Thursday, February 26, 2009

Dosenku "Pacarku" (45)


=======================
Aku segera" bangkit dari kubur nestapa" ini. Aku tak mau dijerat masa-
masa lalu, aku harus menapak menyongsong mentari terbit.
========================
Zung..aku nggak habis pikir, kenapa perilaku beberapa saudara ayahku begitu cepat berubah. Ketika ayah masih hidup, hampir setiap minggu mereka mengunjungi kami. Aku juga tahu, kalau ayah membantu biaya sekolah saudara sepupuku dan membantu usaha bibiku yang hampir bangkrut.

Menurut ibu, setelah kepergian ayah, tak seorangpun sepupuku mengunjungi ibuku, juga keluarga dari pihak ayah, kecuali om dan tante dari pihak ibuku. Mereka tega membiarkan ibu sendirian menanggung kesedihan, sementara aku jauh dari ibu.

Memang, jauh sebelum ayah mengalami kecelelakaan yang mengakibatkan kematiannya, ibu telah merasakan dinginnya hubungan dengan pihak keluarga ayah.

Bang...aku masing ingat ketika ayah masih hidup, ibu juga sudah lama menderita akibat ulah saudara ayahku, tetapi ibu selalu menutupi. Sekuat-kuat ibu menyimpan derita dan tangis, heningnya malam menghantarkan derita ibu ketelingaku.

Malam, ketika ibu sendirian dikamarnya-- ayah pulang agak larut malam- -aku mendengar suara Ibu menahan tangis. Kebetulan saat itu aku belum tidur, karena aku sedang belajar menghadapi ujian semesteran.

Hatiku gundah, segera menghampiri kamar ibu. Perlahan aku membuka pintu, aku khawatir ibu mengetahui kedatanganku. Diam-diam aku duduk bersimpuh disampingnya yang sedang berdoa khusuk masih diiringi isak tangis.

Ibu tidak menyadari kalau aku berada disampingnya, sambil menahan tangisku. Aku mendengar jeritan lirih dalam doanya. Ibu memohon kebaikan Allah agar memberi seorang anak lelaki. Aku terhenyak mendengar doanya, hatiku semakin teriris. Mustahil ibuku dapat melahirkan karena usia.

Zung...aku tak tahu peradaban mana yang mewajibkan rahim wanita harus melahirkan seorang lelaki. Usai ibu berdoa, dia kaget melihatku duduk bersimpuh disampingnya sambil sesugukan.. Ibu memelukku hangat dan berujar, " Susan, kenapa kamu berada disini. Ibu hanya berdoa untuk keselamatan ayah, aku dan kau boruku(putriku, pen)."

Aku menciumi ibuku, kemudian dalam tangisku menatap bola matanya, " Aku telah mendengar doa ibu. Aku cukup mengerti derita ibu dan ayah. Ibu menangisi nasib karena aku tak punya saudara lelaki, bukan?"

Ibuku menangis semakin menjadi-jadi sambil memelukku erat sekali. Kami berpelukan haru disaksikan foto ayah yang tergantung didalam kamar itu. Akhirnya ibuku mengaku jujur terhadapku, kalau seluruh keluarga ayah menyarankan agar ayah menikah lagi.

Zung, aku kaget luarbiasa mendengar pengakuan ibu. Aku tak dapat menahan rasa amarahku hingga aku terkulai lemas dipangkuan ibuku.

Ibuku berteriak dikehiningan malam, memanggil nama Allah. Aku merasakan jeritan hati ibu yang terdalam, mana kala ada sekelompok orang yang menyebut dirinya keluarga, ingin merampas ayah dari tengah kehidupanku dan ibu.

Aku dan ibu letih menangisi bengisnya peradaban, kami terlelap dalam tidur, hingga ayah membangunkanku sepulang dari pekerjaannya. Ayah heran melihat aku ada dikamarnya. (Bersambung)

Los Angeles, February 2009

Tan Zung

No comments:

Post a Comment