas semakin berat menjelang semester delapan, kala itu kami sebut tingkat empat, butuh kosentrasi ekstra. Magda melaju terus tanpa halangan berarti, nilai setiap mata kuliah tetap memuaskan. Aku masih nilai memuakkan , tujuh koma sekian. Semester delapan kami lewati sukses. Perjalanan kasih berjalan seperti biasa meski kadang kala diiringi letupan-letupan kecil, yah.. selalu aku penyebabnya.

Meski kedua orangtuanya membiarkan kami lepas, tapi kami terkendali. Belakangan Magda sudah mau menanyakan kabar orangtuaku di kampung. “Bagaimana khabar papa dan mama’” tanyanya suatu waktu ketika kami berdua duduk ditaman pinggir kampus.

Usai pengumuman semester delapan, aku dikunjungi paman dari kampung. Dia mengajakku kekampus tempat putrinya kuliah, namanya Sintauli, kuliah di fakultas sastra. Sinta mau maju ke meja hijau sarjana muda.
Satu ketika, setelah cukup lama tidak bertemu dengan paribanku Sinta, secara kebetulan kami bertemu di satu bioskop di Kp. Keling. Dia bersama pacarnya, aku bersama Magda. Inilah awal perkenalan Magda dan Sintauli. Sinta dan teman prianya aku perkenalkan kepada Magdalena, " Ini pariban kandungku," ujarku sembari menyebutkan kuliahnya dimana. Magda menyapa Sintauli dan teman prianya dengan santun sambil menyodorkan tangannya.
***
Sebelum kekampus paribanku, aku sengaja mampir ke rumah Magda. Sekaligus memberitahukan secara tidak langsung kepada tulang kalau aku sudah punya pacar. Dalam hatiku tak usalah paman berharap aku jadi mantunya.
Selama ini memang tulang mengharap satu dari kami 5 bersaudara lelaki menjadi mantunya. Abangku lewat, tak mau dia. Kini giliranku. Kemanalah kutaruh si Magda ini pikirku. Nggaklah, dan lagi, pariban sepertinya adik sendiri, nggak tegaan. Ompung ku juga mengharap Sintauli menjadi isteriku.

Aku perkenalkan tulang kepada Magdalena dan maminya. Aku dan Magda meninggalkan mereka bercakap-cakap diruang tamu, sementara aku dan Magda dipekarangan belakang. Sedang asyiknya bercengkrama dengan Magdalena, maminya keluar memanggil kami berdua dengan wajah ceria. Aku dan Magda saling berpandangan melihat keceriaan maminya.

“Ini tulang mu, anak ompung Parsoltul adik bapauda ompungmu par Balige, kita masih dekat... dekat sekali,” terang maminya ceria. Sebagai anak yang baik Magda tertunduk hormat menyalami tulangku. Ah...kecilkalilah dunia ini. Kemana mereka selama ini, kenapa baru sekarang tarik silsilah/tarombo pikirku. Bagiku semuanya tak lebih sebuah terror.

Kembali aku dan Magda meninggalkan mereka bercakap ria diruang tamu. Magda mengaku tak mengerti penuturan kekrabatan yang baru saja dijelaskan maminya, syukurlah pikirku. Aku mulai gelisah setelah pamanku menuturkan kalau saya dan Magda mar ito ( saudara sepupu, pen) dan tak boleh kawin mengawin.
“ Ibu ku, marpariban( kakak adik/sepupu) dengan maminya Magda, jadi kita keluarga dekat,” terang tulangku.

Bah, kejam kalilah dunia ini, kepalaku pusing. Dalam perjalanan menuju kampus Sinta, ku biarkan paman berceloteh mengurai sisilahnya. Sikap mami Magda berubah drastis setelah bertemu dengan tulangku. “Panggil aku inang uda jangan tante lagi, juga panggil uda yang selama ini kau panggil om,” katanya serius.

Sejak saat itu aku dianggapnya seperti anak, bukan lagi sebagai pacar anaknya, Magda. Mami dan papi Magda tak segan lagi menyuruh aku membeli sesuatu kepasar Peringgan. Bahkan tak jarang memberi aku sejumlah uang.

Ketika itu masa liburan, aku sengaja tidak kerumah Magdalena selama dua kali malam minggu, ke gereja pun tidak. Magda, mami dan papinya yang sekarang berubah menjadi inang uda dan amang udaku tertanya-tanya.

Aku mendengar ketukan pintu berulangkali dan memanggil namaku.” Zung, tan zung... aku Magdalena,” suaranya pelan. Ku singkapkan gorden jendela hasil sulamannya yang segaja di buatkan untukku. Tidak seperti biasanya Magda selalu ke ruang tamu bila menemuiku. Dia tidak mau dituduh macam-macam oleh anak kost lainnya bila bertamu dikamarku. Padahal hampir semua anak kost temanku membawa wanita gonta-ganti masuk kekamar mereka.

Aku bukakan pintu, tapi sikapku pun kini berubah. Gairahku hilang dihancurkan oleh aturan-aturan adat yang menurutku kala itu tak beradab.

Siapakah yang tak beradab, aku kah atau adat tak beradab terhadap aku dan Magda?..Uhh... ternyata Magda juga merasakan perubahan diriku. Tetapi pemahamnya tidak seperti aku memahami arti kekerabatan.

Aku menyesali kenapa aku terlahir sebagai orang batak toba. Seandainya aku orang batak Karo hal ini tak akan terjadi. Dalam adat batak karo, saat awal berkenalan selain menyebut marga ayah selalu menyebut marga ibunya. Misalnya, Tarigan bere-bere Siahaan. Artinya dia marga Tarigan dilahirkan oleh br Siahaan. Jelas bukan?. (Bersambung)

Los Angeles, January 2009

Tan Zung

arsik = masakan (ikan) khas batak

No comments:

Post a Comment