Thursday, January 22, 2009

Magdalena (8)

http://www.youtube.com/watch?v=NaMuBX4aMmw

==============
Lagi-lagi dia marah mukanya merah padam. Aku siap-siap mengelak kalau-kalau dia menampar aku lagi.
=============

Sepertinya Magda kehabisan kata tak tahu apa yang harus di ucapkan selain menatap dan menatapku. Lagi-lagi Magda mengeluarkan senjata ampuhnya untuk meluluhkan ku, airmata. Dia sadar itu sejak peristiwa tadi malam.

"Bang, bolehlah abang bergurau tapi tidak harus memfitnah. Abang sendiri tahu selama kita di es-em-a hingga sekarang hanya abang yang selalu berkunjung ke rumah," katanya dengan bibir bergetar dan wajah memelas.

Kupikir cepat kali ito ku ini "dewasa" tak lagi gasa-gasa on seperti beberapa hari terakhir ini. Aku dari tadi sudah siap-siap menerima tamparannya meski itu hanya penyampaian kasihnya, tapi tak kunjung jadi.

Ah...sepertinya lukaku dipulihkan oleh wajahnya yang selalu teduh itu dan memang sukarku lupakan. Keteduhan wajahnya mirip ibuku di kampung. Rambut panjang, ketebalan serta warna hitam pekatnya nyaris sama dengan rambut ibuku. Ohhhh cinta.

***
Skenario mulai tersusun dibenakku, bertingkah sejadinya angekin dia habis-habisan sampai dia benar-benar muak melihatku. Kalau nilai memuakkan di sekolah antara tujuh hingga tujuh koma lima, kali ini harus ku ciptakan nilai sempurna, sepuluh.

Tapi skenario ini hilang seketika, iya itu tadi karena tak tega. Kayaknya aku mencoba membohongi hati kecilku. Mestikah aku harus melukainya? pikiranku berkecamuk sementara kami masih beradu tatap dengan sejuta rasa.

Masih dalam tatapannya aku mencoba mengurai dalam hati apa sih sebenarnya cintai itu. Konon, cinta adalah anugerah yang paling sempurna yang dimiliki insan sempurna, manusia. Tapi aku....? Mestikah harus menodai kesempurnaan itu. Mestikah cinta harus selalu berakhir dengan pernikahan?. Magda yang polos dan tulus telah menitipkan cinta kasihnya kedalam relung hatiku yang tertanam sempurna.

Aku tertunduk lesu leherku tak kuasa lagi menanggung beban berat dikepala ku, mumet. Dalam keheningan malam itu kubiarkan dia menatap sepuasnya. Tatapan matanya meluluhkan hatiku lagi, uhhhh.

Lagi...lagi tak kuasa menahan getaran sukma. Aku ingin segera melupakan persoalanku dengan Magda karena faktor tabu itu, adat. Tetapi sukar teramat sangat. Mengapa adat menjadi penghalang bahkan menjadi racun atas aku dan Magda yang terlahir kedunia atas nama cinta?!.
Adat dan agama hanya sebagai institusi sekedar pemberi legitimasi, simpulku.

Banyak bahkan berjuta anak manusia didunia beranak pinak tanpa legitimasi adat dan agama. Aku coba meng excuse kisahkasih ku dengan Magda. Tapi persoalan tidak sesederhana itu. Saya dan dia hidup ditengah adat dan agama pikirku lagi, ah...rumit kalilah hidup ehhh cinta ini.

Menurutku cinta itu suci tidak seharusnya dinodai oleh rasa ego, danl agi kata buku, cinta harus ada pengorbanan. Tapi siapa yang ego dan harus berkorban?. Siapa ego siapa.?. Hematku mestinya adat dan agama harus mau berkorban juga. Ah...kesimpulanku malah ego pula.

Kedua orangtuaku dan Magda keluarga adalah pelakon adat dan religius nyaris sempurna. Ayahku dikampung raja parhata dan sintua, sementara amanguda, orangtua Magda, pemuka masyarakat karena jabatannya dan juga keluarga religius.

Malam ini diruang sempit dan pengap karena cinta,dua anak manusia duduk gelisah sekaligus mencekam.(Bersambung)

Los Angels, January 2009

Tan Zung



http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/

Angek : kesal
Gasa-gasaon: sangat marah
Raja parhata: juru bicara adat

No comments:

Post a Comment