Thursday, January 22, 2009

Magdalena (7)

http://www.youtube.com/watch?v=JMkFjYRWM4M"

================
Aku letih, pikiran kusut, aku tertidur membawa sejuta kenangan. Tak tahu apa yang akan terjadi esok dengan Magda, inaguda dan amangudaku, orang tuanya Magda.
================
Esok sore harinya menjelang malam, dengan berat hati kupenuhi ajakan Magda kerumahnya. Menurut dia mami-papinya yang mengajak aku kerumah entah untuk apa, Magdapun tak tahu. Tak ada jalan lain untuk mengelak undangan papi-maminya yang sempat kutolak itu. Bijak pula Magda, dia suruh aku mengantarnya pulang. Kakiku kini terikat oleh motornya, mau tak mau aku harus ke rumahnya sekaligus mengembalikan motor itu.

Inanguda menyongsongku keteras rumah tempatku dan Magda empat tahun menyelesaikan pekerjaan rumah masa es-em-a dan perkuliahan. Dalam kurun waktu empat tahun itu pula benih kasih berakar dan bertumbuh meski pada akhirnya menghasilkan buah yang sangat pahit, simalakama. Dilanjutkan, aku melawan nasehat ibuku. Dihentikan, Magda dan aku hangus terbakar dalam lautan api neraka. Tapi aku harus mengambil keputusan satu diantara dua, harus.!

***

"Darimana saja kau amang, kata itomu Magda kau sedang sakit, sakit apa ?" tanya tante ehhh... inang uda. Panggilan "amang" ini jugalah yang membulatkan tekad ku harus jauh dari itoku Magda. Magda menyusul maminya keteras. Sore itu Magdalena tampak segar meski matanya sedikit memerah. Rambutnya dikepang dua. Tubuhnya dibalut dengan blues warna pilihanku biru muda dipadu dengan celana blue jean, tampaknya dia all out.

Ketika itu sepulang dari kuliah --tahun ketiga kisah kasih kami terjalin-- Magda mengajakku ketoko langganan keluarganya di Kesawan, Jl. Surabaya. Disuruhnya aku memilih warna blues yang akan dikenakannya minggu depannya saat ulangtahunku yang keduapuluh tiga.

"Sudah tua kau," katanya ngenyek sambil mengukir senyum kala itu. Semerbak baunya sore itu mengingatkanku "tragedi' malam kemarin. Aku pikir itulah yang pertama dan yang terakhir.
***
Ketika aku tiba dirumah Magda, maminya memberitahukanku, bahwa Magda belajar terus sepanjang malam, "tuh lihat matanya merah," ucap maminya.
Ah.....enggaklah, kurang tidur tidak sesembab itu, jawabku dalam hati. Inanguda tak tahu kalau tadi malam kami hancur-hancuran dengan ito ku Magda. Aku jamin sejuta persen, Magda terus menangisi hatiku yang mulai dingin hampir membeku juga menyesali sikapku yang kembali kekehidupan lama, mabuk.

***
Amanguda ku , papinya Magda menyapaku dan bertanya persis sama dengan pertanyaan inanguda sebelumnya, dari mana saja tak pernah lagi kelihatan.

Ayohlah mami aku lapar ajak Magda menjeng sembari melirikku. Aku dan Magda menyusul papinya keruang makan. Lagi-lagi arsik kesukaanku terhidang disana. Ah.... arsik tak lagilah...hatiku kini telah marsik(kering, pen). Tetapi, aku tak mau mengecewakan inangudaku yang baik, kutunjukkan bahwa aku masih menyukai ikan arsik masakannya itu. "Ayo amang...ambil lagi," ajaknya sembari mendekatkan piringnya kedepanku.

Sembari menikmati makan yang terasa pahit dan nyangkut ditenggorokan, papi Magda menyelah pembicaraan aku dan Magda tentang dosen akuntasi kami yang super galak. Para mahasiswa menjulukinya babi nias, padahal dia orang batak. Akupun tak mengerti kenapa nggak disebut babi toba atau babi karo.

" Apa rencanamu amang. Nggak ada rencana cari kerja sambil kuliah. Tahun depan sudah tinggal menyusun skripsi. Aku pikir itu sangat membantu angkang dikampung," katanya serius.

Aku diam. Tak sedikitpun dalam benakku utk menyelesaikan kuliahku setidaknya satu semester ini. Aku ingin istrahat melepaskan kepenatan dan ketersiksaan jiwa yang kini kering kerontang.

