Friday, January 30, 2009

Madalena ( 37)

When A Man Loves A Woman”
http://www.youtube.com/watch?v=ReyEQFu34DI

====================
“Sudah berapa lama abang esketean ( tidak bicara, pen) dengan kak Magda?
“ Tiga hari tambah lima hari waktu kita dikampung”
“ Baru tiga hari saja abang seperti orang senu ( gila, pen).” kata Sinta tertawa
============

AGAR persoalan “kepala” Sinta yang tersandar di sisi bahu ku selesai tuntas, terpaksa aku menghadirkan Sinta dalam pertemuan direstauran tanpa sepengetahuan Magda. Bagai matahari mengahalau rembulan dan bintang dimalam kelam, kedatangan Sinta dan kekasihnya Sihol melahirkan keteduhan jiwa yang sempat mengerang. Mawar menyongsong Sinta kedepan restauran.

Aku melihat Mawar sedang berbicara dengan Sinta dan Sihol untuk mengulur waktu memberi kesempatan kepada Magda memulihkan perasaannya, menghapus air mata yang masih tersisa. Magda tidak dapat menyembunyikan perasaan kaget atas kehadiran Sinta, dia menatapku kemudian berdiri menyambut kehadiran Sinta dan Sihol.

Magda berusaha seramah mungkin menyambut Sinta. Sambil menikmati makanan yang terhidang Sinta memulai pembicaraan, sesekali Magda ikut nimbrung. Aku membatasi diri”bersahut-sahutan” dengan Sinta, takut menambah akar pahit dalam kalbunya yang sedang merana. Pembicaraan sedikit riuh, sementara aku masih mencari telusur sungai mengalir bening di bebatuan.

Dalam kebeningan air, aku ingin mengembalikan keceriaan yang pernah aku miliki dengan Magda. Kurang lebih setengah jam usai makan, Sinta dan Sihol pamitan pulang. Magda berusaha membujuk Sihol untuk bersabar sebentar.

“Aku masih sibuk persiapkan pindahan. Minggu depan aku mulai mengajar,” ujar Sinta. Sinta berulangkali melirik kearahku. Aku tahu maknanya, tetapi aku masih ragu memainkan peran yang sudah disepakati dengan Sinta sebelumnya. Bukan aku tak ingat jurus “ kucing menangkap tikus” seperti dalam naskah singkat yang kusampaikan pada Sinta. Hanya saja aku diliputi rasa bimbang kemampuan peran Sihol. Tapi, peran singkat itu kami harus “mainkan”, demi pemulihan hati Magda.

“ Bagaimana pembicaraan tulang dan orang tua Sihol.?”
“ Bapak sudah setuju, rencana bulan November akan marhata sinamot (membicarakan uang mahar, pen) dan pestanya bulan Desember. Nanti kak Mawar dan Magda akan kami undang.”
“ Selamat lah,” kataku sambil menyalami Sihol dan Sinta. Magda dan Mawar juga ikut memberi selamat.

“ Kak Magda, kapan rencananya?" tanya Sinta. ( opsss.....ini tak ada dalam naskah)
“ Mungkin bulan Agustus pas waktu ulang tahunku,” jawabku, sebelum Magda menjawabnya. Mawar terperjanjat tetapi dia coba menutupi rasa kagetannya. Magda tak menjawab, dia hanya tersenyum, baginya hal ini pengalaman kedua setelah dia ku”kerjain” ketika bertemu Bistok.

Sihol dan Sinta memberi selamat kepada Magda kemudian aku. Pandanganku dan Magda beradu ketika hendak membalas salam selamat kepada keduanya.
“ Bang, serius nih bulan Agustus tahun depan, kok nggak pernah ngomong,?” tanya Mawar setelah Sinta pergi.
“ Tadinya kami sudah ada kesepakatan, tetapi setelah kejadian Selasa malam itu Magda berubah pikiran...”

Magda menjewer kupingku berlanjut kepipi. Mawar ikut merasakan bahagia, matanya berbinar melihat tingkah Magda. Jiwaku bersorak ria, kini aku telah menemukan sungai mengalir bening menggenangi kerikil dan bebatuan. Mawar mengulang kembali pertanyaannya, “ Magda, benar tahun depan.?”

Mulutnya tak berkata “ya” dan “tidak” atas pertanyaan Mawar. Kembali Magda menjewer kupingku.
Mawar merasa gemas, “ bang serius nih,” tanyanya polos.
“Iya..aku serius, Magda saja yang ragu-ragu. Dulu, dibilang setelah sarjana muda, kemudian berubah lagi dan berubah lagi eatah sampai kapan.”

“ Magda semakin terpojok. Woauugfh....Magda mencubit tanganku kuat sekali.
“Terus ...bang teruskan bang..,” katanya tanpa melepaskan cubitannya. Mawar baru sadar bahwa aku dan Magda sedang bermain air dalam arus sungai menyejukkan. Aku terus menelusuri air mengalir .
Eh,Magda sweaterku dimana,” tanyaku mengingatkan kejadian Selasa kelabu.”
“ Sudah aku buang,” jawab Magda.
Kepada Mawar aku berujar, “aku tidak mengharap, kelak, pemilik sweater itupun akan terbuang.”
“ Bang sweaternya dibawa Magda,” kata Mawar ngomporin.
“ Nggak bang, tinggal dikamar Mawar,” balas Magda serius.

Sebelum kami meninggalkan restauran aku ingatkan, “ Magda, besok kamu sudah boleh kekampus bukan? Datanglah, supaya jangan terlalu banyak ketinggalan mata kuliah. Capek aku nanti ngajarin kau." Magda tertawa lepas mendengar ucapakanku, sementara Mawar cekikan mendengar “wejangan” singkatku. (Bersambung)

Los Angeles, January 2009

Tan Zung
http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment