Friday, January 30, 2009

Magdalena ( 42)

http://www.youtube.com/watch?v=wsWny6nOqqE
Rain and Tears

======================
“ Kenapa abang masih simpan foto Bunga, dia kan sudah menikah.!?”
“ Dia sudah punya anak iya...?” tanyaku
“ Bang, jawab dulu pertanyaanku
, kenapa fotonya masih abang simpan.”?
=====================

“ Itu hanya kelupaan, saja. Iya sudah aku buang nanti, daripada kita berantuk terus.”
“Jadi dimana kau taruh surat-surat dan foto itu.”
“ Sudah aku buang,” ketusnya
“ Baguslah, aku mau pulang dulu.”
“ Abang langsung pulang kerumah, jangan minum lagi.”
“ Kan sudah lama nggak. Magda bilang jangan ini jangan itu aku turuti. Aku hitung ada sebelas perintahmu semuanya aku turuti. Tuhan saja punya perintah hanya sepuluh, itupun tak bisa semua aku turuti. Tahu nggak Magda, perintahmu yang paling susah kuturuti dan tersiksa; kalau nonton di bioskop tangan harus dilipat, pandangan kedepan; tak boleh naik beca dengan perempuan lain, kecuali dengan nenek-nenek. Nilai matakuliah harus angka memuaskan. Macam mana lagi aku meraih nilai memuaskan tiap hari pacaran. Pacarku pun menangis terus.!”

Magda tertawa lepas menyambut ocehanku, guncangan tawanya sama dengan ketika menangis. Magda kecapekan menahan tawanya, akhirnya tergeletak diatas dadaku. Aku berujar dalam hatiku, benar juga kata orang bijak; banyak jalan menuju Balige, ehh Roma. Buktinya, hanya ngoceh saja, kepala tergeletak diatas dada...hmmmm.

“Abang nggak boleh bawa-bawa nama Tuhan,” ujarnya masih ketawa.
“ Dalam dunia percintaan nama siapapun boleh dibawa. Pernah dengar nggak orang jatuh cinta mengobral sumpah, demi Tuhan !”
“ Nggak ...” jawabnya singkat.
“ Magda juga bawa-bawa nama......”
“ Aku nggak...ah” potongnya serius masih menahan tawa.
“ Baru saja kamu bawa -bawa nama Rosdiana...Surgana...Astuti dan
Mega, “ kataku enteng berlagak serius.
***
KESIBUKAN menyelesaikan skripsiku dalam dua minggu terakhir, selama itu pula aku tidak bertandang kerumah Magda. Magda mengeluh, dirinya seperti terpenjara dengan aturan-aturan baru papinya. Magda mulai “berontak”.
Setiap pulang kuliah, Magda tidak langsung pulang kerumah, juga tidak ketempat kosku. Dia selalu bersama Mawar. Aku merasa terganggu dengan situasi ini, sementara kami bertiga dikejar tenggat waktu penyerahan skripsi.

Magda dan Mawar tak pernah mau memberitahukan kemana pergi dan apa yang mereka lakukan. Jawaban keduanya selalu sama, kerumah tante. Akupun setiap sore harus ke rumah dosen pembimbing menempuh jarak kurang lebih lima belas kilometer pergi pulang sore harinya. Selama itu pula komunikasi sedikit macet. Usai kuliah aku “paksa” Magda kerumahku tanpa Mawar.

Menurutnya, Magda merasa tersiksa karena kebebebasannya dipasung oleh kedua orangtua. “ Aku harus memberitahu siapa temanku kalau aku mau keluar; harus dirumah sebelum pukul lima sore. Kalau belanja kepasar harus dengan adik Jonathan. Aku mulai bosan dirumah, aku juga ingin berhenti kuliah. Aku sakit hati diperlakukan seperti anak kecil. Abang juga sudah hampir dua minggu tak pernah kerumah, hahhh... nggak taulah....” keluhnya.

“ Jadi, kamu juga marah karena aku tidak kerumah.? Magda kan tahu, selama sepuluh hari ini aku sangat sibuk mengerjakan skripsiku. Aku harus pergi pulang kerumah dosen pembimbing. Kita sudah sepakat untuk menyelesaikannya tepat waktu dan kita harus bijak membagi waktu. Aku setuju usulmu dan Mawar, makanya akupun membatasi diri datang kerumahmu. Magda juga sedang sibuk menyelesaikan skripsimu, bukan?”

“ Nggak, aku sudah hentikan sejak minggu lalu, aku juga mau berhenti kuliah.”
“ Berhenti kuliah..? kau gila. Magda, keputusan mu memuakkan, kau pesong..., gila...!”
Magda menutup kedua kupingnya berseru; “ abang .....cukuuuppp, iya aku gila...aku pesong..... abang juga tak mau tahu perasaanku.”

Magda tertunduk lesu, dia membiarkan butiran air mengalir membasahi wajahnya. “....rain and tears both are shown for my heart, there’ll never be a sun.”

Aku sadar, aku begitu egois. Aku mencium ada luka yang ternganga dalam relung hatinya. Gemuruh teriakan hatinya menembus hingga sanubari, ya , aku merasakan getarannya. Magda, “ sinar matamu bertutur banyak; hatimu menyimpan luka, katakanlah luka apa yang kamu pendam.?”

Magda diam, nafasnya sengal menahan beban berat. Berulangkali aku bujuk untuk bertutur jujur, derita apa yang menyiksa dirinya. Dia hanya menatapku dengan pandangan kosong. Dia berusaha mau membuka luka yang terbungkus itu, tetapi dia tak mampu membuka mulutnya, kecuali desahan panjang.

Dada terasa sesak, aku keluar dari kamar ingin menenangkan pikiran. Pikiranku betul-betul bego apalagi setelah mendengar keputusannya; berhenti kuliah dan menghentikan skripsinya. Otakku mandek, tidak seperti biasa, aku dapat segera mencairkan suasana. Kali ini benar-benar beku. Aku keluar masuk kamar, aku gelisah bercampur kesal, Magda “mogok” total.

Bicara tidak, senyum nggak, airmata juga tidak, entah dimana dan kapan ditumpahkannya. Apakah selama hampir dua minggu itu dia juga menghamburkan airmatanya. Kalau iya, kenapa.?” Ah...pikranku semakin berkecamuk, liar.Aku mencium keningnya pamit mau ke warung membeli makan siang .( Bersambung)

Los Angeles, Jauary 2009

Tan Zung
http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment