Monday, February 16, 2009

Dosenku "Pacarku" (1)

http://www.youtube.com/watch?v=3WVj3GHkOQI

Orang yang diabaikan adalah luka yang paling menyakitkan dalam hidup, melebihi dari kematian. Dua bulan lamanya, aku"tersingkir" dari sahabat dekatku. Sinta, Mawar dan tentu saja Magdalena tak lagi menjadi sahabat bersendagurau, bertukar pikiran bahkan berkecan manakala bara cinta bergelora. Semuanya telah padam dan beku dalam debu kematian.

Tidak ada yang perlu disesali kecuali menjalaninya mengikuti alur sungai hingga kesamudera luas. Magdalena, perasaannya semakin pulih setelah ditinggal ayahnya menyusul "perceraian" kami. Tegur sapanya sering meluluhkan hatiku. Sering merasa bersalah dengan sikapku masa lalu.

Aku menyadari telah menorehkan luka dalam sanubarinya. Penyesalan selalu datang terlambat. Aku hanya menyesal, keputusanku mendahului pertimbangan matang. Magdalena membuktikan kesungguhannya mencintaiku, dulu.

Albert -pria pilihan ayah Magdalena--awal malapetaka itu "menggelepar" ketika Magda bersikukuh mengatakan "no way" hingga akhir hidup ayahnya, yang juga punya modal merusak hubunganku dengan Magda. Alberth pergi tanpa setitik nokta kenangan dengan Magda, kecuali bongkahan kosong.

Kini, cintaku membubung tingi melebihi cinta sebelumnya kepada Magdalena. Aku merindukannya kala aku sendirian menekuni sisa perkuliahanku. Ada hasrat ingin menyatukan hati yang remuk; namun itu sesuatu yang mustahil, sama mustahilnya menyambung rambut yang telah dipotong pertanda kehancuran hatinya.

Untuk melepaskan kerinduanku, hari demi hari dalam buku kecil kutorehkan penggalan kalimat yang masih dapat kuingat kata-kata romantis yang keluar dari mulut Magda; juga kata-kata penyesalan;

I'm sorry for blaming you for
everything I just couldn't do
And I've hurt myself by hurting you
Some days I feel broke inside but I won't admit
Sometimes I just want to hide `cause it's you I miss
You know it's so hard to say
goodbye when it comes to this
****
Entah mengapa, Mawar--sahabatku dan Magda-- menjaga jarak denganku sejak hubunganku berakhir dengan sahabatnya Magdalena; tidak sekalipun Mawar berkunjung kerumah seperti sediakala; juga tak pernah menanyakan perihal skripsiku yang terbengkalai apalagi tentang kesehatanku.

Memang, Mawar masih tetap menyapaku jika bersua dikampus atau dalam pelbagai kesempatan, namun kehangatannya sangat berbeda dengan masa - masa ketika aku bersahabat dengan Magda.

Sepanjang ingatanku, aku belum pernah sekalipun menyakiti hatinya, bahkan Mawar sering memujiku bila aku menyelipkan humor ketika setiap percakapan kami mengalami kebuntuan. " Bang, berbahagialah perempuan yang menjadi isterimu, ada saja humor abang mencairkan suasana," ucapnya suatu ketika.

Masa-masa perawatanku sejak dirumah sakit dan dirumah perawatan dukun patah tulang hingga perwatan dikamarku, menurutku, sedikit telah terajut kasih. Kuncup bunga mulai mengembang, kelopak mulai merekah meskipun belum sempurna.

Namun, bagiku kini hanya sebuah misteri yang sukar kutelusuri, atau barangkali saja aku hanya berhalusinasi atau inikah yang diisyaratkan Sinta paribanku saat dia memaki dan mengutukiku, karma,?. Ketika itu amarah Sinta meluap saat aku mengakhiri hubunganku dengan Magdalena. Melalui teman dekat Mawar aku berusaha mencari tahu, kenapa sikap Magda begitu dingin akhir - akhir ini. Mawar tetap saja bungkam, gayung tak bersambut.
***
Kepalaku pusing, terpaksa aku main "kayu". Usai kuliah - masih dalam ruangan-kuletakkan secarik kertas di kursi Mawar dengan tulisan besar " Aku mau bicara denganmu di kantin sekarang juga, atau, aku berteriak-teriak dikampus ini." Kalimat yang sama kutuliskan dan kuletakkan di kursi Magdalena.

Mereka saling berpandangan, Magda berceloteh," ihhh..abang.... pesongnya( sinting, pen) kambuh..."
"Iya, aku gila....gara-gara kalian berdua" ucapku ketus ketelinga Magda seraya meninggalkan mereka menuju kantin.

Tidak lama aku menunggu, Magda dan Mawar menyusul, mereka duduk menghadapku, wajahku murung. Tapi sikap "kasar" ku tak bertahan lama setelah melihat kedua wajah Magda dan Mawar ketakutan.

Bukan hanya mereka berdua ketakutan, pemilik kantin pun bibirnya bergetar ketika menanyakan apa pesanan ku. Dia beringsut pergi, setelah mendengar jawabanku setengah berteriak, "nggak, aku nggak punya pesanan."

"Bang, kita bicara dirumah saja, ada apa kok marah-marah seperti ini, malu dilihatin kawan-kawan," ujar Mawar, sementara Magda menatapku tajam, hingga akhirnya sedikit cairan bening melabur bola matanya, "Iya, bang kita bicara dirumah saja," ujarnya tersendat. Magda berdiri dan menarik tanganku lembut, " ayo bang, kita bicara dirumah." ( Bersambung)

Los Angeles, February 2009

Tan Zung
http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment