Thursday, February 26, 2009

Dosenku "Pacarku" (44)


Sebelum aku menanyakan kepada ibu, kenapa om Hendra ikut bersamanya, Hendra lebih dulu menjelaskan "kebetulan aku tugas ke Arizona, ibu mengajaku sama. Sebenarnya, dinasku baru minggu depan," terangHendra. Aku merasa lega, padahal pikiranku sedikit curiga.
================
Aku mengantarkan Hendra ketempat saudaranya di "Orange County", perjalanan memakan waktu setengah jam dari airport.

Didalam mobil, setelah mengantar Hendra, ibu menanyakan, apa mungkin Hendra dapat menghadiri wisudaku. Aku hanya mendapat jatah dua orang, satu untuk ibu dan satu lagi telah aku janjikan mau memberikan kepada teman kostku, Gina, perempuan Turki.

Dengan berat hati aku membujuk Gina agar mau membatalkan kehadirannya pada wisudaku. Gina memahami penjelasanku, akhirnya undangan itu aku serahkan kepada om Hendra. Sehari sebelum wisuda, ibu menyuruh agar aku menjemput Hendra pada hari "H".

Aku menolak; akuterangkan kepada ibu, kalau hari itu sibuk mempersiapkan keperluanku, dan aku harus ke kampus pagi hingga siangnya. Tetapi ibu ngotot harus menjemput om Hendra. Aku mengalah.

Diam-diam tanpa sepengetahuan ibu, aku telephon om Hendra, memberitahukan aku nggak bisa menjemputnya, karena kesibukanku. Om Hendra mengerti, "nggak apa-apa, nanti saudaraku yang mengantarkan" ujarnya. Aku lega.

Air mata ibuku mengiringi tangisan kebahagaiannya, ketika aku selesai diwisuda. Aku juga terisak sedih, teringat ayahku yang telah pergi untuk selamanya, semestinya ayah mendampingi ibuku bukan om Hendra. Lama sekali ibu memelukku sambil menangis, hingga akhirnya om Hendra menegur aku dan ibu," sudah, nanti dirumah lagi kalian lanjutkan," ujarnya.

Om Hendra memberiku ucapan selamat, sembari mencium tanganku. Hal yang sama dilakukannya kepada ibu. Aku menolak ajakan om Hendra untuk makan siang esok harinya.

" Lain kali saja om, aku mau bawa ibu ke Universal Studio dan esoknya lagi ke Disneyland,"ujarku kala itu. Sebelum kembali ketanah air, aku puaskan ibu menikmati beberapa daerah kota wisata; Fresno, San Francisco kemudian mampir ke Sacramento, ibukota California.

Selama dalam perjalanan ibu selalu bercerita tentang kebaikan om Hendra. " Orangnya rendah hati dan tulus, meski jabatannya cukup tinggi," ujar ibu. Aku tak begitu tertarik dengan cerita ibu.

Aku jadi teringat, ketika itu, saat aku mau berangkat ke California, Hendra datang kerumah, bicara dengan ibu agak lama, aku tak tahu apa yang mereka bicarakan.

Dalam hatiku, ah..ibu mungkin ada main dengan om Hendra. Tetapi, apakah secepat itu ibu dapat melupakan ayah. Buru-buru pikiraanku segera kualihkan, aku tak tega menduga-duga, apalagi ibu yang kukenal selama ini adalah yang taat beragama.

Zung..., seminggu setelah wisuda, aku dan ibu kembali ketanah air. Tiba dirumah, airmataku mengalir deras melihat foto ayah, aku dan ibu, -ketika wisuda sarjana- tergantung diruang tamu.

Aku terhempas, bersimpuh didepan foto ayah dan menangis sembari memanggil ayah. Ibu memelukku, kami berangkulan sambil melepaskan rindu dalam tangis mengingat ayahku yang terbaring diperaduannya, menyendiri.

Aku tak tahan menanggung rindu, segera aku ajak ibu ke pusara ayah. Sepanjang perjalanan, aku tak kuasa menahan tangis. Dari tepi jalan menuju pusaranya, aku berlari sambil menjerit memanggil -mangil ayahku, " ayah...aku telah kembali, ayah bangun...aku telah pulang, bangun ayah. Ayah tega meninggalkan Susan dan ibu, bangunlah ayah, aku telah berhasil menggapai cita-cita luhurmu.

Aku terus memeluk pusara dan menciumi batu nisan ayah. Ibuku berusaha membujukku supaya aku berhenti menangis, tetapi rinduku belum terpuaskan. Rasannya hidup ini begitu cepat.

Aku kelelahan menjerit, menangisi pusara ayah. Ibu mengajakku pulang, tubuhku begitu lemah dan hatiku rapuh. Selama seminggu aku tak ingin keluar dari rumah, meski ibu telah berulang-ulang mengajakku berkunjung ke rumah om dan tanteku.

Hampir setiap malam aku dan ibu duduk diam, seakan merenungi "nasib" seorang janda dan putri sebatangkara. Aku semakin tak tahan melihat wajah ibuku senantiasa dirundung kesedihan.

Aku segera"bangkit dari kubur nestapa" ini. Aku tak mau dijerat masa- masa lalu, aku harus mengayunkan langkah menyongsong matahari terbit. ( Bersambung)

Los Angeles, February 2009

Tan Zung

No comments:

Post a Comment