Amanguda melanjutkan pembicaraanya, sekaligus menginformasikan bahwa bulan depan kantor gubernuran membuka lowongan untuk tingkat es-em-a dan sarjana muda jurusan akuntansi. Dia memang birokrat dikantor Gubsu menjabat salah satu kepala biro. Sesungguhnya inilah kesempatan terbaikku untuk meniti karier sekaligus membantu orangtua membiaya kuliahku. Aku masih diam.

"Bagaimana amang....,"tanyanya lagi. Hati dan pikranku sumpek tapi harus ku jawab.
"Tanggunglah amanguda, tahun depan skripsiku sudah selesai. Nantilah kalau tammat aku cari kerja," dalihku. Magda, inanguda dan amanguda memaklumi alasanku. Tapi mereka tidak dapat menilik hatiku yang terdalam, ada luka.

Selera makanku hilang bukan karena sakit, tetapi makanan terasa pahit ditelah. Kejadian malam sebelumnya dengan Magda masih menyisakan keperihan. Usai makan, Magda bergerak mengumpulkan piring bekas makanan kami. Keluarga ini tak mempunyai pembantu, meski menurutku sesuai dengan keberadaan dan jabatannya, membayar gaji dua pembantu pun mampu.

***
"Kedokterlah amang, kelihatan wajah mu pucat "kata inanguda.
Iya.. pucatlah sejak tadi pagi nggak ada yang masuk kedalam perutku kecuali air putih tok, bisikku dalam hati. Magda diam saja, dari wajahnya aku menangkap pesan, kecewa. Memang semangat hidupku telah terhilang.

"Bang minta tolong antar aku kepasar aku mau beli buku tulis,' kata Magda. Aku tahu itu hanya sandiwara. Dua hari lalu kami baru dari toko buku membeli lusinan buku tulis. Inanguda senang mendengar Magda memanggil aku abang.

Dikiranya Magda memangilku abang bermakna ito. Nggaklah inanguda bisik ku dalam hati. Inanguda tak tahu sejak tadi malam Magda memanggiku abang bukan bermakna ito, tetapi abang sayang.
Dalam perjalanan menuju toko buku, Magda bermohon mampir kekamarku. Alasannya, malam sebelumnya malam dia ketinggalan pengikat rambutnya. Ito ku ini ketagihan rupanya pikirku. Belum puaskah tadi malam dia menyiksaku tanyaku dalam hati.

"Bang, kita sudah kelewatan, balik lagi," ujarnya.
Memang hal itu aku sengaja, aku tak mau lagi tersiksa kali kedua, tidak ada lagi relung hati yang tersisa. Tiba di tempat kostku, tak sediktpun dia merasa canggung masuk kekamarku. Dia menemukan foto-foto yang kuacak-acak tadi malam masih berantakan diatas meja belajarku. Aku lupa menyimpannya lagi tadi malam.

"Kok berantakan begini bang," tanyanya.
"Mawar tadi pagi mampir minta foto kita waktu es-em-a," ujar ku berkelit.
"Mawar....?! Dia kan baru kemarin dulu ke Pekanbaru. Kau bohong iya," katanya seraya mencubit pinggangku. Olala... apalagi ini pikirku. Tapi cubitannya kok nggak ngaruh, tak seperti dulu.

Sepertinya seluruh tubuhku sudah kebal, mati rasa. Aku segera mengajaknya pergi.
"Ayolah sudah ketemu pengikat rambut mu,?".
"Abang ngusir ya " balasnya
Iyaaa... salah lagi...salah lagi.
"Nanti tokonya tutup," jawabku

"Bang, aku baru ingat buku tulis ku masih punya," katanya tersenyum.
" Makanya aku heran, dua hari lalu kita beli buku selusin kok sudah habis? Padahal tak selembar pun surat terlayang padaku atau mungkin kau pakai untuk pacar yang lain, ?" godaku lagi.

Magda kaget....sembari tertawa renyah
" Kirim surat untuk pacar lain...pacar yang lain siapa ? Jangan mengada -ada bang. Sejak kapan aku berteman dengan pria lain," ujarnya geram.

" Banyaklah, Salomo, Jaudut dan Bistok dan entah siapa lagi, manalah ku tahu," balas ku. Lagi-lagi dia marah mukanya merah padam. Aku siap-siap mengelak kalau-kalau dia menampar aku lagi. (Bersambung)

Los Angeles, January 2009

Tan Zung

http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment