Monday, February 16, 2009

Dosenku "Pacarku" (5)

http://www.youtube.com/watch?v=788H0K5KrYI

And I would do anything for love/I'd run right into hell and back /I would do anything for love/I'd never lie to you and that's a fact /But I'll never forget the way you feel right now,/Oh no, no way /And I would do anything for love, but I won't do that /No, I won't do that Anything for love /Oh, I would do anything for love
=============
Keduanya kaget ketika kuberitahu, perempuan itu adalah dosen sekaligus pembimbing skripsiku. " oh...iya tetapi wajahnya masih muda, tapi "style" nya seperti anak remaja, "ujar Ira tertawa
==============
Ira dan Sari menyiapkan serapan pagi. Sembari menikmati serapan, aku tanyakan kenapa mereka bekerja malam sebagai pramuria.
"Apakah pekerjaan itu rendah bang dan salahkah kami bekerja sebagai pramuria,?" tanya Sari. Aku merasa terpojok dengan pertanyaanku, pada hal sesungguhnya tidak ada sedikitpun dalam benakku merendahkan pekerjaan apalagi menyalahkan mereka. "Oh...bukan..., maksudku, kenapa tidak kerja lain yang lebih ringan ? Bukankah kalian terlalu letih karena pagi harus kuliah.?"

"Setiap perusahaan yang kami lamar membutuhkan pendidikan minimal sarjana muda. Sebenarnya, kami merasa berat dengan pekerjaan ini, tetapi keterbatasan keuangan orangtua, tidak ada pilihan lain. Memang, pada umumnya orang menilai kami perempuan penghibur dan murahan. Abang boleh tanyakan teman-teman, apakah kami pernah "melacurkan" diri hanya karena uang. Kami masih mempunyai kehormatan dan harga diri sebagai perempuan. Pekerjaan ini akan kami akhiri setelah tamat sarjana muda. Kami rencana mau mencari pekerjaan di kantor atau untuk sementara mengajar, doakan bang."

Hhmmm...sungguh mulianya perempuan di depanku, semangat juangnya melebihi dariku yang masih"menetek" dari orangtua. Aku sungguh kagum, sama kagumnya dengan temanku satu kampung, Ramos, mencari nafkah dan uang kuliah dengan pekerjaan menarik beca dayung. Bagi mereka, tak ada pilihan bekerja sebagai pramuria, setelah beberapa kali gagal melamar sejumlah perusahaan.

Aku merasa bersalah dengan pikiranku selama ini, bahwa mereka adalah perempuan penghibur sekaligus menjajakan dirinya. Aku juga tak mengetahuinya jika mereka beberapa kali mengajakku pulang bersama hanya ingin perlindungan diri.

Menurut Sari dan Ira, setiap usai kerja mereka selalu dipalakin oleh preman diskotik. Jika mereka menolak preman tak segan-segan memukuli mereka. Bahkan menurut Ira, preman-preman itu beberapa kali berusaha mengajak berbuat mesum.

" Bang, inilah resiko pekerja malam seperti kami. Pikiran mereka semua jorok, mereka menganggap semua perempuan dapat di beli dengan uang dan ke "jagoan" nya."

"Apakah kalian tak pernah melaporkan kepada manager atau ke petugas keamanan,?"
" Setali tiga uang bang.!" jawab mereka sinis.

" Preman itu segan pada abang, makanya kami sering ajak pulang bareng. Tidak ada niat jelek, abang saja yang sombong, cuek. Beberapa bulan lalu sebelum bar dibuka, kami dan kawanan preman itu kebetulan nonton televisi. Kami melihat abang sedang berlaga dalam perguruan beladiri dan menerima piala kejuaraan. Satu diantara preman itu mengaku, dia dulu murid abang."

" Ohhh...jadi sekarang aku menjadi "bodyguard" kalian, tanpa bayaran pula, ?" ujarku bercanda.
" Bukan begitu bang, kami mau bayar. Mendingan kami bayar kepada abang daripada ke pada preman lontong itu," ujar mereka serius sembari menambahkan, bahwa mereka kerja hanya pada hari rabu dan akhir pekan.

Aku menyanggupi menjadi"bodyguard" mereka tanpa bayaran, dengan catatan aku tak mau tidur di rumah mereka, keduanya setuju. Wajah mereka memancarkan keceriaan sangat; keduanya merangkulku serta menciumi pipiku hingga aku tergeletak di sofa sederhana mereka.
" Hoiiii ...sudah.... aku sesak," teriakku. Entah siapun yang mau kubalas ciumannya, keduanya sama-sama cantik, wangi pula.
***
Susan, ibu dosenku, tidak sedikitpun menunjukkan perubahan sikap sebagai dosen ketika bertemu denganku di halaman kampus. Aku mencoba "usil", setelah ku lihat tak ada orang sekitar. Aku sapa dia dengan hanya menyebut namanya tanpa ibu. Susan membalas dengan senyuman, " kamu datang ke ruanganku nanti pukul empat,"ujarnya sambil meninggalkanku.

Aku menemuinya sesuai dengan waktu yang ditentukan. Jantungku terasa mau copot melihat mantan pacarku Magdalena ada di ruangannya. Meski sebelumnya kami sudah saling menyapa, namun pertemuan di ruangan ibu dosen membuatku kaget setengah mati. Apa pula ulah ibu dosen ini, pikirku.

Magda menatapku dingin, aku melihat matanya sembab sepertinya baru mengeluarkan air mata. Tidak lama kemudian, Magda meninggalkanku dan ibu dosen. "Permisi bang," ucapnya pelan sembari menolehku.

"Abang keterlaluan! Prempuan sebaik dia kau hancurkan hidupnya hanya karena cemburu. Dia telah membuktikan bahwa pria yang kau curigai itu, Magda tolak mentah-mentah, dan lelaki itu telah kembali ke kotanya, " tegurnya setelah Magda berlalu dari ruangan.

" Iya bu, aku juga sangat menyesal, tetapi semua telah terjadi. Sseandainya dia mau memaafkan, aku bersedia kembali merajut kasih dengan dia. Tetapi itu menurutku itu sesuatu yang mustahil."

"Iya, aku mengerti perasaannya. Aku juga telah berusaha membujuknya supaya kalian kembali seperti sediakala, tetapi dia belum mau menjawabku "ya" atau "tidak".
"Zung, maafkan aku, jika mencampuri hubunganmu dengan Magda. Hampir seluruh mahasiswa angkatanmu tahu hubungan kalian serius, bahkan sebahagian dosen mengetahui kalau kalian akan segera menikah."
" Cinta tidak selalu berakhir dengan pernikahan, bukankah begitu bu....?"

" Ok, show must go on, bagaimana skripsimu, sudah kau perbaiki.?" tanyanya mengakhiri percakapan kami tentang Magda .
" Berikan aku kesempatan seminggu lagi bu, aku janji akan segera menyelesaikannya." Susan menahanku ketika hendak keluar dari kantornya. Susan mengajakku ke restauran di sebuah hotel, menurut ukuran mahasiswa cukup mewah. (Bersambung)

Los Angeles. February 2009
Tan Zung
http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment