Thursday, February 26, 2009

Dosenku "Pacarku" (43)


" Mestinya dia minta baik-baik !" ucapku iseng.Lagi-lagi Susan menampar wajahku sambil membalikkan tubuhnya, masihdipangkuanku. Susan mogok lagi.
===========
" Jadi hanya karena mau dicium, kamu jadi trauma dan tak mau berteman dengan pria manapun sejak es-em-a hingga perguruan tinggi. Malang sekali nasibmu.Kamu lewatkan masa-masa indah yang tak akan pernah kau ulang lagi. Ah..aku pikir Susan pasti ada kelainan." ucapku.

" Zung...kamu mau dengar atau mau mengguruiku,?" tanyanya.
"Mau, cuma hatiku nggak enak...aku benci kali sama dia itu, kalau aku ada saat itu, aku hajar habis dia, anak kurang ajar itu. Kecil- kecil,mau minta ciuman, masa kau dianggap murahan."

Susan tertawa mendengar ocehanku, "bang..mau aku teruskan nggak ?"
" Iya , teruskanlah, palak kali aku sama pria itu." ocehku lagi.

" Sejak saat itulah bang, aku tak mau bertemaan dengan pria manapun hingga aku tammat dari perguruan tinggi."
" Jadi bagaimana Susan menikah dengan suamimu.?"

Susan menghela nafas, sepertinya melepaskan kepenatan jiwa yang sangaat berat, aku bujuk dia dengan lembut, aku bisikan ketelinganya, " Susan, teruskan aku masih mau mendengar ceritamu, ayolah...., atau aku buatkan dulu teh hangat untukmu.?"

Sebelum aku bangkit, Susan mendekapku, nafasnya sengal," bang aku mau tidur, aku capek." ujarnya.
"Susan , aku juga lelah, tetapi aku telah siapkan waktuku hanya untuk mendengar kisahmu, bukankah Susan mengatakan akan mengungkapkan sebagai ungkapan cintamu yang tulus padaku,? Susan ayo...teruskanlah...!"

Zung, ayahku sangat berambisi agar aku menjadi perempuan terpandang ditengah keluarga besar ayahku. Setelah aku diwisuda sarjana, ayah memberangkatkanku ke California melanjutkan studi lanjutan. Ayah pada saat itu berkeja di perkebunan menjabat salah seorang direktur.

Tahun kedua, ketika aku di California ayahku mengalami kecelakaan pulang dari Jakarta. Tidak biasanya ayah pergi atau pulang dari Jakarta mengenderai mobil. Tapi naas bagi ayah, ditengah perjalanan sopir ayah mengantuk, mengakibatkan mobil ayah jatuh kejurang. Hampir kami tidak mengenal wajah ayah setelah berhasil diangkat dari jurang kedalam puluhan meter.." tuturnya.

Susan diam sejenak, manik-manik bening keluar dari kelopak matanya. Aku biarkan dia dalam isakannya. " Susan berapa bersaudara," tanyaku lembut sambil mengusap airmatanya.

" Nggak punya bang, aku putri tunggal," jawabnya, nafasnya masih sesak sembari melanjutkan kisahnya.

Sebenarnya aku nggak mau lagi melanjutkan sekolahku setelah ayah meninggal. Ibu nggak setuju keputusanku, aku harus menyelesaikan sekolahku, bahkan ibu mau menjual rumah peninggalan ayah untuk biaya sekolah ku di California.

Dua minggu kemudian aku berangkat ke California. Semua biaya perkuliahanku lancar, juga biaya kehidupan sehar-hari bercukupan. Aku tidak tahu berapa nilai rumah yang terjual, mungkin ayah masih mempunyai tabungan, pikirku. Tapi Ibu tak pernah memberitahu, setiap aku menanyakannya. Selama di California, aku berusaha agar secepat mungkin S 2 ku selesai.

Aku ingin segera pulang, kasihan dengan ibu yang ditinggal sendirian. Meski aku dihimpit rasa rindu kepada ibu dan kesedihan atas kepergian ayah yang begitu cepat, aku berusaha tegar menjalani hidup. Usahaku tak sia-sia, aku berhasil menyelesaikan es-dua-ku tepat pada waktunya.

Sebelum wisuda aku kaget ketika menjemput ibu di airport. Ibu datang bersama om Hendra . Ibu tidak pernah memberitahukan kalau dia datang bersama Hendra, teman sekantor dengan ayah masa hidupnya.

Sebelum aku menanyakan kepada ibu, kenapa om Hendra ikut bersamanya, Hendra lebih dulu menjelaskan "kebetulan aku tugas ke Arizona, ibu mengajaku sama. Sebenarnya, dinasku baru minggu depan," terang Hendra. Aku merasa lega, meski pikiranku sedikit curiga. ( Bersambung)

Los Angeles, February 2009

Tan Zung

No comments:

Post a Comment